Bromo, Juni 2015
Kami berjalan beriringan ke Penanjakan 1 dalam gelap. Membawa senter khusus yang berkedip-kedip agar tak terpisah dari rombongan. Jalan penuh sesak dengan manusia yang hanya bisa saya kenali dengan jaket tebalnya. Pagi ini baru jam tiga, satu-satunya yang bisa menembus pekat adalah senter dan lampu kendaraan.
Bromo selalu memikat dengan sunrisenya. Berjam-jam pengunjung rela menahan dingin demi merasakan kehangatan yang samar ketika matahari mulai terbit. Setelah itu pengunjung bergegas menuruni jalan, menyambung perjalanan ke kawah Gunung Bromo ataupun Bukit Teletubbies dan Pasir Berbisik.
Saat turun itulah lapar mulai melanda. Dan pengganjal rasa lapar paling happening di area itu adalah Pop Mie.
Saya ngga tahu bagaimana mengucapkannya dengan lebih ‘sopan’, selain menyebutkan merk meski tulisan ini tidak berbayar alias bukan tulisan promosi. Tapi pengalaman kemarin membuat saya bertekad untuk menulisnya, sebagai salah satu hutang yang harus saya lunasi di penghujung tahun 2015 (iya, ngga keren ya hutangnya :D).
Mengenai benda ini, Pop Mie, tentulah semua sudah tahu rasa dan bagaimana mempersiapkannya. Ditemukan tahun 1971 di Jepang, cup noodles menjadi salah satu penemuan penting abad ini yang dengan cepat menyebar penggunaannya. Saya suka sifatnya yang praktis, rasanya yang enak, dan keampuhannya menunda rasa lapar yang menyebabkan kliyengan, sakit perut dan emosian (eh itu saya ding :P)
Makanan ini juga ngga kenal demografi. Umur berapapun (asal bukan bayi), jenis kelamin (tak terbatas jenis kelamin ke berapa), pekerjaan, tingkat ekonomi, semua pernah merasakannya. Secara geografi juga sama, mau di kota metropolitan hingga ke pedalaman juga pernah makan. Psikografik, misalnya lovers atau haters, juga semua bisa bersatu dengan menyantap Pop Mie 😀
Saya ngga pernah punya stok di runah, untuk mencegah anak-anak (dan saya juga) menyantapnya di kala iseng (kalau di rumah sih ngga pernah lapar, cuma mulutnya yang perlu dijaga). Tapi setiap bepergian, apalagi kalau ada kolam renangnya, makanan ini paling cocok disantap panas-panas begitu selesai berenang. Itu anak-anak bisa habis sampai kuah-kuahnya, meski sebenarnya saya larang biar ngga banyak terpapar MSG.

Pop Mie bisa disantap di mana saja, apalagi di kantor. Di kantor pasti ada dispenser air panas kan? Di sela kerjaan yang ngga bisa ditinggal, waktu istirahat yang super pendek, atau hari hujan males keluar, maka salah satu cara menyambung nafkah adalah dengan menyantap Pop Mie sembari kerja (ini saingan sama Energen :D).

Dalam perjalanan, yang paling sering kami temui di depot atau warung transit adalah Pop Mie. Pedagang selalu nyetok karena memang dagangan ini yang demandnya stabil, expirednya lama, harga terjangkau, rasa pasti enak, ngga perlu promosi, jadi ngga rugi menimbun banyak. Di kala semua menu di tempat itu rasanya ngga cocok semua (misal datang ke depot ayam betutu padahal ngga suka pedas), tapi SEMUA suka menu tersebut, maka Pop Mie menjadi penyelamat supaya ngga misah dari rombongan.

Dalam penyebrangan ke Bali, ada tawaran untuk menyantap nasi bungkus, atau memilih Pop Mie yang dipajang di kantin kapal. Saya memilih yang kedua, karena untuk nasi bungkus saya belum tahu rasanya, kualitasnya gimana (bahannya, cara masak sudah higienis belum) dan kuantitasnya (nasi ayam itu artinya dapat nasi, mie, tempe kering, dan leher ayam goreng). Untuk amannya, ya Pop Mie aja, ngga bikin sakit perut atau sakit hati.
Jangan salah kalau dibilang Pop Mie makanan murahan. Di pesawat, penumpang selalu ada saja yang menyambut tawaran pramugari untuk menyantap Pop Mie di ketinggian puluhan ribu kilometer, dengan bau yang menguar ke beberapa baris depan dan belakang, bikin mendadak lapar. Iya sih ini low cost carrier, jadi sesuai dah dengan prinsip penghematan yang menjadi fokus utama calon penumpang. Tapi karena harganya lipat tiga dari minimarket, saya rasa ini bukan makanan murahan lagi. Lagian, nyangu Pop Mie sendiri beserta termos air panasnya masuk kabin juga ngga asyik banget 😀
Menghadapi MEA, saya optimis Pop Mie bisa memenangkan persaingan. Indofood sebagai induk dari Pop Mie sudah mendunia dengan Indomie, yang menurut saya rasanya sebelas dua belas dengan Pop Mie. Berhubung Indomie sudah jadi makanan pokok di Nigeria, dilarang di Taiwan karena menggerus pasar mie instan lokal, bukan hal sulit bagi Pop Mie untuk menjawab tantangan global. Saya demen nyobain mie instan dan cup noodle impor yang ada di rak supermarket. Atau mengambil cup noodle produksi lokal saat berada di luar negeri. Tapi rasa memang ngga bisa bohong. Tetap Pop Mie yang ngangenin dengan kekenyalan mienya, bumbunya yang lebih asin dan lebih gurih, serta kesederhanaan rasanya. Ngga perlu rasa keju atau susu yang buat saya aneh rasanya.
Meski Pop Mie masih kalah set dengan saudara kandungnya Indomie, saya masih memilihnya sebagai pertolongan pertama terhadap kelaparan. Indomie lebih menggurita meski rasa sama, karena lebih murah, lebih banyak dan lebih kenyang. Mereka yang makan mie instan adalah yang membutuhkan ransum untuk menyambung hidup, bukan makanan iseng yang kenyang sebentar trus laper lagi, dan cari-cari makanan lain. Cuma karena persiapannya dan perlengkapannya lebih ribet, tak bisa buat Indomie bikin Pop Miepun jadi 🙂
Supaya lebih baper lagi, link video berikut memberikan alternatif cara mempersiapkan cup noodles dengan menu bervariasi.
***
IndriHapsari
Duh bener bgt ni kalau ngk sempt beli sarapan nyeduh pop mie joss. Hehe.. Brand image nya udh melekat bener ni.. Gk enak klo bukan pop mi 😆
Hahaha ada fans garis keras nih 😀
Ahaaaaiii, boljug nih mbaaaak 🙂
Etapiii aku belakangan ini benci bingits ama pop mie. Wadahnya (stereofoam?) itu lo gampang melepuh lalu mbrodhol kena air panas :((((
Oya? Minggu lalu msh ok sih mbak..pake air mendidih jg. Apa kemasannya diganti ya…
Gak tau juga siy mbak. Aku beli di kantin kantor 😦 Jadi mesti aku pindahin dulu ke mangkok.
Waduh repot bener ya 🙂 Wah skrg ngantor lg y mbak..dimana? Smg sukses ya…