
~Seburuk Apa Ucapanmu~
Perkembangan teknologi saat ini tidak disangkal memberikan dampak baik dan buruk. Dampak baiknya adalah bagi orang-orang yang mampu memanfaatkannya, sehingga mereka jadi lebih maju dan mendukung usaha kreatif dan inovatif mereka. Sementara bagi mereka yang salah menanggapinya, malahan menjadi monster bagi sesamanya.
Bagaimana tidak. Dengan bertubi-tubinya sinetron yang primitif, manusia digambarkan hanya hitam putih semata, maka kosakata semua pemirsanya menjadi bertambah, gaya hidup yang belum menjadi miliknya menjadi idaman, kisah hidup orang lain yang sebenarnya bukan urusan kita menjadi perbincangan. Kosakata dan dialog yang buruk ditiru, sehingga perbendaharaan kata orang Indonesia melesat luar biasa, pun penggunaannya menjadi salah kaprah.
Kita menjadi terbiasa berkata kasar, menghina fisik seseorang untuk bahan becandaan, merasa bahwa membentak orang tua seperti di sinetron adalah hal yang biasa. Penggunaan yang salah ini setelah terjadi pada dunia lisan, merembet ke dunia tulisan. Orang merasa lebih nyaman saat menuliskan sesuatu, mengekspresikan perasaannya dengan kata-kata yang menurutnya cocok, sebodo amat kalau orang lain tidak cocok. Kelemahan dari komunikasi non-lisan adalah kita tidak segera mengetahui bagaimana reaksi lawan bicara kita, sehingga ya ngga ngerti-ngerti kalau yang di ujung sana memerah mukanya, menipis kupingnya, dan siap menyemburkan balik kemarahannya ke kita.
Ada juga yang begitu pengecut menyembunyikan muka, bertujuan agar bebas mengatakan ini itu yang buruk kepada sesama. Kalau yang begini memang sengaja, mungkin harga dirinya memang sudah tidak ada jadi sudah tidak mau dianggap manusia. Maunya avatar saja, alter ego saja, atau apapun elaknya. Intinya ya gitu, untuk hidup sudah ngga berharga, untuk mati dia terlalu takut untuk melemparkan dirinya ke depan kereta.
Orang-orang ini, yang sengaja atau tidak sengaja dalam tidak menjaga mulut dan jarinya, bisa menjadi begitu karena dua hal. Yang pertama karena ia begitu sensitif tidak mampu mengendalikan perasaannya ketika mengalami perlakuan atau kata-kata buruk, kemudian menggunakan kepekaan itu untuk membalasnya ke orang lain. Kenapa? Karena untuk membalas langsung ke pelakunya ia tidak bisa. Biasa, kalah hawa, yang ngegencet lebih kuat kuasanya daripada dia. Akhirnya dilampiaskanlah pada mereka yang diperkirakan lebih lemah daripada dia. Pernah lihat ada pelanggan yang marah-marahin pelayan yang terdiam, karena kesalahan kecil jadi besar? Pernah dengar mbak customer service dibentak-bentak di telepon, padahal sudah dilayani dengan suara empuk dan ramah? Atau seorang ibu yang kasar ke anaknya? Ya karena untuk orang-orang beginilah dianggap lebih lemah daripada lainnya. Alasan kedua, bisa jadi karena dia tidak tahu bagaimana bersikap dan berkata-kata yang baik, jadi disangkanya yang begitu boleh-boleh saja.
Satu contoh kemarin saat saya membaca artikel tentang bagaimana mengirimkan SMS yang baik, di antara ratusan komentar yang positif, satu komentar mengatakan, “Anda gila hormat ya!”. Ckckck…urusan SMS saja dituduh jadi gila hormat, itu antara mulut ngga pernah disekolahin atau ada hal yang buruk terjadi dalam hidupnya. Masa lalunya mungkin.
~Seburuk Apa Didikan Orang Tuamu~
Saya sering kali bertanya-tanya, kalau ada orang-orang yang berasumsi buruk, berkata buruk, bertingkah buruk, itu dulu didikan orang tuanya bagaimana ya? Karena setahu saya nih, semua orang tua pasti menitipkan hal-hal yang baik pada anaknya, sebagai bekal menempuh perjalanan hidup di masa mendatang. Termasuk dalam hal ini adalah aktivitas sosial yang bersinggungan dengan orang lain. Supaya dapat calon mantu yang baik, orang tua akan mengajarkan anaknya untuk menjadi calon pasangan yang baik. Buat laki-laki dilatih untuk bertanggung jawab, bisa ngemong istrinya, siap menjadi kepala keluarga yang diandalkan. Jadi kepala keluarga yang mulutnya kaya comberan? Kayanya ngga termasuk didikan deh. Anak perempuan juga dilatih supaya bisa jadi ibu bagi keluarganya, tempat mencurahkan segala kesal dan lelah di dalam rumah. Kalau sampai ni anak perempuan kerjaannya nyinyir dan ngurusin masalah orang lain, ya jauhlah dari keluarga yang didambakan.
Urusannya bukan cuma jodoh semata, orang tua juga memikirkan supaya anaknya bisa mandiri, dapat kerjaan yang mampu menopang hidupnya. Lalu mau jadi apa anaknya, kalau ngomong ke atasan ngga sopan, ngomong ke sesama teman ngga nyambung, ke bawahan kasarnya minta ampun. Orang tua pasti mendidiknya yang baik-baik, supaya anak ini bisa berkomunikasi yang betul di pergaulan yang beragam. Kalau yang tingkat tinggi sih mampu menjadi leader bagi kumpulannya, bukan menjadi loser dan disingkirkan dari pergaulan.
Maka di antara semua asumsi baik tentang didikan orang tua, lalu ketemu sama orang yang ngomongnya kasar seperti tidak pernah bergaul dengan manusia, saya jadi berpikir selanjutnya.
~Seburuk Apa Hidupmu~
Dari kecil sudah disayang-sayang, diberi yang terbaik dalam hidup supaya jadi manusia beneran. Kalau gedenya ternyata berantakan…hmm…mungkin dia sempat mengalami kekecewaan dalam hidupnya, trus ngga bisa move on sampai sekarang.
Oh yes, saya berani menyampaikan seperti itu. Mungkin dalam perjalanan hidupnya ada berbagai persoalan hidup, yang ngga terpecahkan malah disimpan dalam-dalam, ngga bisa disingkirkan. Akibatnya ya ke tadi, pikiran dan perkataannya jadi negatif, maunya curiga terus, dan yah…orang-orang seperti ini ngga asyik lah dijadiin teman. Lah habis tiap dekat dengan dia isinya kritikan mulu, nyinyir mulu, kapan bahagianya. Hei kita berteman karena nyaman, supaya merasakan kebahagiaan sama-sama, siap menanggung beban sama-sama. Kalau sejak awal perkenalan isinya beban mulu, masalah mulu, lalu hubungan persahabatan apa yang mau dipertahankan? Jadi atasannya juga pusing lah punya bawahan yang ngeluh mulu, ngga ada hubungannya lagi dengan kerjaan. La terus otak lu dipakai buat apa, kalau di tempat kerja malah mikirnya yang lainnya. Rugi dong eike bayar gaji, kalau seluruh fokusnya bukan di kerjaan. Bawahan ya sama pusingnya punya boss yang negative thinking. Mau apa-apa ntar disalahin, belum lagi si boss suka sensi mendadak dan ngga ada kebanggaan sama apa yang sedang mereka kerjakan.
Kata-kata buruknya jadi bertebaran, karena hatinya sudah terlanjur sakit hati, entah sama apa. Ada masalah di keluarga, kerjaan mungkin, keuangan, atau pergaulan. Saya keluarkan masalah kesehatan, kecuali yang kesehatan mental ya, karena kalau orang sudah dekat sama kematian, biasanya tambah baik dan sabar, bukannya tambah menggila. Ngga bisa memecahkan masalah di ranah yang satu, yang dimaki-maki di ranah lainnya, meskipun ngga berhubungan.
Orang-orang yang suka menghina orang lain misalnya, ngga peduli itu presiden sampai tukang sapu, memilih orang yang jauh (supaya ngga kedengeran), keliatan sabar (ngga mungkin diajukan ke pengadilan), dan ngga berpengaruh langsung dalam hidupnya. Coba deh, maki-maki pak RT seperti memaki ke presiden misalnya, kalau ngga ditendang dari lingkungan. Atau coba bentak tukang sampah yang tiap hari ngambilin sampah di depan rumah, kalau ngga dibiarin aja sampah kita menggunung. Ngga berani kan?
Kehidupan yang buruk menimbulkan kekecewaan akut. Kekecewaan akut dilarikan menjadi penghinaan terhadap ciptaan Tuhan. Seenak saja mengata-ngatai orang lain, sebenarnya kita juga sudah dosa sama Tuhan, itu orang yang kita hina-hina diciptakan Tuhan sedemikian rupa. Tuhan saja membiarkannya hidup, memberikan kesempatan padanya untuk membaktikan diri pada manusia lainnya. La kita yang ngga ada manfaatnya ini malah mengecilkan arti kerja atau pengorbanan orang lain. Apa ngga kebangetan tuh?
~Sebenarnya, Seburuk Apa Hidupmu Hingga Kau Usik Hidup Orang Lain~
Kalau kita tidak bisa berkata yang baik, saya sarankan lebih baik diam. Diam itu lebih bermartabat daripada nyembur ngga karu-karuan, memberikan kritik tanpa solusi, dengan niat menjatuhkan. Cukup hidup kita aja yang brengsek, ngga perlu mengusik kehidupan orang. Kadang kata-kata buruk juga bukan hanya pelampiasan, tapi iri dengan kehidupan orang lain yang nampaknya lebih baik. Makanya jadi lepas kendali begitu.
Menjadikan hidup kita buruk saja sudah salah, apalagi mengganggu kehidupan orang. Oh ya, saya percaya hidup kita baik atau buruk itu tergantung dari usaha dan penerimaan. Kalau kita sibuk memperbaiki hidup kita sendiri, ngga aka nada tuh yang namanya memperhatikan hidup orang lain seperti apa, kurangnya dimana, atau sok-sok ngebenerin gitu sesuai kacamata kuda yang kita pakai. La ngurus hidup sendiri saja ngga becus, ngga usah lah ditambah lagi dengan melihat kehidupan orang lain seperti apa. Jauh, selama kita ngga pernah berusaha memperbaiki diri sendiri.
***
IndriHapsari
Kalau berdasarkan pengalaman pribadiku Mbak… Poin 3 dan empat yang lebih mungkin bikin aku ‘nyampah’ di internet. Selama ini sih tahan aja. Eh kok kemarin sempat ‘nyampah’ di blognya Mbak Lis. Tapi udah aku selesaikan dengan pihak2 yang bersangkutan meski aku tidak menjamin bisa membersihkan nama baikku di mata mereka.
Poin ketiga dan keempat yg mana ya mbak, sy jd hilang fokus 😀 Sip mbak, smg ngga ribut sm teman sendiri ya 🙂
panjang bener…..:)
Hahaha lg pengen panjang 😀
Banyak sih orang yg kyak gitu, Gak jelas apa salah kita, dia maen usik cari masalah. Parah orang Sumatra biasanya
Hehehe kayanya tiap suku punya oknumnya deh 🙂