Dulu banget pernah mengunjungi Dieng dan menginap di Wonosobo, kunjungannya ke Candi Arjuna. Ngga banyak berkesan sih, panas dan berdebu, karena kompleks candi tersebut sedang dibangun. Wisata alam is not my thing lah. Tapi karena beberapa grup teman kesana dan bilang bagus, pas juga ada kesempatan kesana gratis, kenapa ngga? (ini kayanya yang utama gratisnya :D)
Kalau naik kereta atau pesawat, Dieng bisa dicapai dari Yogya dalam waktu 4 jam, dari Semarang juga segituan. Bedanya, jalannya dari Yogya asoy, mlungker-mlungker selama 2 jam, mana tikungannya banyak yang sudutnya kurang dari 90 derajat dan belokannya pas nanjak atau turun. Buat yang mabok siap-siap aja minum antimo atau tempelin koyo ke pusar #tips.
Kami sampai ke Wonosobo sudah malam. Bus harus diganti dengan kendaraan elf yang memang banyak disana, bisa muat 15 orang dengan bagasinya. Perjalanannya sama tuh, meliuk-liuk. Tapi Dieng ini indah banget meski malam hari. Di atas langitnya cerah banget sampe bintangnya keliatan dan jalanan kami ngga terlampau gelap. Di kiri kanan diapit gunung Sindoro dan Sumbing. Lembahnya ngga keliatan apa-apa tapi di kejauhan keliatan kelap kelip lampu. Manis banget, kan jadi pengen romantis 😀

Di Dieng hotelnya jarang apalagi kami berbanyak, jadi nginepnya di homestay. Homestay itu rumah penduduk yang disewakan sebagian atau seluruh rumahnya. Homestay kami namanya Dahlia, bagus dan bersih. Di lantai bawah ada 4 kamar yang bisa menampung 10 orang. Kasurnya springbed kok dan ada bedcover serta selimut bersih. Lantainya dialasi karpet kalau di kamar, kalau di luar lantai kayu biar anget. Di kamar mandi ada toilet duduk dan flushnya, ada shower dan air panas. Pas yang saya ngga jalan showernya tapi untung ada ember dan gayung. Kamar mandinya kecil aja kaya di apartemen.
Oya Dieng ini udaranya dingin, tapi ngga gigit. Kalau di Jatim kaya di Pacet Tretes gitu lah. Pakai jaket aja sudah cukup mestinya. Disini banyak orang merokok, karena dingin itu kali ya. Suhu terdingin jam 3 pagi, itu belasan derajat tapi masih bisa saya hadapi karena persediaan lemaknya banyak #miris 😛
Kenapa ngomong jam 3 pagi? Karena itu waktu kami dibangunkan untuk mengejar sunrise di Sikunir. Yah kalau di Bromo kaya Penanjakan gitu lah. Kami naik elf ke Desa Sembung yang jadi desa tertinggi di Indonesia, 2000 dpl. Kalau Sikunirnya sendiri 2600 dpl. Sampai parkiran sudah banyak rombongan yang mau naik. Toilet tersedia banyak (iya kemana-mana saya cari toilet memang :D) airnya banyak juga.

Pendakian agak susah karena gelap, jalannya awal paving, di tengah batu, terakhir jalan tanah. Kalau hujan pasti licin wong kering aja masih licin. Di beberapa sisi ada pegangannya kaya bambu atau tali tambang. Naiknya buat yang ngga pernah olahraga macam saya cukup berat, lebih berat dari ke Bromo. Tapi syukurlah nyampe juga ke paling atas setelah sempat mendengatkan jantung saya sendiri 😀 Buat yang mau istirahat di tengah jalan ada Pos 1 yang ada mushollanya dan toilet (tuh penting kan :D).
Probabilitas dapat sunrise di Sikunir kayanya kecil ya, karena lawannya awan yang turun jadi kabut. Tebal banget sampai sinar matahari ngga bisa menembus, pemandangannpun ngga kelihatan itu apa. Alhasil kami cuma foto-foto diri sendiri aja yang kayanya emang udah dari sononya deh, bukan karena kabut 😀

Turun, ternyata kabutnya mulai menghilang dan mulailah kami foto-foto pemandangan. Ngga gitu keliatan sih spotnya, yang bagus malah pas mau pulang ke arah Temanggung. Hah pemandangannya breathtaking banget! Lembahnya disulap jadi perkebunan carica, buah asli dieng, dan kentang. Hebat euy penduduk Dieng bisa bercocok tanam dengan kemiringan curam seperti itu. Di desanya sendiri banyak mesjid, banyak anak-anak yang berangkat sekolah, dan anak-anak kecil digendong mamaknya di belakang. Gaya gendong seperti ini supaya dua tangan mamaknya bisa bekerja. Keren ya sudah bawa anak kemana-mana masih bisa melakukan aktivitas rutinnya. Sayangnya pas kesana kami ngga ketemu anak rambut gimbal yang kata pemandunya di tiap desa ada 5-6 anak berambut gimbal.
Pas mau ke parkiran, baru kelihatan ada telaga gede di hadapan. Namanya Telaga Cebong, mungkin karena banyak kecebongnya. Backgroundnya cakep banget soalnya keliatan sisi gunungnya. Ada beberapa yang kemping di pinggir telaga. Terus bunga terompet warna kuning juga cantik menghias pemandangan.

Wisata lainnya adalah wisata masa kecil saya, Candi Arjuna. Kompleksnya cukup besar, candinya ada di tengah. Kata teman mustinya ada 3 candi, tapi kemaren cuma ada 2,5. Yang istimewa adalah backgroundnya. Pemandangan pegunungan yang kayanya dekat banget ya. Ada tulisan Dieng – Banjarnegara karena di daerah dipunyai oleh dua kabupaten yaitu Banjarnegara dan Wonosobo. Ada juga museumnya tapi karena waktunya dimeniti oleh travel agentnya jadilah kami lewatkan saja. Kayanya sih bagus, tapi papan petunjuknya nyelempit baru ketauan pas mengelilingi kompleks.

Yang suka lihat kawah, bisa ke Kawah Sikidang alias si kijang. Ada yang ngga suka ke kawah karena berbau belerang yang mirip telur busuk. Mesti siap masker atau kalau ngga belinaja dari ibu penjual yang menyambut turis yang datang. Sebelum masuk komplek kawah kami harus melewati pasar yang sayang banget penampilannya malah bikin kami pengen cepat-cepat pergi. Deretan lapak juga menyambut pengunjung dan yang mereka jual sama, bubuk belerang, gorengan, bunga mirip edelweis. Ada beberapa spot foto dengan tulisan macam-macam, atau berfoto dengan burung hantu yang mestinya siang jatah dia tidur.
Kawahnya sendiri ada banyak mestinya, tapi yang boleh dilihat mungkin satu-dua. Kawahnya dibatasi pagar supaya ngga ada yang kecemplung di air belerang yang lagi bergolak itu. Ada kawah kecil yang bisa merebus telur atau jagung, tapi kami ngga coba. Mendadak ilang nafsu makan abos nyium baunya 🙂
Wisatanya sebenarnya ada lagi seperti Telaga Warna, atau Dieng Plateau Theatre, itu tempat muterin film tentang Dieng. Pemerintahnya sepertinya berusaha membangun infrastrukturnya untuk membantu masyarakat yang mau usaha, tapi fasilitas itu nampak kosong. Memang perlu usaha lain selain membangun, yaitu melatih dan merawat. Jangan jadi nampak menyedihkan seperti pipa-pipa geothermal yang berkarat dna nampak rapuh (ada tulisan hati-hati pipa berbahaya. Ya jelas aja bahaya wong kaya ngga dirawat gitu :P) atau pipa kecil putih (air) yang pating cerentang melintasi atas jalan, dari tebing ke lereng, atau keleleran di tanah.

Oleh-oleh bisa coba Carica yang sudah disulap jadi kudapan manis, baik yang basah maupun yang kering. Carica bentuknya kecil, rasanya kaya pepaya mentah. Makanya gulanya dibanyakin biar manis. Kemasannya juga cantik untuk dijadikan bingkisan. Yang kurang awet itu kentang makanya cuma bisa makan di tempat. Tapi kentangnya ini hau jek! Trust me, say sudah nyobain mashed potatonya Rustique, french friesnya Holycow, kentang Dieng juaranya dengan berbagai kesederhanaannya. Jadi kentangnya itu aja yang kecil-kecil kaya baby potato gitu. Dimasak sama gula merah plus kulit-kulitnya. Disantapnya macam cilok gitu, tapi wuenak! Pas beli kentang goreng yang dipotong kaya wedges juga enak banget! Ada asin yang samar, gurih, empuk. Ah, emang ngga ada yang bisa ngalahin bahan yang segar kok. Jajanan kaya gini bisa didapat dengan harga 5-10 ribu aja kok, sudah kenyang soalnya ngemil karbo 😀

Jajanan khas lainnya adalah tempe kemul. Beda dengan mendoan, tempe kemul ini masih keliatan tempenya yang kedelainya ngga ada campurannya. Potongnya tipis aja, yang gede tepungnya. Tapi tepungnya juga enak kok, crunchy gitu meski dingin. Di Dieng sih lawannya udara, jadi baru keluar dari wajan aja kesannya sudah hangat, ngga kepanasan. Cara gorengnya kaya bikin peyek, tapi tepungnya milih yang begini ah!

Tempe kemul yang harganya seribuan ini konon jadi temannya makan mie ongklok. Mie ongklok yang merupakan makanan khas Wonosobo emang nagih sih. Campurannya ada kubis, mie, perkedel bercampur kuah manis dan gurih berasa ebi. Paduannya sate sapi yang agak manis, dagingnya empuk meresap sampe dalam-dalam. Di tengah suasana Dieng yang sendu plus gerimis tipis-tipis, kayanya bakal gembul deh kalau tinggal disini *hlo malah nyalahin kotanya* 😀

Yang bikin tambah kagum, kebetulan kemaren kami nongkrong terus di depot ini untuk makan malam, bakar jagung, makan pagi dan makan siang. Dan tersebutlah pojokan ngopi, yang kopinya juga asli Dieng, trus diolah gitu jadi cappucinno, americano, mochacinno..you name it. Jadi ada kedai kopi seenak gerai terkenal di kota besar, dengan harga seperempatnya. Jangan bayangin penampilannya kaya kopi sachetan diaduk loh yah, ini masnya barista beneran bisa mencampur dan menghias kopi secantik ini. Aduhai mamake…mimpi apa ada kedai kopi keren gini nyelempit di Dieng.
So, mana nih yang mau ditemani ke Dieng? *belagak guide* 😀
***
IndriHapsari
Dieng emang kereeeennnn… ><
Lain kali coba ke puncak Prau untuk liat golden sunrise nya Mba.
Dijamiin, breathtaking!!
Jadi pengen ke sana lagii..
Oya? Wah smg medannya ngga lebih berat ya pas di sikunir kemaren sampe ngos2an 😀