Kalau Sudah Doktor, Lalu Apa?

doctor

Pertanyaan ini terus mengusik saya dari waktu ke waktu, karena saya belum menemukan jawabnya. Hal ini juga yang membuat saya maju mundur, jadi mendaftar untuk program doktor atau tidak. Untuk profesi dan institusi, memang hal ini mutlak ditempuh. Tetapi secara personal, saya masih belum mantap. Akan menjadi doktor seperti apakah saya, dan akankah dengan meraihnya saya menjadi lebih berguna bagi banyak orang?

Banyak doktor di Indonesia terlibat dalam birokrasi pendidikan, baik sebagai perencana maupun pelaksana. Yang lainnya terlibat dalam penelitian: menemukan suatu produk, mengembangkan model atau merancang sistem. Semua bagus dan berguna. Namun pandangan umum melihat dunia doktor ini di langit-langit, di awang-awang, sehingga sedikit yang bisa menyentuhnya, apalagi memanfaatkan ilmunya.
Namun tentu saja mungkin karena wawasan saya yang terbatas, sehingga tidak banyak doktor yang saya ketahui begitu perhatian dengan lingkungan miskin di sekitarnya. Dua doktor yang saya kagumi, adalah Prof. Muhammad Yunus, Ph.D dari Bangladesh dan Prof. DR. Ir. Sagjoyo (alm) dari Institut Pertanian Bogor.

Yunus menjadi pemenang Nobel Perdamaian pada tahun 2006 karena kepeduliannya pada para orang miskin di desanya. Satu perkataanya yang tidak saya lupa “Saya mengajar ekonomi, tapi mengapa saya tidak bisa menaikkan tingkat kesejahteraan penduduk di kampung saya”. Yunus mendapatkan Ph.D dalam bidang ekonomi dari Vanderbilt University di Amerika Serikat. Kemudian Yunus menjadi profesor dalam bidang ekonomi di Universitas Chittagong dimana beliau merumuskan microcredits dan microfinance. Pada tahun 1976, pada kunjungannya ke lingkungan orang miskin di desa Jobra dekat Universitas Chittagong, Yunus melihat pinjaman sekecil apa pun dapat memberikan perubahan yang nyata pada mereka. Akhirnya Yunus mendirikan Grameen Bank, sebuah institusi yang menyediakan microcredit (pinjaman lunak untuk orang miskin dengan mengandalkan kerja sama dalam kelompok) untuk membantu nasabahnya membangun usaha dan mandiri secara finansial. Lebih dari 94% pinjaman dari Grameen diberikan pada wanita, yang dapat menghasilkan penghidupan bagi keluarganya. Akhirnya program ini menjadi program nasional di Bangladesh.

Prof. DR. Ir. Sajogyo (meninggal di Bogor, 17 Maret 2012 pada umur 85 tahun) adalah seorang pakar ilmu sosiologi dan ekonomi yang juga sering dikenal sebagai “Bapak Sosiologi Pedesaan” di Indonesia. Almarhum menyelesaikan pendidikan doktor di bidang Ilmu Pertanian di Universitas Indonesia, Bogor, pada tahun 1957 (sekarang Institut Pertanian Bogor). Pada tahun 1977 beliau merumuskan pengukuran garis kemiskinan, apa yang kemudian dikenal dengan “Garis Kemiskinan Sajogyo”. Sumbangsih ini mengatasi kemacetan metodologis dalam menilai dan mengukur kemiskinan, satu konsep penting dalam kajian ekonomi dan sosial. Pengukurannya didasarkan pada konsumsi pangan dalam nilai tukar setara beras (desa-kota). Menurutnya, kelompok miskin adalah mereka rumah tangga yang mengonsumsi pangan “kurang dari nilai tukar 240 kg beras setahun perkepala di pedesaan” atau “369 kg di perkotaan”. Dari penghitungan ini diperoleh angka kecukupan pangan 2.172 kalori orang/hari. Di bawah angka ini dinyatakan miskin. Mengukur kemiskinan dari konsumsi pangan kaum papa adalah sangat logis, sebab panganlah kebutuhan paling mendasar. Ukuran garis kemiskinan sangatlah penting, sebab salah satu indikator penting pemerataan kesejahteraan rakyat dilihat dari jumlah penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan.

Beliau juga menyadarkan pentingnya aneka ragam pangan yang demikian kaya dimiliki Indonesia, ditanam di atas jenis tanah yang berbeda-beda dengan budaya tanam masyarakatnya masing-masing. Sajogyo mengabdikan dirinya untuk ilmu pengetahuan. Hal itu tercermin saat dirinya mendirikan Sajogyo Institute yang merupakan badan pelaksana Yayasan Sajogyo Inti Utama yang didirikan pada tahun 2005 lalu. Sajogyo membangun institut ini bersama para kolega, sahabat, murid dan anak-anak muda yang terinspirasi oleh kepedulian, pemikiran dan konsistensi perjuangan yang panjang dalam memahami dinamika masyarakat petani dan penghidupan di pedesaan. Pengembangan masyarakat menjadi perhatiannya.

Mengenai posisi di awang-awang tadi, sebenarnya tidak juga. Teman-teman saya yang sudah doktor selalu punya waktu untuk ikut serta ke kegiatan seremeh apapun, baik-baik saja ketika kami bersama-sama naik bis ekonomi ke Bali, dan turut serta dalam pengabdian masyarakat. Di luar negeri sama saja. Dalam Seminar internasional yang diketuai oleh profesor dari Amerika Serikat, dia mau-mau saja menjadi pembawa acara merangkap moderator, menggantikan pembicara yang tidak hadir, bahkan mondar-mandir memyodorkan mic kepada peserta yang akan bertanya. Seorang profesor dari Australia meramal telapak tangan saya. Seorang asisten profesor dari Dubai dengan ramah selalu memotivasi saya supaya tidak usah diet (bayangkan betapa remehnya hal itu dibanding sepak terjang penelitiannya!) padahal baru sehari kami saling mengenal.

Intinya, menjadi seorang doktor bukan berarti harus kehilangan sifat rendah hatinya. Bahkan kalau bisa, menghilangkan semua gengsi yang dimiliki manusia, untuk memberikan dampak yang besar bagi peradaban manusia. Semoga suatu saat saya bisa sampai di sana.

Sumber :
http://id.wikipedia.org/wiki/Sajogyo
http://en.wikipedia.org/wiki/Muhammad_Yunus
http://www.muhammadyunus.org/

2 comments

  1. Wah tulisannya ‘kena’ banget deh hihihi. Mmg benar, nggak mudah menjadi (baca, mencari) doktor. Juga setelahnya. Tapi sepakat, menjadi apapun, siapapun, kita harus punya integrity, values yg kita pegang, idealism – realism. Menurutku, kalau kita tdk memandang itu sebagai status yg prestisius shg merasa punya social distance yg berbeda dgn yg lain, kalimat akhir itu bisa jadi jawabnya, Mbak. Ayooo berangkat ^_^

    • Walah,malu saya, dibaca yg udah doktor. Ini tulisan sy tahun lalu Bli, dan posisi sy sekarang, masih belum nemu state of the artnya. Jadi masih baca2 jurnal aja. Makasih yaaa^_^

Leave a reply to Made Hery Santosa Cancel reply