Jumat, Seminyak, 05.34 WITA
Fahri melangkahkan kaki dengan pelan melewati gang-gang sempit dan gelap. Para ibu belum membuka pintu rumahnya untuk mempersembahkan sesajen bagi Sang Hyang Widhi. Sesekali dilihatnya anjing liar berkeliaran. Tidak mengganggu. Lampu temaram saja, cukup jarang. Keadaan sangat sepi hampir tak ada orang.
Akhirnya rangkaian gang berpaving stone digantikan dengan jalan beraspal. Hampir sampai ke pantai yang ditujunya, dengan jejeran club house di sekitarnya. Semakin dekat dengan tempat yang ditujunya, Fahri mendengar suara tawa wanita-wanita. Tawa yang semu. Dipengaruhi oleh minuman yang mereka tenggak hingga dini hari. Fahri terus melangkahkan kaki melewati mereka. Sambil terhuyung mereka membuka pintu mobil, seorang pria yang nampaknya cukup sehat pagi ini berada di balik kemudi. Asal ngga nabrak saja…
Jadi ingat Dea. Dea yang sebagai seorang model dekat sekali dengan kehidupan malam, tapi lebih memilih pulang ke rumah, mencicipi masakan ibunya, untuk kemudian tertidur di depan komputer, bahkan saat sedang berbicara dengan Fahri lewat internet. Dea yang cuek saja dikatakan ngga gaul dan karirnya bakal berhenti cepat. ‘Rejeki ngga akan kemana’ dan senyum manis menghiasi wajahnya saat Fahri menanyakan alasannya.
Sampai juga. Fahri melepaskan sandalnya di bawah sebuah pohon. Kaki telanjangnya kini melangkah ke pasir hitam. Dingin dan padat. Seperti hati Dea mungkin. Fahri tetap melangkah menuju tepi pantai. Ombaknya yang putih seakan menyambutnya. ‘Kemari, kemari…’ begitu mungkin kata mereka jika bisa bicara. Sungguh Fahri ingin menenggelamkan diri di lautan maha luas yang terhampar di depannya.
Buat apa ia kesini jika ditinggal sendiri? Tadi malam ia telah menelpon Dea di kamarnya, karena semua ponsel dan BB telah dimatikan sejak pertengkaran sore itu. Mungkin Dea mengira yang menghubunginya lewat resepsionis hotel adalah manajernya, sehingga diterimanya telepon dari Fahri tanpa sengaja. Tak bisa menghindar lagi. Hanya menjawab singkat atas pertanyaan-pertanyaan Fahri.
‘Sudah sampai?’
‘Ya’
‘Masih marah?’
…..
‘Besok, ketemu?’
‘Pulang’
‘Loh, katanya lusa?’
‘Kupercepat’
Itu saja. Fahri bisa bayangkan ekpresi Dea saat itu. Berdiri tegak dengan gagang telepon di telinga, bibir yang tak tersenyum, dan mata yang sendu. Dea…begitu sulitnyakah…
Fahri memasukkan kedua tangannya di saku celana, sementara ujung celananya terus menerus basah disapa ombak yang sesekali datang. Tersentuh olehnya bungkus rokok di saku kanan. Kosong. Kalau Dea tahu dia bisa marah..ah, siapa lagi yang akan memarahinya untuk urusan seperti ini.
Dengan marah Fahri mengambil bungkus rokok itu dan melemparkannya ke ombak yang menghampiri. ‘Pergi! Pergi!’ tapi kepedihan tetap tinggal di hati.
Fahri menengadahkan kepalanya. Matanya kini menatap cakrawala. Pagi mulai menjelang, semburat warna keemasan mulai membayang. Sebentar lagi mentari kan datang. ‘Dea malah pulang’….
Sudah Fahri persiapkan jauh-jauh hari, semua pertemuan ini. Setiap dia off dari perkerjaannya di eksplorasi, dia akan menyesuaikan dengan jadwal Dea tidak show, agar mereka dapat menghabiskan waktu bersama. Ini sudah kali kelima, dan semuanya menyenangkan, kecuali yang terakhir ini. Bersama Dea semua tempat terasa indah. Setiap jam terasa terbang. Segala gundah terasa hilang. Hanya dengan memandangnya, menyentuhnya, mencumbunya…setelah waktu-waktu sebelumnya ia simpan semua kerinduan itu.
Namun kali ini, Fahri malah dihadapkan pada pilihan. Pulang lebih cepat dan bekerja kembali sebelum waktu vakansinya habis (‘Boss pasti senang’), atau menghabiskan waktu di sini, sendirian. Ini pulau Dewata, dengan beribu keindahannya, tapi apa artinya tanpa Dea?
Tak percaya, semuanya sudah tak ada. Dea, dan cintanya…
***
…it’s more than goodbye..hard to believe it’s over now…
Sumber gambar ; pinterest.com