‘Emang ada saudara yah disana?’ tanya teman-teman yang tahu kami akan berkunjung ke Purwokerto.
‘Mmm…ngga ada sih, mau liat-liat aja,’ jawab saya malu. Soalnya pikirnya iseng banget kali ya, jalan-jalan jauh gitu.
.
Iya sih, kalau jalan pakai mobil, dari Surabaya itu perlu waktu 12 jam, beda kalau dari Jakarta bisa cuma 6 jam. Jam segitu sih kami baru nyampe Solo kali. Kalau mau hemat tenaga dan emosi menghadapi peliknya jalan, sementara tolnya belum nyambung semua, naik kereta jadi alternatif yang menarik. Cukup banyak kereta yang melewati atau berujung di Purwokerto, mulai ekonomi sampai eksekutif. Waktunya sekitar 7 jam, lumayan jadi menghemat umur 5 jam daripada di jalan 😁
.
Kereta juga jadi alternatif yang menarik karena tempat nongkrongnya ada yang asyik di stasiun, daripada umpel-umpelan nungguin boarding. Beli tiket online aja, cetak sendiri boarding passnya jadi ngga usah bolak balik ke stasiun yang parkirnya ruwet. Tempat duduk OK, dingin, bersih bahkan sampai toilet juga bersih. Jangan khawatir lapar karena prama dan praminya rajin nawarin makanan dan minuman hangat yang praktis dan rapi. Ngga kalah sama Shinkansen kok 😄 Mau bawa bekal sendiri juga monggo, suka-suka aja asal sampahnya dikumpulin yaaa.
.
Stasiun Purwokerto sendiri cukup besar, dan amazingnya viewnya itu looh…langsung Gunung Slamet di sisi Utaranya. Ada taxi, becak dan ojek di area parkir stasiun, tapi jangan yang online ya karena ada spanduk larangannya. Penumpang yang segerbong sama kita malah bawa alat kaya segway itu loh, jadi keluar stasiun dia meluncur aja gituh 😁 Pikirkan selama disana mau naik apa kelilingnya, karena seperti banyak kota di Indonesia tempat wisatanya belum terhubung transportasi publik yang aman dan nyaman. Nyewa mobil bisa, atau mobilnya udah dibawain sopir 😬
.
Purwokerto ini nampaknya ngga terlalu besar ya, karena hotel kami, Green Valley Resort ngga gitu jauh kok dari stasiun, meski kesannya mucuk gitu, dekat Baturraden. Anyway, Baturraden itu emang tujuan utama saya karena inget pas masih kecil diajak kesana, asyik aja gitu adem. Ternyata sekarang ngga begitu adem ya, mungkin kalau di Jatim setara sama Trawas apa Tretes gitu.
.
Hotelnya sendiri gampang ditemukan, cuma berisi 35 kamar. Tapi asyik ada waterparknya. Iya, jangan bayangin yang gimana-gimana, tapi dia punya 3 kolam besar dan banyak seluncuran ya sudah piro-piro 😁 Trus lagi viewnya itu loh…bikin meleleh…ada Gunung Slamet di kejauhan! Trus entah mungkin gara-gara abis nonton Susah Sinyal, bintangnya itu jelas bangeeet…muncul di kegelapan karena ngga ada bulan. Tapi the same feeling juga terasa pas malam-malam nyampe Wonosobo, kayanya deket banget dengan langit.
.
Kalau obyek wisatanya, karena kami tipe yang ngga berlama-lama dan bukan naturalis, jadi pengen tahu aja, sehari udah beres loh, malah sampe Purbalingga segala karena kehabisan tempat wisata 🙈 Nah kalau niatnya memang ingin menikmati alam, bawa bekal, bawa tikar, pokoknya quality time banget deh, mungkin dua hari ya baru abis.
.
Di Baturraden itu ada Kebun Raya Baturraden, Lokawisata Baturraden dan Small World. Kami mendatangi Lokawisata Baturraden jam 10 pagi pas libur Natal. Sudah ramai dan parkiran penuh. Tapi kepolisiannya sudah sigap untuk mengatur jalan dan mengatur parkir juga jadi ngga ada yang namanya kemacetan luar biasa.
.
Parkir di parkir swasta, trus jalan bentar tapi ngos-ngosan karena menanjak. Ongkos masuk 14 ribu per orang, trus si kecil liat ada pesawat Fokker 28 nampang di depan, katanya itu teater alam yang memutar film-film. Beli karcis di luar bisa harganya 10 ribu, atau mau beli di dalam juga bisa.
Masuk sudah banyak orang, kita putuskan langsung ke pesawat. Disuruh ngantri dulu karena pertunjukan yang sebelumnya belu selesai. Kepikir ini pasti umpel-umpelan deh, karena dulu pernah ke Museum Transportasi di Taman Mini Indonesia Indah, naik pesawat DC10 untuk liat interiornya doang. Penuuh sama orang dan apek juga ya. Yang ini ternyata sama apeknya, tapi lebih ‘beradab’ karena masing-masing pengunjung duduk di kursi pesawat. Di depan (eh bagian tengah pesawat ding, dan semua kursinya menang diatur berlawanan dengan kokpit) ada tivi gede, yang akan memutarkan film pilihan pengunjung. Byuh untung ngga ada yang berantem karena yang akhirnya terpilih tentang wisata Baturraden dan asal mula namanya.
.
Keluar dari pesawat, keadaan sudah tambah rame dengan kelompok pengamen yang memainkan lagu-lagu rancak pakai angklung. Ngga cuma satu grup tapi ada dua jadi cukup meriah. Penjual makanan banyak dan tertib, yang dijual ya gitulah dimana-mana sama ya. Saya nyoba dua yang khas, mendoan dan sate kelinci. Konon tempe di Purwokerto beda. Mungkin karena sudah ngga anget dan yah di tempat wisata kali ya, mendoannya biasa aja, sate kelinci juga biasa. Tapi lumayan lah tombo (untuk menutupi) ingin tahu 😊
.
Lokawisata Baturraden sendiri point of viewnya cukup banyak, ada air terjun yang di bawah dan di atas (menanjak 2,5 km lagi). Yang di bawah penuh dengan orang yang main di bebatuan, mungkin buatan ya soalnya rapi banget meski ada peringatan hati-hati ada banjir bandang. Ada flying fox yang ngga gitu tinggi melintas di atas sungai. Ada jembatan lengkung yang konon pernah putus ya gara-gara dinaekin orang melebihi kapasitasnya. Sekarang sih sudah dibeton jadi mestinya lebih aman. Di kejauhan masih terlihat tempat-tempat wisata lainnya, dari bawah sampai atas. Yang kuat silakan naik deh, kayanya menarik semua. Tapi kami mengejar waktu dan menghemat tenaga untuk tempat lainnya jadi yah cuma di bawah aja.
.
Kunjungan kedua ke Small World, lebih turun tapi masih di Baturraden. Sekali lagi salut sama kepolisian Banyumas karena pengaturan lalu lintasnya OK, padat tapi teratur. Di sana juga sama, pakai parkir swasta karena lahan parkir ngga memadai. Small World ini juga ngga keliatan pintu masuknya karena bagian depan tertutup lapak makanan, sedangkan bangunannya ngga tinggi. Akhirnya nemu loketnya, 20 ribu per dewasa, 10 ribu per anak.
.
Dalamnya seperti taman dengan banyak miniatur bangunan seluruh dunia. Yang Indonesia kaya TMII ada rumah-rumah adat gitu, sama Monas. Bangunannya kecil aja, mungkin 2 meter ya tingginya, dicat dan dibentuk mirip bangunan asli. Kalau dibandingin sama Window of The World-nya Shenzen emang masih jauh. Mau dibandingin sama Legoland juga gimana ya, kan bukan dari kepingan Lego meski semangatnya sama, miniatur dunia.
.
Keliling setengah jam udah beres sama foto-fotonya. Hahaha ngga asyik ya cara liburan saya 😂
Small World sepertinya ditujukan buat anak-anak muda yang suka selfie, ada banyak tempat selfie disana. Acaranya tadi aja pertunjukan cosplay, jadi banyak mahluk-mahluk cosplay bertebaran. Seru sih, cuma hati-hati perawatannya. Karena pengunjung masih saja suka melintasi rumput alih-alih melakui jalur yang disediakan. Trus beberapa tulip tiruan dari lampu juga sudah hilang bagian ‘kelopak’nya. Jadi perawatan mesti juara.
.
Mau ke Museum Bank Rakyat Indonesia, eh tutup mungkin karena hari libur ya. Akhirnya saya nyari di Google, ketemu Taman Wisata Purbasari, coba deh kesana. Cuma setengah jam ini. Ternyataaa…taman wisata ini letaknya di Purbalingga 😆Duileee pantesan namanya PURBAsari bukan PURWOsari 😂
.
Kali ini kami dapat parkir di dalam, karena sudah sore jadinya arus pengunjung ngga sederas tadi. Purbasari ini mirip sama Sengkaling di Malang, tapi lebih kecil dan terawat. Ada zona aquarium yang koleksinya hampir setara dengan Jatim Park 1 di Batu, cuma karena lebih baru jadinya lebih modern. Ada zona burung yang isinya ternyata ayam semua 😂Dari petunjuk arah ada waterboom tapi kan di hotel udah, dan kebayang dong pasti sudah kaya cendol 🤣 Akhirnya kami naik perahu naga, 3 ribu rupiah untuk sewa pelampung. Dan tahu dong, selain kami, ngga ada yang ngambil pelampung yang digeletakkan begitu saja di sudut dermaga. Soal keselamatan emang mesti ati-ati, perahu muter danau 4 kali, dipepet-pepetin ke pulau kecil yang berisi merak yang kayanya siap lompat ke kapal kami 😅
.
Benteng Van Der Wicjk yang pernah jadi setting film juga ngga jauh loh dari Purwokerto. Tepatnya terletak di Kebumen, sejam dua jam lah dari Purwokerto. Kami mengunjunginya pada hari lain. Harga karcisnya 25 ribu per orang, sudah termasuk waterpark dan atau dua kali naik kereta, di atas benteng dan menuju benteng. Bentengnya seluas 3.600 m2, tapi halamannya luas banget sampai dibuat kolam renang, banyak wahana permainan, playground, hal, dan ada hotel wisata juga di dalamnya. Mungkin cara pengelola menarik pengunjung kaya gitu ya, bentengnya ngga bisa berdiri sendiri untuk didatangi. Beda dengan Fort Rotterdam di Makassar yang bersatu dengan museum. Bangunannya sendiri terawat, meski entah kenapa kok cat eksteriornya dibuat merah padahal aslinya putih. Dindingnya setebal 1,6 meter memang mampu membuat decak kagum. Benteng yang sudah berdiri 200 tahun yang lalu ini masih bagus keadaannya, kuat pula, sampai atasnya bisa dibuat kereta api untuk melihat pemandangan benteng dari atas dan bentuk atapnya yang unik. Overall cukup menarik, yang kurang pemeliharaan dan kesadaran pengunjung untuk ngga coret-coret di dinding benteng.
.
Karena hari belum juga gelap, kami putuskan ke Taman Bale Kambang. Tamannya buka sampai jam sembilan malam jadi mestinya aman. Ongkos masuknya 2,5 ribu per dewasa dan 1,5 ribu untuk anak. Tamannya bagus dan bersih, rapi mengaturnya. Di tengah ada danau kecil gitu, isinya ikan mas banyak banget. Beli makanan ikan seribu per kantong sudah bikin anak-anak (dan bapaknya 😁) senang. Ada playground dan arena bermain skuter anak yang gratis. Ada bangku-bangku taman yang dicat biru dan sudut-sudut selfie. Bahkan mushollanya juga bagus, ada di tengah dan kaca semua. Sungguh tempat yang tepat untuk menutup hari 😊.
.
Soal makanan, Purwokerto punya paduan masakan tradisional dan modern. Yang tradisionalpun ada yang nasional dan lokal. Kami pilih lokal dong, mumpung disini 😊 Ada mendoan yang digoreng dadakan dan kripik tempe dalam kemasan. Mendoan yang kami beli di Mirasa lumayan rasanya, masih ada yang lebih enak di Mirota Yogyakarta. Mereka juga jual tepung bumbunya loh, beli ah biar bisa masak yang mirip 😁 Ada telur asin dari Brebes yang masir dan enak.
.
Kalau makanan beratnya, bisa coba Restoran Alas Daun yang alas makannya pakai daun pisang. Ati-ati jangan keliru sama lalapan ya 😊 Menunya mulai yang modern seperti kepiting telur asin, ikan sidat (saya ragu, soalnya bentuknya kaya ikan wader dengan ukuran lebih besar), ayam goreng dan sop ayam. Atau di Restoran Djago Djowo yang spesialis di ayam ageng atau ayam besar. Eh enak loh, konsep restonya sih kaya Pak Sholeh Pandaan but it is much better. Ayamnya enak, gorengnya pas, ngga minyakan. Manajemennya juga ngga kagetan dengan banyaknya pengunjung karena ps kami datang itu resto hampir penuh dengan rombongan ambulans 😁 Pelayannya tetap ramah, tanggap begitu ada rombongan lain datang, layanan termasuk cepat kalau lihat antriannya. Jangan lupa pesan teh gula batu. Pakai teh Tong Tji yang daun, diseduh dalam teko aluminium yang lorek ijo ituloh. Seduh pakai gula batu yang diletakkan di piring gerabah, hadeuh enak bener padahal teh panas yang diminum di hari yang panas pula. Buat yang suka sate kambing, hasil pencarian di Google Map membawa kami ke Sate Kambing Pak Yani. Disajikan di hot plate, sate kambing dan hatinya hao chi (enak), gulenya juga berasa, dagingnya lepas dari tulangnya, bahkan yang bukan daging juga sama empuknya. Paling enak kalau dapat potongan ujung tulang yang masih penuh dengan sumsum, tulangnya bisa dikunyah lo! 😋
.
Hayuk berkunjung ke Purwokerto. Mata dan perut sama-sama kenyang 😊👍
***
IndriHapsari