Rasanya saya mengunjungi kota ini hanya satu kali, itupun ngga inget nginep ngga ya di sana. Cuma ingat ortu mengajak mengunjungi Makam Bung Karno, presiden pertama RI. Saya dulu mikir bagus juga ya pemerintah bikin kompleks makam semewah ini untuk mantan presidennya. Berikutnya pas gedean mulai tahu, kalau yang membangun makam adalah keluarga, dan bapak proklamator kita ini sengsara di akhir hidupnya. Persis seperti presiden kedua Pak Harto yang ngga tega lihat wajahnya di buku The Untold Stories. Sama, meninggalnya dalam kondisi lagi turun popularitasnya. Makam mewahnyapun yang mempersiapkan keluarga. Ckckck…ngga bisa ya bangsa ini lebih menghargai pemimpinnya. Iya, salahnya banyak, tapi jasanya juga banyak loo…
Anyway, anak saya bontot pengagumnya Soekarno. Awalnya dari teks proklamasi yang dia pelajari di sekolah, trus melihat dan mendengar pidato Bung Karno, trus beli buku (dan dibaca meski ngga semua) Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat, by Cindy Adams. Lalu karena dia sibuk nanya-nanya ke mamanya yang ngga gitu ngerti ini, saya usulin aja gimana kalau kita ke makamnya aja di Blitar. Selain makam, ada perpustakaan, monumen dan museum. Semoga saja bisa menjawab keingintahuannya.
Kesan pertama masuk kota ini, agak sepi ya. Banyak toko tutup, ngga terlalu banyak orang dan kendaraan, mungkin karena saat itu Minggu sore. Mau cari makan juga susah, padahal sudah berbekal Google Map. Pas disamperin, loh kok ngga ada? Apa sudah kukut? Akhirnya pilih yang buka dan ada pelanggannya.

Pas menyusuri trotoar pagi hari, mungkin karena saya berada di daerah sekitar Kantor Walikota atau jalan protokol, trotoarnya bagus dan besar, serta bersih dari PKL. Masuk alun-alunnya unik, karena banyak pohon beringin, lalu ada pohon beringin gede yang dipagerin di tengah. Oya satu lagi, kota ini banyak warna merahnya, ke mana mata memandang ya isinya warna merah. Mungkin karena pengaruh Bung Karno ya.
Makam Bung Karno sendiri mudah ditemukan lewat Google Map, letaknya juga di pusat kota Blitar. Menyusuri jalan yang ditunjukkan Google Map, kami juga melalui tempat parkir untuk mobil dan bis yang juauh dari makam. Tapi ada banyak becak yang setia menanti, sepertinya memang disengaja supaya bisnis perbecakan ini juga dapat penghidupan. Kami lanjut aja, kalau ngga dapat parkir dekat sana ya balik lagi. Ternyata ada tempat parkir yang berada persis di depan pintu masuk. Tinggal menyebrang, bayar retribusi tanpa dikasih karcis, kami bebas masuk ke area makam Bung Karno. Saat itu ada rombongan yang sedang ziarah, dan semua dengan tertib bergantian mengelilingi makam. Ada 3 makam di sana yaitu Bung Karno dan ayah ibunya.

Berlawanan dengan makam adalah dinding penuh grafir perjalanan hidup Bung Karno, pilar dan kolam ikan. Sebelah kiri ada perpustakaan untuk mereka yang berKTP Blitar, kanan adalah museum. Patung Bung Karno sedang membaca menjadi spot favorit untuk foto. Meski ada tanda dilarang menaiki patung, dari kilau ujung sepatu Bung Karno yang mengkilap, sepertinya banyak yang melanggar deh. Maunya ngalap berkah mungkin 🙂
Museumnya sendiri gratis dan cukup lengkap. Yang pasti, terawat. Terdiri dari 2 komputer sentuh, banyak foto, maket dan lukisan. Termasuk jas khas Bung Karno, koper dan keris yang selalu dibawanya dalam pengasingan, juga tulisan tangan.
Melihat maket rumah-rumah pengasingannya, langsung kebayang presiden pertama ini ‘bandel’, ngga ada yang bisa mengekang aktivitasnya sampai diasingkan berulangkali, mulai dari penjajah sampai bangsanya sendiri. Sudah begitu, pemikirannya masih berkelana kemana-mana dan menginspirasi banyak orang. Melihat foto-fotonya melawat berbagai negara, dikunjungi juga dengan berbagai kepala negara, jadi terharu juga. Indonesia yang masih negara baru, negara pecundang yang ratusan tahun dijajah dan dijarah oleh bangsa lain itu, jadi nampak berbeda dengan tampilnya Soekarno sebagai pemimpin bangsa. Soekarno yang tampil selalu penuh percaya diri, menguasai panggung, berbahasa dan berpenampilan yang baik, sanggup membuat pemimpin negara lain itu menghargainya sebagai sesama rekan negara yang sudah lama merdeka, bukan negara anak bawang yang baru saja lepas dari penjajahan. Apakah Soekarno pernah merasa galau atau ngga PD? Saya rasa pernah rasa itu terbersit. Tapi kalau presidennya ngga PD, gimana dengan rakyatnya? Maka Soekarno menelan bulat-bulat semua keraguannya, bukan hanya supaya diterima oleh bangsa lain, tapi terlebih untuk menyemangati rakyatnya.

Kunjungan berikutnya adalah ke Istana Gebang, tempat ibu dan ayah Soekarno tinggal di Blitar, sementara Soekarno sendiri melanglang Indonesia. Rumahnya besar dan terdiri dari satu komplek, karena dulu ayahnya adalah kepala sekolah. Dari pemandu, kami dapat keterangan rumah ini dibeli dari orang Belanda di abad 18. Seperti rumah kuno lainnya, ada ruang tamu besar, banyak kamar tidur dengan ranjang kelambu, ruang tengah yang juga besar, dan ruang makan serta ruang kecil lainnya. Sebenarnya jadi inget rumah yang didiami orang tua saya juga, dimana bangunan utama terpisah dari gudang, dapur dan kamar mandi. Lalu ada rumah tersendiri untuk para karyawan. Konon komplek ini akan dibangun sehingga bisa menyedot lebih banyak pengunjung. Mengunjungi rumah ini seperti ditarik lagi ke masa lalu, saat Soekarno selalu pulang ke tempat ini dari hingar bingarnya kehidupannya. Bahkan yang ‘menemani’ peristirahatan terakhirnya adalah orang yang selalu ia temui saat pulang, ayah dan ibunya.

Kunjungan penuh haru ini ditutup dengan menyusuri deretan pohon coklat di Kampung Coklat. Terletak agak di luar kota Blitar, destinasi wisata ini sudah mempersiapkan diri untuk menjadi pusat kunjungan yang lengkap. Ada area teduh buat duduk-duduk aja, banyak stan kuliner dengan topik coklat, arena bermain, bisa ngintip area produksi, belanja biji dan tanaman coklat asli, dan tentu saja belanja belanji semua produk coklat.
Kalau mau efektif wisata di Blitar, mulailah kegiatan di pagi hingga sore hari, sementara malam buat istirahat atau menikmati suasana hotel.
***
IndriHapsari
Mbak, dulu pernah review wisata kampung coklat juga. Apa itu di Blitar ato kota lain ya? Aku belum pernah berkunjung ke Blitar. Ribet gak klo gak bisa bahasa Jawa?
Ada juga yg di Jember, ini ya https://indrihapsariw.com/2015/05/02/puslitkoka-jember-coklatnya-wow/
Ngga masalah mbak, Blitar ini kemana2 dekat, pake becak jg bs. Klo mau ke wisata alam sewa mobil aja mbak 🙂
Ah di Jember ya yg lalu. Oh gt mbak. Waaahh next time mau nyoba aku ke sana. Makasih mbak infonya!
Sama2 mbak..ntar sy blusukan jg ke tempat2 yg mbak ceritakan 🙂
Haha baik mbak
dari dulu ingin sekali ke Makam Bung Karno..krn dr dulu suka sejarah..kapan yak..?
artikel yang bagus nih…tfs
Wah suka sejarah ya Pak..bisa ngajarin anak saya nanti 🙂 Makasih Pak Ve..kalau nulis ttg sejarah Medan please tag me ya pak 🙂
Blitar kian oyeee ya mbak 🙂
He em mbak…dr blitar ya? 🙂
Mbahku asli pacitan mbaaa
Oowh…dekat ya ke Blitar 🙂
Gak ada wortelnya kan, mbak? hihihihi
Nti ya Beh, wortel salut coklat 😀