Kalau orang lain bisa bebas mengutarakan pendapat (di internet tentu, kadang tanpa identitas asli) bahwa pejabat harus begini atau begitu, saya cuma mesem saja. Kalau soal moral, pasti ya, itu sih mau pejabat atau bukan, hiduplah yang lurus-lurus saja. Iya, sayatahu godaannya banyak, apalagi godaan itu berkorelasi dengan kekayaan, kuasa, dan kepopuleran. Tapi hidup itu pilihan, mau keren di dunia, atau beken di akhirat, sehingga namanya dikenal malaikat?
Pejabat harus memperhatikan tingkah lakunya, karena sekecil apapun tingkahnya yang dianggap menyakitkan little people atau rakyat kecil, beritanya bakal jadi besar. Karena rakyat sudah antipati dengan menjomplangnya taraf hidup rakyat dan pejabat. Ibaratnya mobil sama motor, kalau yang salah mobil, dikepruk mobilnya. Kalau yang salah motor,tetap mobil yang dicari kesalahannya.
Cara bersikap harus diperhatikan. Kalau kita terlalu terus terang, ada kemungkinan mereka tersinggung. Kalau kita berusaha bersikap tegas, diasumsikan ngga bisa diajak rundingan. Kalau kita keukeuh terhadap peraturan, dianggap mentang-mentang jadi pejabat. Padahal kalau bisa saya katakan, ‘Yuk tukeran! Sampeyan ganti jadi pejabat,’ gimana? Apa ngga pusing menghadapi rakyat dengan beragam persoalannya, maunya semua terpenuhi, dengan cara mereka! Kalau pakai cara sendiri-sendiri, ya kemungkinan persinggungan akan terjadi.
Contoh nih, sebagai ibu pejabat, yaitu pengurus RW *gubrak. ternyata mau bahas ini doang :P* kepengurusan surat-surat makan waktu sehari. Ya iya lah, suami kerja, saya juga kerja. Bete saja kalau ada warga minta suratnya diurus detik itu juga, sambil nunggu di depan pagar. Padahal sudah deket checklock ini. Jadi saya selalu bilang ke asisten RT saya, tinggal aja, besok diambil.
Beberapa memaksa, tapi masih bisa dibilangin. Si ibu yang satu ini, ngga bisa dibilangin, pakai gertak asisten saya, sehingga terpaksa asisten saya membawa surat itu ke dalam. Dengan kondisi mau berangkat, OK saya layani. Mungkin dia butuh banget. Sambil saya kembalikan suratnya, saya katakan bahwa lain kali harus sehari sebelumnya.
Ngga mau dong dia. Alasannya ngga tahu. Helloooo..bukannya tadi asisten saya udah ngebilangin? *dalam hati*. Ya saya katakan lagi, semua orang juga begitu, jadi sebaiknya dia ikuti saja. Eh, dengan mencucu *mulut maju lima senti* dia pergi meninggalkan saya, dengan ucapan terima kasih yang sambil lalu.
Dosa saya, mungkin tegas saat mengucapkannya. Sudah pakai senyum dan dengan suara yang pelan. Tapi ya itu, sudah isi omongannya ngga sesuai dengan yang dia mau, mungkin intonasi saya ngga cocok. Sempat galau seharian *halah!* tapi setelah dipikir lagi, kalau saya menyetujui tindakannya, meski saya ngomongnya kaya’ orang marahpun dia ngga akan judes. Jadi, nasehat saya yang membuatnya ngga ngga ngga mau lagi *kaya lagu dangdut*.
Teman saya yang menjadi pejabat cerita, banyak orang datang padanya, curhat ini itu, minta ini itu, sekaligus menyarankan padanya untuk langgar ini itu. Nah, bayangkan organisasi seperti apa yang bakal kita ciptakan. Peraturan diciptakan untuk menjamin suatu sistem berlangsung, bukan untuk dilanggar. Kadang memang perlu fleksibilitas, tapi batasnya dan akibatnya, perlu dipikirkan lebih dahulu sebelum dikabulkan.
Seperti saya misalnya, jika saya kabulkan permintaan setiap warga untuk pengurusannya adalah real time, bisa merah rapor presensi saya karena telat. Lagian seharian saya pasti bete di kantor, karena penyebab telatnya adalah saya mengabulkan permintaan mereka, untuk melanggar aturan sendiri.
Ngga ngga ngga banget!
*Kalau gitu, biarin deh, dijudesin :P*
IndriHapsari
***
foto: pinterest.com