‘Kau akan buka toko undangan?’ tanya Soni heran, ‘yah, asal ngga ngundang masalah saja,’ dan berderailah tawanya.
Dua bulan yang lalu. Titin ingat benar, Soni mengatakan hal itu padanya. Tanpa sengaja mungkin. Tapi sudahlah, tak menyurutkan tekadnya untuk meneruskan yang ia sudah persiapkan.
Tergolong nekat sih. Di jaman sekarang saat anak mudanya merasa lebih keren mengundang lewat media sosial, ia merasa yakin usahanya ini tak akan lekang dimakan jaman. Masih ada orang tua yang merasa bangga dengan undangan pernikahan anaknya. Masih ada pasangan pengantin yang bersemangat melihat hasil pesanannya. Masih ada tamu yang merasa dihormati jika undangan yang indah itu sampai di alamatnya.
Maka usaha Titin tetap berjalan.
Ia punya tempat yang strategis, di pinggir jalan besar, dengan tempat parkir yang lebar. Ia punya dinding yang ia penuhi dengan berbagai macam undangan yang ia koleksi (tak pernah ia sangka, hobi malah membantu bisnisnya). Ia punya pegawai yang piawai dalam menggerakkan tetikusnya, menjadi tampilan undangan yang indah; punya tukang cetak; punya puluhan pegawai subkontrak yang bisa ia panggil sewaktu-waktu, untuk mewujudkan undangan, satu persatu. Buatan tangan, ia bisa bangga menyebutkan. Bangga karena eksklusivitasnya, bangga karena berhasil membuat usaha padat karya.
Namun kali ini, Titin harus mengingat kata-kata Soni lagi.
Mengundang masalah.
Masalah datang ketika pria muda, tinggi kurus, dengan tubuh dibalut jaket hitam, celana jeans hitam, dan sepatu boot, mendatangi tokonya. Tidak biasa, karena kalau tamu, biasanya mereka berpasangan. Pria ini datang sendiri, tanpa melepas kacamata hitamnya, melangkah ke tempat Titin sedang duduk.
Menyadari ada pelanggan mendatanginya, Titin segera berdiri. Tingginya tak seberapa, sehingga ia terpaksa mendongak. Wajah pria itu tirus, dagunya belum dicukur. Bibirnya menghitam, rambut lurusnya agak berantakan.
‘Siang Mas,’ sapa Titin ceria. ‘Lagi cari undangan?’
Pria itu tak menjawab. Ia mengedarkan pandangannya, melihat sekilas ratusan undangan yang terpampang di sekelilingnya.
‘Punya yang paling bagus?’ tanya pria itu dengan suaranya yang berat.
Titin tersenyum. ‘Ada Mas. Monggo, duduk dulu. Saya ambilkan contohnya.’
Titin bergegas mengambil undangan di sebelah kirinya, kelompok undangan yang memang banyak dipesan. Ia ambil beberapa, dan dibawanya kembali ke pria tadi. Pria itu masih brdiri rupanya.
Titin mendekatinya. Diserahkannya undangan itu. ‘Ini Mas contohnya. Mari, dilihat sambil duduk saja,’ ajaknya lagi.
Pria itu tak menjawabnya. Ia mengambil undangan-undangan yang ada, membukanya, dan mengambil satu. Lainnya ia letakkan kembali di meja.
‘Ini saja,’ katanya singkat.
Titin tersenyum. Ia harus menjaga keramahan, meski ia tak tahu kenapa tamunya bersikeras tak mau duduk.
‘Baik Mas. Dari segi desain, apa ada yang mau diubah Mas? Warna dominannya mungkin? Atau pitanya? Jenis tulisan juga bo…’
‘Itu saja,’ potong pria itu tegas.
Titin mengangguk. Ia tak boleh sakit hati jika pelanggan tak menghargai ucapannya.
‘Baik. Saya catat dulu ya datanya. Nama Mas?’ tanyanya sambil bersiap menulis di notesnya, keterangan yang akan diberikan tamunya.
‘Lutfi Abdullah.’
‘Baiiik…,’ kata Titin sambil mencatat. ‘Nama mbaknya siapa Mas?’ tangannya sudah bersiap menulis lagi.
‘Tidak ada.’
‘Tidak…hah? Lho…maaf Mas, ini Mas Lutfi pesan undangan nikah kan? Bukan sunatan?’ Spontan Titin mengucapkan itu, dengan pandangan heran pada tamunya.
‘Tidak perlu. Saya tak mau menikah dengan pengkhianat.’ Tangan pria itu mengepal. Wajahnya berubah makin keras.
Titin meletakkan pulpen dan notesnya. Wah, apa-apaan ini. Pria ini main-main rupanya.
‘Wah, ngga bisa Mas. Tanpa nama mempelai wanita, undangan ini tak akan pernah jadi. Mas Lutfi coba cari calon lagi, untuk menggantikan yang lama,’ kata Titin berusaha santai.
Tamunya menggeleng. ‘Tak perlu. Saya sudah sakit hati dengan yang namanya wanita.’
‘Mas, mari…mari duduk dulu,’ Titin menyentuh lembut tangan sang pria. Perlahan tangan itu mulai membuka. Lalu, pria itu mulai merendahkan tubuhnya, dan duduk di hadapan Titin.
‘Begini Mas, saat ini, mungkin pacar Mas memang nyebelin, sehingga pandangan Mas terhadap wanita seperti itu. Tapi ngga semua toh Mas? Masih banyak wanita lain yang pantas jadi calon istri Mas,’ hibur Titin. Meski sebenarnya ia tak yakin juga, wanita lain yang disebutnya itu harus dicari dimana.
Pria itu kini membuka kacamata hitamnya. Sorot matanya redup. Di balik wajah dinginnya, ternyata ia adalah pria yang rapuh. Pedih menghadapi kenyataan hidup.
‘Tak bisa. Saya sampai hilang akal, ingin mengedarkan undangan kosongan saja. Wanita yang saya cintai sedemikian rupa, sudah saya lamar dengan membawa keluarga, kini menghilang dengan lelaki lain. Saya memergokinya, dan ia…bersikeras tak mau kembali pada saya. Bayangkan! Apa yang salah pada saya, sehingga diperlakukan sedemikian rupa,’ katanya sambil menunduk.
Titin diam sejenak. Kemudian ia menyambung nasehatnya dengan lembut, ‘Mungkin bukan salah Mas, tapi Mas dan mbaknya ngga cocok untuk bersama. Untung ketahuan sekarang Mas, kalau waktu sudah menikah, bagaimana? Atau saat undangannya sudah tercetak? Kan ganti nama berarti ongkos lagi Mas,’ kata Titin berusaha melucu.
Pria itu menatapnya dengan tajam. ‘Kok seperti ini masih untung sih Mbak,’ katanya tak setuju.
Titin tersenyum salah tingkah. Wah, guyonannya tak berhasil rupanya.
‘Yah, soalnya untuk saat ini memang sepertinya Mas jadi orang paling sial di dunia. Tapi nanti, saat Mas sudah melangkah jauh dari kisah ini, saat Mas sudah tua nanti, pasti ketawa-ketawa deh, kok bisa ya saya dulu galau seperti ini? Ini cuma satu episode saja Mas, masih banyak episode hidup lainnya yang lebih indah,’ kata Titin sambil tersenyum. Matanya memandang dengan ramah pria tersebut.
Pandangan pria itu kini makin lembut. Kemudian ia tertawa. Barisan gigi yang rapi membuatnya makin menawan. ‘Jadiii…begitu ya Mbak? Nama itu biarlah tinggal nama. Saya..cari nama lain untuk ditaruh dalam undangan?’ tanyanya sambil tersenyum.
Titin lega. Kali ini mungkin order tak berhasil digapainya. Namun membangkitkan semangat seseorang, tentu itu pencapaian lain yang membanggakan.
‘Iya,’ jawab Titin sambil ikut tertawa, ‘ Saya akan ingat-ingat Masnya sudah pilih undangan yang ini. Nanti kalau Mas datang, tinggal saya ubah namanya.’
Pria itu menatap Titin lekat-lekat. ‘Kalau begitu, nama Mbak saja yang ditulis di sana,’ katanya tegas.
Titin tertawa menutupi resahnya. Duh Gusti, ini rupanya yang Soni maksud dengan mengundang masalah…
***
IndriHapsari
Wkkkwkwkwkkkk… malah ngakak saya Buk.. Masnyahh.. semudah itu… 🙂 Pedekate dulu kek.. apa ngapain dulu kek.. 🙂
Biasa, gerak cepat. Hehehe 🙂
kalau saya jd mas-nya, mgkn saya akan melakukan hal yg sama. Namanya juga usaha, hahahaha
Kikikik…amiin #eh