Saat masih di rumah sakit, kesempatan datang ke ruang bayi untuk memberinya ASI sungguh suatu kesempatan yang saya nanti. Saya hapalkan benar kapan boleh kesana, saya bersihkan dan rapikan diri, seakan-akan ia bisa melihat saya. Padahal baru saja sehari, ia masih suka tidur saja. Membuka mata hanya kalau lapar, atau gelisah karena popoknya basah.
Maka dengan berjalan pelan, saya susuri koridor rumah sakit. Menahan perih karena luka jahitan, tapi sekaligus bersemangat karena akan bertemu dia yang disayang. Darah daging saya. Menemani dalam 8 bulan yang lalu. Menjalin ikatan batin antara anak dan ibu.
Seperti akan bertemu pacar. Ya, itulah yang saya rasakan. Persiapan ingin memberi yang sebaik mungkin. Tak sabar ingin bertemu segera. Menanti saat bertemu tiba. Tak lupa, ada debar ketika tinggal sedikiiit saja kesempatan itu akan saya raih.
Dan tersenyumlah saya, ketika melihatnya digendong perawat. Masih tidur, terbalut dengan kain yang lembut, tetaplah ia dengan ketidakberdayaannya membuat saya jatuh cinta. Mengelus pipinya yang lembut, menggendongnya, memandang wajah tanpa dosanya, ah dialah anugrah terindah yang Tuhan berikan.
Perasaan itu bertambah kuat ketika saya mulai menyalurkan apa yang saya punya padanya. Rasanya saat itu, apapun yang dia minta akan saya berikan. Saya senang bisa memberikan sesuatu yang disukainya. Saya senang berguna baginya. Saya senang mengungkapkan sayang saya padanya. Rasanya tak ingin waktu berakhir, namun akhirnya ia pun harus ditidurkan kembali.
Ada kalanya saya patah hati. Waktu saya datang mengunjungi, ternyata ia sudah diberikan susu kaleng oleh perawat. Katanya ia terbangun tadi, dan menangis karena lapar. Pupuslah harapan saya, untuk mengungkapkan sayang saya padanya. Kadang perawat berbaik hati, menawarkan untuk menggendongnya saja. Tentu saja, hal ini saya sambut dengan senang hati. Asal bisa menyentuh dan memandangnya, saya merasa bahagia.
Patah hati lainnya, adalah saat mestinya saya dan dia sudah waktunya pulang, namun ia masih tertahan karena harus masuk inkubator. Rasanya sedih sekali, dan tak tega untuk melakukannya. Maka saya memilih overstay, hanya untuk menemaninya, melihatnya di ruang kaca, bahwa ia, masih bernafas. Mahluk semungil itu, dengan berbagai selang yang menancap dintubuhnya, sungguh saya tak tega. Kalau bisa, biar saya saja yang menggantikannya. Saya sudah besar, kuat, karena saya seorang ibu.
Maka ketika mendengar kabar, dua sahabat saya kehilangan ia yang mereka sayang dan nantikan, hancurlah hati saya. Saya tahu rasanya! Dan apa yang mereka derita, sungguh berlipat-lipat dari apa yang pernah saya rasakan dulu. Saya tahu dalam kondis itu saya akan sangat down, menyesali diri, menyalahkan, tak bersemangat, dan jangan tanyakan berapa liter air mata yang tertumpah.
Ah ya mungkin saya berlebihan. Dan dua sahabat saya tersebut dapat melewati semua dengan tabah. Salut saya untuk mereka, karena jika berada pada posisi tersebut, mungkin saya tak bisa sekuat mereka. Namun saya percaya, nurani mereka sebagai seorang ibu dari anak-anak yang telah dilahirkan, istri dari seorang suami yang begitu sayang, telah membuat mereka kuat dan mampu bangkit kembali, melewati segala trauma dan kepedihan yang melanda.
Dan ini adalah satu episode, dari skenario besar yang Ia ciptakan.
***
IndriHapsari
Gambar : Pinterest.com
with deep condolences for my friend. I’m too worry to share this article for her, let she find it someday, when she is stronger.