Bereksperimen dengan Fiksi

20130630-204616.jpg

Banyak penulis fiksi hebat yang bertebaran di dunia maya. Mereka yang memiliki bakat berimajinasi yang tinggi, mampu menyampaikannya dengan menarik, dan membuat pembacanya ketagihan. Kalau si X sudah menayangkan fiksinya, jaminan mutu dah! Mereka pun tak pelit membagi karyanya yang luar biasa tanpa upah sepeserpun.

Belum kalau kita melihat di peredaran buku fiksi, terutama novel di toko buku. Para penulis fiksi yang beruntung mendapatkan kesempatan menerbitkan hasil tulisannya, juga makin bertambah. Muncullah para penulis-penulis favorit, hingga sampai diadopsi ke layar lebar.

Nah, kalau melihat itu semua, minder dong saya.

Secara bakat, ngga ada. Secara keseriusan, masih belum bisa. Jikalau saya punya waktu banyaaaaak untuk tidak melakukan apa-apa, maka menulis mungkin bukan prioritas saya kala itu. Saya pasti akan melakukan hal lain, yang pasti mendatangkan uang.

Yeah, fiction is my passion, but what pay your bill is not passion.
~ modified from Rene Suhardono

Karena itu, penulis bagi saya bukanlah profesi. Dari hasil benchmarking, saya kalah pemimpi, kalah ahli teknik penulisan, kalah piawai dalam mempermainkan emosi dan pikiran pembaca. Ditambah lagi keengganan saya menjadi penulis, dimana pendapatannya minim, karena tak semua orang bisa menghargai hasil pemikiran seseorang. Pada pameran buku, yang banyak dikunjungi adalah buku obralan. Buku yang ditulis dengan susah payah oleh pengarangnya, namun terpaksa dijual murah, minim royalti, yang penting toko buku atau penerbit bisa balik modal.

Maka alih-alih menargetkan ingin menjadi pengarang terkenal, saya menikmati proses penulisan fiksi, dan banyak bermain-main di sana. Saya sering mempermainkan alur, karakter, kejadian, dengan tetap berusaha menjaga feel pembaca. Saya tak menginginkan, gara-gara eksperimen saya, pesan jadi tak tersampaikan, pembaca bingung dan merasa ‘kering’ dengan fiksi yang saya tuliskan.

Melakukan hal ini sebenarnya simalakama. Kalau garing, terasa ngarangnya. Tapi kalau terlalu menjiwai, selalu ada yang menanyakan pada saya, ‘ini pengalaman pribadi ya?’. Dueng! Berarti hidup saya nanti akan dipenuhi jatuh cinta berkali-kali, sekaligus galauing sepanjang masa. Maklum, genre yang saya baru pelajari berada di area romantisme. Meskipun ingin juga masuk ke genre misteri, humor atau religi.

Menurut saya, di antara cerpen, novel, drama, dongeng dan puisi, dua yang terakhir membuat saya pusing. Imajinasi saya terasa stuck di sini, tak bisa lari. Sehingga film-film animasi yang banyak bermunculan sekarang ini, sungguh membuat saya kagum. Memang sih semua cerita anak-anak, tapi bayangkan. Anak-anak saja sampai mengerti, menikmati dan ikut terbawa emosi, apa ngga hebat tuh? Belum ide ceritanya yang luar biasa, penciptaan karakter yang kuat, dan dibarengin dengan teknik penampilan gambar yang hebat, membuat film animasi, ibarat karya fiksi yang berhasil.

Puisi adalah masalah saya selanjutnya. Penyampaian puisi yang saya sukai, adalah yang bermakna dalam, saya menyebutnya banyak layer. Meskipun tak tahu maknanya, namun pembaca berkeinginan untuk mengetahuinya lebih lanjut. Sehingga dibacalah puisi itu, lagi dan lagi, untuk menyelami maksudnya.

Puisi, bagi saya seharusnya ya pendek saja. Biarlah kata-kata itu yang menjelaskan sendiri maknanya, bukan penyairnya. Kadang penyar ingin menjelaskan lebih dalam, kadang ingin bergenit ria dengan diksi. Akibatnya jadi panjang, kehilangan daya misterinya.

Kalau di dongeng saya sudah tak bisa bergerak, puisi menjadi sarana saya bereksperimen. Mencoba beranalogi, menciptakan layer (masih satu) dan hal yang tak bisa saya tinggalkan, adalah bergenit ria dengan diksi. Entah, saya sendiri menyukai puisi yang berima simetris. Teknik penyampaian seperti Haiku, Macapat dan dual language juga saya lakukan, demi keriaan saat menciptakannya.

Apapun itu, saya menikmati saat menuliskan fiksi. Meski kekurangan saya banyak, namun terus berlatih, terus belajar, terus bereksperimen, saya rasa suatu saat nanti saya akan menghasilkan karya fiksi, atau sastra kalau dijinkan menyebutnya begitu, yang saya dan orang lain akan sukai.

***
IndriHapsari
Gambar : pinterest.com

2 comments

  1. Jadi penulos fiksi, kalo saya modalnya nekad dan daya khayal tingkat dewa. Banyak nonton film, drakor, dorama sampai baca fiksi orang, juga modal buat memperkaya saya. Bodo amat sama sanggapan orang tentang tulisan saya. Yang jelas, saya cuma nulis yang melintas. Masalah orang nggak suka itu terserah mereka. Karena baca itu macem makan. Kalo ga selera ga akan dilalap. Tapi saya juga bukan tipe penulis yang menutup mata pada masukan bahkan kritikan.

    Kalo fiksinya mbak indri saya suka gayanya. Selalu bikin gemes sekaligus penasaran kalo bersambung. Nama tokoh dengan satu suku kata itulah ciri khasnya. Ben, Ted, Ve, coba sekali kali lebih Indonesia. Nur, Mul, Wid, Min, Ning banyak kok. Yang penting nggak ngilangin gayanya mbak Indri……

    Cemungudh eeaaa….

    • Menonton itu salah satu cara untuk mendapat ide dan belajar. Prosesnya bs terbalik ya mbak, biasanya dr novel jd film, kalau kita malah film jadi cerpen..hehehe…

      Wah makasih banyak atas idenya mbak. Saya emang senengnya satu suku kata aja buat nama tokoh, biar ngga ribet nulis dan bacanya 😀

      Mbak Rina juga doong..semoga sukses dgn fiksi dan blognya ^_^

Komen? Silakan^^

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s