Home Schooling atau Sekolah Konvensional

Homeschool-Logo

Sejak beberapa tahun yang lalu, saya telah membaca soal sekolah alternatif yang diinisiasi oleh orang tua, namanya home schooling. Pernah ngobrol juga dengan seorang ibu yang mengeluarkan anaknya dari sekolah, berganti dengan mengantarkan anaknya untuk sekolah home schooling di suatu gedung di Surabaya. Meskipun istilahnya ‘home’ tapi ternyata ada model sekolah privat yang dilakukan di suatu tempat, di luar rumah.

Yang lainnya biasanya umum. Guru datang ke rumah, atau orang tuanya yang mengajarkan. Muridnya bisa anak kita saja, bisa juga membentuk suatu grup. Pelajaran disesuaikan dengan minat anak, meski 3 mata kuliah dasar seperti Matematika, Sains dan Bahasa wajib dipelajari. Ujiannya juga ada, demi mencapai jenjang berikutnya.

Ada beberapa system resmi yang bisa diikuti, dengan ujian kenaikan yang juga sudah disusun. Pemeriksaan dan penilaian biasanya dilakukan jarak jauh, jadi orang tua sudah tidak ikut campur lagi. Ujian nasional untuk kenaikan ke jenjang berikutnya, kalau di Indonesia juga dilakukan dengan cara mengikuti ujian Kejar atau Kelompok Belajar, sesuai jenjangnya.

Tanpa bermaksud memberikan penilaian, saya utarakan dulu apa yang saya dapat dari hasil pengamatan. Memang tidak sepenuhnya akurat, karena saya tidak menjalaninya. Namun ada baiknya masing-masing pihak terbuka, tentang masukan yang akan diberikan.

Pertama adalah mengenai motivasi. Sebenarnya, apa yang menyebabkan seorang anak harus menempuh pendidikan home schooling? Kalau kita lihat, artis-artis muda banyak yang mengatakan mereka tidak sekolah konvensional, maksudnya ke sekolah yang kumpul sama-sama dengan murid lainnya, yang kalau mau show harus ijin, demikian juga ada prosedur untuk ikut ujian susulan. Karena itu mereka memilih untuk home schooling.

OK, saya sih berharap mereka menyeriusi pilihannya, dengan ngerjain tugas kemana-mana, dan rajin janjian sama guru privatnya. Karena home schooling menuntut kedisiplinan dan kemandirian yang tinggi. Bayangkan, di tengah-tengah lingkungan yang ‘ayo kita ke mall!’ pas jam sekolah, dia mesti bertahan mengikuti waktu belajar yang ada. Beda saat di sekolah biasa, ngemallnya ya habis sekolah atau bukan di hari sekolah. Godaannya pasti lebih banyak.

Kalau anaknya berkemampuan di atas, atau mungkin di bawah teman-temannya, secara ekstrim, home schooling merupakan pilihan yang tepat. Daripada anaknya bosan di kelas karena dia sudah menguasai semua sementara teman-temannya masih terbata-bata, atau sebaliknya anak kita yang terbata-bata, maka memisahkan dia dan mengikuti perkembangannya dalah cara yang bisa diikuti. Siapa tahu si anak pintar bisa dikembangkan bakat dan minatnya, yang tidak bisa diberikan pihak sekolah konvensional. Siapa tahu dengan memberi perhatian khusus, si anak yang lambat bisa mencapai kemajuan yang cukup berarti.

Motivasi lain yang ada, adalah karena kecewa dengan system sekolah konvensional. Yah namanya satu system untuk semua, yang terjadi adalah pemerataan. Kadang pula pengabaian, sehingga bakat dan minat anak tidak kelihatan. Belum lagi PRnya yang bejibun, atau lingkungannya yang tidak sehat.

Terkhusus mengenai lingkungan, kalau sudah masuk pembullyan memang harus diselesaikan dengan melibatkan pihak sekolah. Jika tidak ada perubahan, atau anak makin terintimidasi, memang sebagai orang tua kita harus berani memindahkan ke sekolah konvensional lain, atau mencoba alternative home schooling.

Poin yang kedua, adalah mengenai kekonsistenan. Jika orang tua konsisten menerapkan disiplin dan keteraturan penerapan system, saya yakin pasti jebolannya home schooling secara akademis bisa sama bagus atau lebih bagus dari sekolah konvensional. Pemberian mata pelajaran sesuai kompetensi anak merupakan suatu hal yang sangat baik, karena menyesuaikan dengan perkembangan anak.

Sayang sekali jika waktu yang banyak tersebut, disia-siakan dengan tidak mengarahkan anak untuk menemukan potensinya. Bagaimanapun usia mereka masih muda, perlu bimbingan dan disiplin yang baik. Ini yang sulit, karena anak sendiri kadang ngga tega atau selalu berusaha memaklumi. Akhirnya tujuan home schooling tidak tercapai.

Yang ketiga adalah soal tujuan. Bagaimanapun pendidikan itu penting. Sebagai orang tua kita terbatas secara usia, lalu apa yang bisa kita tinggalkan bagi mereka, selain bekal pengetahuan dan ketrampilan? Harta, bisa habis. Tapi potensi dan kepercayaan diri, itu yang akan menjadi bekal dia di kehidupan nanti.

Penerapan home schooling yang bagus, akan membuat anak bisa mencapai kenaikan jenjang sesuai usianya, dan kelak ia bisa bersaing dengan yang lainnya. Tidak dapat dipungkiri, memisahkan anak dari sekolah konvensional berarti mencabut dia juga dari daftar pertemanan. Lingkungannya cenderung tanpa konflik, semua steril. Sehingga kemungkinan ia kalah dulu sebelum berperang makin besar. Namun dari materi yang saya baca, ada juga yang belasant ahun mengikuti home schooling, lalu ikut ujian masuk perguruan tinggi negeri, dan diterima menjadi salah satu mahasiswa universitas ternama di negeri ini. Jadi…ada yang bisa.

Namun yang tidak bisa, saya tidak punya data. Hanya kecemasan saya, jika tujuan ini terabaikan. Orang tua merasa tidak ada guna mereka mencapai standar tertentu sesuai usianya, kemudian mengharap nasib baik kelak datang dan mengangkat derajat anaknya.

Saya lebih setuju tidak menyerah pada nasib.

Derajat, kekayaan, karir, kekuasaan atau apapun itu yang membuat kita tidak diremehkan orang, harus diperjuangkan, bukan menunggu dari langit. Tuhan sendiri suka pada umat yang berusaha. Karena itu menempuh pendidikan merupakan salah satu caranya, dan untuk itulah diperlukan keseriusan saat ingin mencapainya.

Karena itulah, saya merasa, sekolah konvensional tetaplah diperlukan bagi anak-anak kita. Pertama, karena sudah ada standar yang bisa kita ikuti, terjamin, dan memudahkan masuk ke jenjang berikutnya. Orang tua bisa menyerahkan seperempat dari waktu anaknya pada sekolah, agar dididik dan diberi kesempatan mengembangkan diri.

Kedua adalah soal lingkungan, seperti yang saya sebut sebelumnya. Dengan bertemu banyak teman, anak-anak akan belajar bergaul, termasuk manajemen konflik juga. Iya seih, sekolah itu bukan kamp pelatihan, tapi mereka harus belajar, apa sih yang namanya teman, dan bagaimana membawa diri dalam pergaulan. Lingkungan juga akan memperlihatkan, disbanding rata-rata murid yang ada, pada posisi mana anak kita berada. Kalau lebih baik atau lebih buruk, mesti dipantau perkembangannya agar tidak salah arah.

Ketiga adalah tentang fasilitas. Sekolah konvensional punya halaman luas tempat anak-anak bisa melatih kemampuan motoriknya. Bukan hanya di rumah olahraga jempol. Sekolah juga punya fasilitas laboratorium dengan segala peralatannya, dan ada standar keamanan juga. OK-lah kita bisa beliin dia tabung kimia beserta bahan-bahan kimia, tapi siapa yang bisa jamin soal keamanan?

Fasilitas yang lain seperti beasiswa, atau kesempatan ikut lomba dan meraih penghargaan, kesempatan mengembangkan bakat dan minatnya dengan ekstra kurikuler, atau kesempatan ikut pertukaran pelajar. Anak saya masuk dalam seleksi ini dan selama seminggu akan belajar di sekolah di Singapura. Ke Singapuranya bisa kita fasilitasi selama ini, tapi ikut sekolah di tempat tersebut adalah sesuatu yang tidak bisa kami berikan sampai saat ini.

Yang keempat, meskipun bukan yang paling bawah karena susunan poin-poinnya bukan dari prioritas tapi acak, adalah soal guru. Guru di sekolah konvensional jelas asal usulnya, sudah melewati ujian sertifikasi atau ujian tes masuk, dan ada pelatihan mengajar juga. Untuk sekolah lama, berarti kita berhadapan dengan guru-guru senior yang berpengalaman dan lebih mampu dalam menghadapi keberagaman murid-muridnya.

Guru-guru yang dapat diandalkan ini dapat mengantar anak-anak kita menjadi lebih baik. Memang ada kasus-kasus guru yang tidak baik, tapi itulah yang diblowup media. Saya yakin masih ada guru-guru baik, dan kepala sekolah yang mau menerima masukan dari orang tua murid.

Jika antara home schooling dan sekolah konvensional menjadi pilihan, sepertinya sekolah konvensional bisa menjadi pilihan terbaik. Namun jika tidak ada pilihan sesuai dengan motivasi yang saya jelaskan di atas, maka home schooling menjadi pilihan yang lebih tepat.

***
IndriHapsari

4 comments

  1. aku juga lebih suka anakku bergaul di sekolah konvensional mbak. Mempelajari keumuman, masalah sosial bersama, dan berkembang dalam kepluralan supaya dia kuat, juga belajar mengendalikan diri. Karena hdp yang sesungguhnya ya seperti itu.

    • Ya..nanti klo udah gede kumpulan itu jd networking kita loh. Kita aja sekarang sibuk reuni sm teman2 sekolah. Kelak, siapa tahu bs jadi rekanan 🙂
      Wah lg ngerapel ya..makasih ya 🙂

Komen? Silakan^^

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s