‘Kau adalah api.’
Aku tertawa mendengar perkataannya. Aku, yang sabar menantinya, dianggap begitu membara?
‘Bukan begitu maksudku,’ katamu lagi, seolah membaca pikiranku. ‘Nyalamu menuntunku pulang. Hangat terasa saat kau di dekatku,’ katamu pelan.
Aku menunduk. Benarkah yang kau katakan…
‘Aku justru menyesal pada perjumpaan, jika dihiasi dengan perpisahan.’ Masih saja aku tak bisa menatapmu. Terlalu pedih rasanya.
‘Kenapa menyalahkan takdir? Semua orang yang diijinkan melintas pada waktumu, memiliki maksud,’ jelasmu.
‘Seperti kau, yang telah menciptakan bara pada hatiku?’ tanyaku pelan.
Kamu mengangguk. ‘Bara itu,’ sambungmu, ‘jagalah. Agar aku tahu jalan pulang.’
Seandainya kau tahu, aku selalu melakukannya. Menjaga agar bara tak pernah mati, menambahkan kayu agar ia tetap dapat membumbung tinggi. Jika kau tak dapat melihat nyalanya, cukup asapnya akan memberitahu, ada yang sedang menunggumu di tempat yang selalu.
‘Sedang kau, kupu-kupu api,’ kataku sambil tersenyum.
‘Kupu-kupu yang selalu tertarik pada api?’ tanyamu, ‘hingga ia terbakar mati?’ Kau tertawa perih.
Aku memandangmu. Bahkan, kau rela sampai seperti itu?…
‘Tidak!’ aku menggeleng cepat, ‘Kau akan selalu pulang, karena tertarik dengan apiku. Saat kau begitu kedinginan di luar sana, kau tahu kemana harus mengadu. Terbang…terbang ke arahku. Akan kupenuhi kerinduanmu dengan hangatku.’
Kau menggenggam tanganku.
‘Dan..untuk itu semua, apa yang bisa kuberikan padamu?’ tanyamu pelan.
‘Buatlah bunga-bunga mekar,’ pintaku. ‘Bunga-bunga indah yang akan menemani hariku. Bunga-bunga dengan warna yang cantik untuk mengingatkanku, aku harus bertahan untukmu. Agar kau selalu ingin pulang, apiku menjadi pandumu.’
Dan bara menjadi nyala, ketika tanganmu yang kasar menyentuh pipiku, bibirmu memantik dengan lembut.
Sebelum kupu-kupu terbang lagi…
***
IndriHapsari
Gambar : abstract.desktopnexus.com
Inspirasi : Novel grafis Kim Dong Hwa, Warna Air