Kampungan adalah Karakter

kampong

Arti kampungan (artikata.com):

– berkaitan dengan kebiasaan di kampung; terbelakang (belum modern); kolot;

– tidak tahu sopan santun; tidak terdidik; kurang ajar;

 

Kalau kita simak definisi di atas, tidak ada satu katapun yang berhubungan dengan ’orang desa’ atau ’orang kampung’. Jakarta sendiripun sebenarnya adalah sebuah kampung besar. Jadi kampungan bukanlah menunjukkan asal daerah. Mau dari kota besar, kota kecil, kecamatan ataupun desa, semua punya kemungkinan yang sama untuk disebut ’orang kampung’.

 

Sehingga, saat ada seseorang yang menunjuk teman ataupun orang yang dikenalnya sebagai ’kampungan’ hanya karena mereka berpenampilan sebagai orang kampung yang sederhana, sepertinya definisi di atas perlu disodorkan di depan wajahnya, untuk periksa diri sendiri, jangan-jangan malah satu jari menunjuk ke orang lain, tapi sebenarnya ada empat jari yang sedang menunjuk dirinya sendiri.

 

Buktinya bisa kita lihat dalam kehidupan sehari-hari. Saat saya datang ke kantor developer rumah, untuk menanyakan angsuran uang muka rumah 46 m2 (ya, bahkan untuk down paymentpun kami harus mengangsur), di sebelah saya ada ibu-ibu muda, dengan baju yang sederhana dan sandal jepit, bukan termasuk yang kinyis-kinyis pula, mengeluarkan isi tasnya. Isinya ratusan lembar uang, tunai, yang akan ia gunakan untuk membayar lunas uang muka rumah. Saya melirik pakaian-pulang-kerja saya, yang masih rapi jali dan terlihat seperti orang kantoran, ternyata hanya luarnya yang menarik, tapi isi (dompet)nya hampir kosong.

 

Atau gadis muda yang saya temui di bandara. Tinggi, langsing, putih, mulus. Kok tahu kalau mulus? Karena pakaiannya juga menunjang untuk memungkinkan semua orang melihat kecemerlangan kulitnya. Itu semua, dengan tas – sepatu – kacamata hitam yang sungguh menunjang penampilannya. Lalu muncullah seorang bapak-bapak dengan perut menonjol, menggunakan jaket semi jas, agak berumur, yang digandeng si gadis dengan mesra.

 

Bapaknya? Pasti bukan. Suaminya? Mungkin. Kok umurnya jauh amat? Ah, cinta bisa datang kapan saja. Buat siapa saja juga, termasuk mungkin para pria beristri. Saya menuduh tanpa bukti? Memang. Terima kasih buat semua sinetron, infotainment dan tabloid yang meracuni pikiran saya, sehingga punya pikiran senegatif itu.

 

Lalu, buat apa penampilan berkelas kalau yang dilakukan adalah hal-hal yang tidak beretika? Menggoda suami orang, berusaha mendapatkan cinta -dan mungkin kemapanannya- tanpa mau merasakan jungkir baliknya saat sang pria pertama kali berusaha. Lalu dengan seenaknya potong jalan, jegal sana sini, untuk mendapatkan yang diinginkan.

 

Meskipun berpenampilan ’kota’ tapi kelakuannya patut disebut dengan kampungan.

 

Kali lain, dari sebuah mobil merk dan tipe ternama (saya tahu karena penggemar program Top Gear, dan dengan menambahkan segala bea impor untuk mobil built-in, muncullah harga yang bisa untuk membeli 4 rumah tipe 46) keluar sebuah tangan yang halus dan terawat, dan buang sampah di jalanan. Jadi kesimpulannya, bisa beli mobil mahal, tapi kesulitan buat beli tempat sampah. Bahkan untuk ngutang atau nyicil macam saya pun tak bisa!

 

Saya jadi lebih menghargai penyapu jalan yang kerjanya membersihkan sampah orang lain. Oh ya, memang itu pekerjaannya. Tapi kalau dia mau, dia bisa berlaku kampungan dengan memasukkan semua sampahnya ke dalam selokan, karena malas mengumpulkannya jadi satu, dan memasukkannya ke karung yang dia bawa kemana-mana.

 

Apakah pendidikan akan menjamin seseorang tidak berperilaku kampungan? Dengan tegas saya jawab tidak. Kita pernah disajikan berita yang memuakkan, saat seorang calon doktor memplagiat karya orang lain, memasukkannya dalam jurnal ilmiah (dicetak dan dijilid sendiri) untuk diajukan sebagai syarat dikabulkannya gelar tersebut ditambahkan di namanya. Anak-anakpun, yang mendapat fasilitas pendidikan terbaik di sekolah internasional, dengan komunikasi tiap hari menggunakan bahasa Inggris, menjadi ironi karena bahkan untuk mengantri saat masuk lift, mengucapkan ’terima kasih’, ’maaf’ dan ’permisi’ malah lupa ketika harus berinteraksi dengan orang lain.

 

Sehingga, kembali pada definisi di atas, kampungan itu masalah karakter. Mau kita dari pelosok manapun, lulusan paling rendahpun, kehidupannya masih kebat-kebit hari ini makan apa ngga, jangan biarkan julukan ’kampungan’ mendarat ke kita. Jaga sopan santun, etika, berpikiran terbuka, dan cobalah berkaca ketika akan menghakimi seseorang ’kampungan’.

 

Sekarang, berani ngga nanya ’di New York kampungnya dimana?’

 

***

IndriHapsari

Gambar : pinterest.com/pin/246923992039626289/

Advertisement

6 comments

  1. menarik sekali ulasannya, mbak Indri. tingkat kesejahteraan yg makin meningkat, pendidikan yg makin tinggi atau mungkin bertambahnya ritual ibadah, semuanya belum tentu jadi jaminan etika, sopan santun dan tingkat moralitasnya juga akan meningkat…kenapa bisa begitu ya, mbak?

  2. kenapa harus menggunakan kata dasar kampung bukan kata dasar kota? dasar orang kota lu, misalnya? padahal orang kotalah yg buruk liat aja sampah bantar gebang, selokan bau di depan rumah di diamkan, orangnya tidak ramah, pagar tinggi dmana 2

Komen? Silakan^^

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s