Benteng ini terletak di depan Pantai Losari, jadi dekat dong yah kalau mau kesana. Seperti biasa kami menyempatkan diri foto di depan tulisan Fort Rotterdam, yang sayang banget sudah dicoret-coret. Jadi ngga asyik difotonya. Trus di bawah patung Sultan Hasanuddin mungkin ya, ada keluarga yang tiduran di bawahnya. Yah, masuk foto lagi…
Suasana di luar memang terkesan kumuh, apalagi parkir dan pedagang juga ngga teratur. Tapi kemegahan benteng ini ngga bisa dipungkiri. Bentengnya masih terawat baik, rumputnya juga rapi, bangunannya nampak kokoh dan gagah.
Pertama masuk sudah disuguhi tulisan khas Makassar yang lebih mirip huruf Braille itu. Pintunya kokoh terbuat dari besi, dengan pintu kecil yang bisa dibuka. Kami diminta mengisi buku tamu, dan memberi sumbangan serelanya. Ngga ada kuitansi, tiket atau kotak sumbangan yang menampung setoran kami. Semoga aja ditujukannya untuk kelestarian cagar budaya ini.
Masuk langsung deh disambut dengan bangunan khas Belanda, ada banyak dan tersebar di sekeliling benteng. Suasananya seperti rumah sakit RKZ di Surabaya. Langsung terbayang kehidupan dulu di benteng ini gimana.
Dan baru ngeh disini tempat Pangeran Diponegoro ditahan. Menempati bangunan dua lantai yang sayang sekali ngga boleh dimasuki, bangunan ini dilengkapi dengan teralis besi dan tembok-tembok lengkung. Aduh kasian banget belasan tahun Pangeran ditahan hingga wafat.
Berikutnya kami masuk ke selasar yang ternyata adalah museum. Ampun dah ngga ada petunjuknya. Setelah membayar 5 ribu per orang, baru ada running text Selamat Datang di Museum La Galigo. Bangunan lama khas Belanda ini tampak kokoh dan kuat di atap dan tembok, sedang tangga kayunya mesti ati-ati karena berderak. Lantai atasnya juga kayu yang masih bagus.
Museum ini berisi barang yang digunakan dari masa pra sejarah sampai penjajahan Belanda. Kekayaan budaya Sulawesi Selatan bisa dilihat di sini. Ruangannya berpendingin udara, hingga nyaman menjelajahi satu dan lainnya. Sayangnya pengunjung dipaksa membaca tulisan kecil-kecil di setiap kelompok display. Harusnya bisa dibuat lebih menarik lagi, atau disediakan pemandu.
Pemandu juga penting saat menjelaskan semua bangunan ini sejarahnya, fungsinya dulu dan sekarang apa. Ada bangunan-bangunan yang mau kita masuki ternyata sedang beroperasi sebagai kantor. Ada lorong yang hendak saya susuri ternyata isinya parkir sepeda motor.
Dan saya baru tahu serba serbi benteng ini setelah membeli fotokopian ini seharga 10 ribu. Ternyata benteng ini bentuknya seperti kura-kura sesuai filosofi kerajaan Gowa. Terus merinding deh ngebayangin Sultan Hasanuddin mati-matian mempertahankan benteng ini dari Belanda, meski akhirnya terpaksa menyerahkannya. Belanda mengganti bangunan yang ada dengan bangunan khas Belanda. Benteng ini tadinya bernama benteng Ujung Pandang, dan menjadi benteng pengawal benteng Somba Opu, yang menjadi kediaman para bangsawan.
Benteng ini punya gereja kecil di tengah, lalu ada cerita La Galigo yang ternyata kisah percintaan yang rumit sampai memicu perang. Kalau di Jawa ada Mahabharata, di Sulawesi ada La Galigo.
Kunjungan ditutup dengan menaiki benteng itu dan melihat pemandangan benteng dari atas. Wow..amazing..jadi ngebayangin bagaimana Sultan Hasanuddin melihat pasukan Belanda yang berdatangan menyerbu, atau saat pintu benteng dibuka karena Sang Pangeran memasukinya…
***
Indri Hapsari
[…] menarik pengunjung kaya gitu ya, bentengnya ngga bisa berdiri sendiri untuk didatangi. Beda dengan Fort Rotterdam di Makassar yang bersatu dengan museum. Bangunannya sendiri terawat, meski entah kenapa kok cat […]