Profesor yang Novelis, Mungkinkah?

Seorang teman memberikan tautan ini ke saya, saat kami diskusi emang bisa ya orang yang berkecimpung di bidang ilmu pengetahuan, mengulik sesuatu murni berdasarkan fakta, bisa menjadi seorang dengan imajinasi yang luar biasa? Itu ibarat membunuh otak kiri dan mengembangkan otak kanannya. Fiksi adalah fiksi, yang bahkan fakta ngawur boleh dikemukakan, menciptakan khayalan serupa fakta boleh-boleh saja, cerita lompat-lompat ngga sistematispun bisa diterima.

Tapi bahkan Einsteinpun bilang :

Logic will get you from A to B. Imagination will take you everywhere.

The true sign of intelligence is not knowledge but imagination.

We cannot solve our problems with the same thinking we used when we created them.

The gift of fantasy has meant more to me than my talent for absorbing positive knowledge.

Imagination is more important than knowledge.

Jadi, mbahnya orang pintar aja sampai mengagungkan imajinasi, yang menyebabkan penemuannya anti mainstream, outstanding, dan tetap menjadi kasak kusuk para ilmuwan jauh setelah Einstein tiada.

Tapi kan Einstein bukan penulis fiksi?

Sebenarnya ya, dunia fiksi ini ngga sebatas di penulisan saja, tapi juga dari karya lain. Kenapa pematung bisa menciptakan karya yang surealis, karena imajinasi dia, fiksi yang dia khayalkan dalam kepalanya, diwujudkan dalam patung-patung yang bagi saya aneh dan heran, kok kepikiran bikin beginian. Demikian juga dengan Einstein dan penemuan anehnya, itu juga bagian dari imajinasinya.

Tapi kalau mau tahu contoh lainnya, seorang ilmuwan yang jadi penulis fiksi jempolan, nih ada Profesor Alan Lightman, fisikawan yang juga dosen di MIT, institut paling keren di muka bumi. Bukunya yang jadi best seller dunia, Einstein’s Dream, diterjemahkan dalam tiga puluh bahasa dan dipentaskan di teater. Aduh, jadi kepo kan dia nulis apa sih…

Menjadi dosen dan penulis fiksi itu bukan perkara gampang. Pertama kalau dari segi penguasaan ya, seperti yang saya cerita di atas, yang satu fakta, yang satu khayalan. Yang satu mesti diceritakan secara kronologis dan sistematis, yang satu semakin loncat atau acak makin menarik. Kedua, jadi penulis yang dosen itu ngga bisa liar imajinasinya. Ini beneran. Kalau kita kerja profesional, lalu nulisnya soal selangkangan, ha…mau dikemanakan muka kita di depan klien, mahasiswa, rekan kerja. Saya bisa ngebayangin deh, Sir Arthur Conan Doyle yang dokter tuh, pastilah ada yang beranggapan ni dokter raja tega, atau psikopat, karena kisah yang ditulisnya melulu soal pembunuhan. Pasti ada yang terbunuh di kisah-kisahnya. Tapi yah the show must go on, dan dunia mengenangnya sebagai pencipta kisah klasik kriminal. Balik lagi, di Indonesia, saya jarang nemu ilmuwan yang karya fiksinya muncul di media. Atau mungkin sayanya yang kurang gaul saja?

Akhirnya, muncul juga bukunya di Gramedia, dan untuk novel-novel popular gini, Gramedia mau dong nerbitinnya. Sengaja dari dulu ngga nyari versi e-booknya, karena kebayang Prof Fisika bikin novel, vocab saya bisa ngga ngangkat nih :D. Di luar dugaan, versi Indonesianya tipis aja, 135 halaman, dibandrol harga 50 ribu. Ah senangnya ya kalau karya ngga dihargai dari jumlah halaman saja :). Kalau yang bikin orang terkenal gini, siapa yang mau protes dengan mengatakan ini bukan novel karena saking tipisnya. Koleksi saya sebelumnya, buku karya Sapardi Djoko Damono juga seginian jumlah halamannya, dan disebutnya Novel Hujan Bulan Juni.

Lalu isinya seperti apa?

image
Einstein's Dream, Alan Lightman

Pertama, testimoninya buanyak banget, dan dari media terkenal semua. Sepertinya Prof Lightman ini jadi media darling ya. Lalu dilanjutkan dengan bab demi bab, yang satu babnya sekitar 5 halaman, cukup singkat dengan kalimat-kalimat yang kebanyakan pendek. Bayangkan, ada aja kalimat yang hanya terdiri dari dua kata, subyek dan predikat. Hal lain, novelnya ini tanpa plot! Serius! Jgn bayangin urutannya kronologis, maju mundur, POV single atau multi, penggunaan kata ganti… Ngga ada semua! Bahkan kalau mau, setiap babnya bisa dibaca secara terpisah, loncat-loncat, atau dari belakang.

Novel ini asli bikin bingung yang baca, maksudnya yang biasa baca novel mainstream pasti merasa aneh dengan cara Lightman bercerita. Hanya karena tekad ingin tahu tentang apa sih buku ini, maka saya tetap melanjutkan meski setengah ngga ngerti.

Jadi, ceritanya Lightman menyelipkan banyak teori relativitas waktu di kisahnya, yang lebih berupa pengamatan atau fakta di sekitar. Banyak kisah dia kumpulin dalam satu bab, lalu ada teorinya di sana yang setema gitu. Jangan khawatir bakal menghadapi rumus fisika yang ruwet, karena bahasanya sederhana, cenderung filosofis malah, dan kadang romantis.

Berikut contohnya yang saya paham :

Suatu ketika di masa silam, ilmuwan menemukan satu kenyataan bahwa waktu berjalan lebih lambat di tempat yg jauh dari pusat bumi. Efeknya memang sangat kecil, tetapi bisa diukur dgn alat-alat yg sangat sensitif. Ketika fenomena ini diketahui, sejumlah orang yg ingin awet muda berpindah ke gunung-gunung.

Lucu ya..itu juga sebabnya, tulis Lightman, orang pada berbondong-bondong bikin rumah panggung, demi memperlambat penuaan 😀

Setiap org berjalan sendiri, krn kehidupan masa silam tidak pernah bisa berbagi dgn masa kini. Setiap org melekat pd satu waktu, melekat sendirian.

Wow..ini mah kata lain dari move on 😀 Karena barang siapa mager, dia bisa jadi baper 🙂

Mereka yg gelisah di pusat kematian memang bergerak, namun gerakannya seperti gletser. Menyisir rambut mungkin membutuhkan waktu satu tahun, sementara satu ciuman bisa berarti seribu tahun. Ketika senyuman terbalas, musim-musim berlalu di dunia luar.

Ini romantis bangeeet…dan sinematografi juga. Pernah liat dong di film-film, waktu sepasang kekasih berciuman, trus dunia sekelilingnya seakan berhenti. Ya gitulah perasaan orang yang sedang dilanda cinta, maunya membekukan kenangan yang paling indah dan hidup di dalamnya.

Seiring waktu, Buku Riwayat Hidup itu menjadi sedemikian tebalnya sehingga tak mungkin lagi dibaca seluruhnya. Lalu, muncullah pilihan. Para lanjut usia memilih membaca halaman awal agar dapat mengenali diri mereka dalam kemudaan, tetapi terkadang mereka membaca halaman akhir untuk mengetahui apa yang telah mereka lakukan terakhir kali.

Langsung kepikir soal dementia, penyakit lupa yang diderita orang tua. Ada yang hanya mengingat masa mudanya, ada yang mengulang-ulang kisah yang baru diceritakannya. Ah waktu….bisa ngga kronologis ya saat usia menjamahnya.

Atau quotesnya nih:

Kita adalah penonton dalam kisah kehidupan kita sendiri.

Iya ya…saat kita menoleh ke belakang dan mengingat apa yang sudah kita lewati, kitalah sang penonton setia itu, meski saat ini kita adalah pelaku.

Siapa yang lebih mujur di dunia dengan waktu yang gelisah ini? Mereka yg telah melihat masa depan dan menjalani kehidupan itu? Mereka yg tidak melihat masa depan dan menunggu untuk menjalani kehidupan? Atau mereka yang menolak masa depan dan menjalani dua kehidupan?

Saya ngga tau Prof, asli ngga tahu. Di bab ini Lightman ngasih contoh apa yang terjadi dengan tiga kondisi di atas, dengan hasil akhir atau kejadian yang sama. Semua sama-sama merugikan sekaligus menguntungkan, maka jangan melawan waktu karena percuma saja hal itu dilakukan.

Anyway, dengan membaca novel ini saya jadi tahu, bahwa imajinasi yang ‘liar’ janganlah diartikan dengan melulu selangkangan, yang terus terang kok kayanya ngga banget ya untuk penulis yang bekerja di bidang profesional. Bisalah nyerempet ke sana, tapi bukam bagian yang utama. FYI, saya barusan ‘membuang’ satu novel karya penulis ternama, terbitan Gramedia juga, yang menurut saya bahasannya ya di situ mulu. Aduh, dunia kan ngga cuma mbulet di situ aja, meski cara paling cepat dan mudah untuk menarik perhatian ya dari bahasan itu.

Lightman memberi saya secercah harapan, bahwa profesi dosen dan penulis khayalan bisalah sejalan. Contoh karya saya yang dimuat di Femina mengambil latar studi kasus yang pernah saya bahas di kelas, kaitannya ya dengan bidang keilmuan yang saya tekuni.  Nah begini juga bisa, ada fakta atau ilmu yang coba diselipkan dari ‘pelemparan’ diri saya ke masa lampau, di negara lain, dengan profesi yang sama sekali berbeda.

image
Cerpen Celana Kargo, Femina Edisi Tahunan

Dan dengan novel ini Lightman mau membuktikan, pengetahuan itu bisa disampaikan dengan cara yang ngepop. Yaaah…meskipun saya belum bisa menikmati sepenuhnya. Mungkin saya hanya segelintir orang yang belum bisa tune in dengan novel anti mainstream ini.

***
IndriHapsari

6 comments

  1. Biarpun saya bukan pekerja profesional nulis perihal selangkangan juga bukan salah satu dari yang saya targetkan Mbak. Nggak banget. Nulis yang bunuh2an juga enggak lagi. Soalnya tulisan kita dipertanggungjawabkan di akhirat sebagaimana perbuatan kita. Jadi sebisa mungkin nulis yang ngasih inspirasi positip aja buat yang baca, biarpun saya cuma penulis sotoy yang suka soto.

    Btw… Femina yang muat cerpen juara itubmasih ada nggak ya di di toko? Pengen baca 😀

    • Kalau setiap org mikir soal pertanggungjawaban nanti, mgkn kita akan lebih hati2 dlm menulis y mbak, meskipun bs bersembunyi di balik nama anonim. Mgkn msh ada mbak di kios majalah. Makasih ya 🙂

  2. Setuju Mba, kalau ngga salah JRR Tolkien juga profesor filologi, malahan novelnya dijadiin wadah untuk bahasa yang beliau ciptakan.

Komen? Silakan^^

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s