‘Ibu, aku takut.’
‘Kenapa?’
‘Aku takut sendiri.’
‘Kan ada Ibu menemani.’
*
‘Teman-teman tanya, kenapa aku mesti pergi.’
Aku terdiam, sebelum menjawab,
‘Di tempat lain, ada harapan baru.’
*
‘Kok Ibu tahu? Kita tak tahu ada apa
di balik awan itu.’
Aku tersenyum.
‘Keyakinan. Ada pasrah dibalik ketakberdayaan.’
*
‘Seperti apakah rasanya awan, Ibu?
Apa terasa lembut seperti kapas?
Atau manis seperti gulali?
Mungkin dingin layaknya angin?
Apakah halus, seperti..cinta?’
*
Kali ini tak bisa ku menjawabnya.
Mataku memandang ke luar.
Cinta yang kukenal,
terasa pedih dan menyakitkan.
Betapa hebat yang bisa dilakukan
oleh orang yang kau cintai
untuk menyakiti.
Mengubah kayu, menjadi abu.
*
‘Tapi Ibu benar.
Lihat, ada cahaya mentari
muncul dari balik awan.
Mungkin, seperti harapan ya Bu.’
Aku terdiam.
*
Seperti cendawan di musim hujan.
Muncul satu per satu
Tunas-tunas baru
Untuk kehidupan
yang lebih menjanjikan.
*
‘Lihat Ibu.
Bukankah itu tempat yang kita dulu?
Sekarang hanya nampak samar.’
Ya, mungkin memang lebih baik tinggalkan
cinta yang tak memberi kedamaian.
Melangkah dan bersiap
untuk cinta yang memuliakan.
***