‘Wah, Anda tidak siap berdiskusi ya. Kok komentar saya dihapus?’,
atau
‘Kalau ngga bisa jawab, ngga usah nulis di sini deh!’
Beberapa kali saya membaca komentar tersebut pada beberapa artikel di Kompasiana. Mereka adalah akun-akun yang gemas karena komentarnya dipancung oleh penulis dengan berbagai alasan. Dan untuk itulah mereka masuk lagi, mengungkapkan kekesalan sekaligus mengumumkan, ada komentar terdahulu yang dilenyapkan oleh penulis, sekaligus menuduh bahwa penulis adalah pengecut.
Hal ini terjadi karena penulis di Kompasiana tidak dapat memoderasi komentar mana yang akan ditayangkan di publik, mana yang dimasukkan ke tempat sampah. Sehingga komentar tersebut pasti tayang duluan, dan hanya bisa dihilangkan kemudian.
Berbeda dengan di blog, kita dapat mengatur menerima komentar atau tidak, seandainya pilihannya adalah menerima, kitapun dapat menyaring komentar mana yang layak tampil dan mana yang tidak. Terdapat pula fitur untuk menendang komentar berisi spam, sehingga secara otomatis mereka tidak akan muncul di dashboard penulis.
Dalam buku Code 2.0: Code and Other Laws of Cyberspace (kutipan Wikipedia) menggambarkan arsitektur penghuni dunia maya sebagai berikut:
1. Anonymous vs Known
Karena Kompasianer bebas untuk menuliskan komentar, maka akun anonim juga dapat menuliskan komentarnya dan tentu saja menjadi kurang kredibel karena kurang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.
2. Physical Identity versus Internet-based Identity Only
Ada Kompasianer yang sudah kita kenal kesehariannya, entah karena pernah kopdar atau memang teman sejak dulu. Merekalah yang kita sebut dikenal secara fisik. Komentar dari mereka lebih kredibel dari mereka yang hanya kita kenal di internet.
3. Unrated Commentary System versus Rated Commentary System
Di Kompasiana terdapat fitur untuk menyukai suatu komentar. Semakin banyak yang klik suka, maka semakin kredibel komentarnya.
4. Positive Feedback-oriented versus Mixed Feedback (positive and negative) oriented
Semua komentar baik negatif dan positif pasti segera tayang di Kompasiana. Sedangkan pada blog, kita bisa mengatur hanya komentar positif yang muncul.
5. Moderated versus Unmoderated
Kenapa kita bisa mengatur hanya komentar yang positif saja yang tayang? Karena hak moderasi ada di pemilik blog yang sekaligus penulis artikel. Sementara kalau di Kompasiana, moderasi sepenuhnya adalah hak Admin, yang baru dipergunakan kalau ada laporan.
Keempat poin itulah yang berhadapan dengan kita di kolom komentar, karena pada poin kelima sebagai penulis artikel kita tidak mempunyai hak moderasi komentar.
Sekarang, mari kita lihat dari sisi penulis.
Meski Kompasiana kini menganggap semua kontributor artikelnya adalah abal-abal, saya yakin sebagian teman di sini merupakan penulis yang dapat mempertanggungjawabkan apa yang ditulisnya, dan dengan terbuka bersedia berdiskusi dengan rekan yang lain. Meskipun berhadapan dengan kombinasi akun anonim, kenalnya di internet, komennya ngga bermutu dan negatif, mereka masih melayani dengan baik. Suatu kelebihan yang seharusnya diapresiasi komentator, karena penulis bersedia menjelaskan dan menanggapi dengan cukup sopan.
Karena itu tak heran, penulis juga mengharapkan hal yang sama dari komentatornya. Berlakulah sopan, bukan berarti karena jati diri komentator yang sebenarnya tidak ketahuan, lalu jadi seenaknya mengata-ngatai, menuliskan hal yang tidak relevan, apalagi menyerang pribadinya. Menurut saya itu malah menunjukkan sampai dimana tingkat pengetahuannya, yang mengandalkan kekerasan dalam berinteraksi untuk menekan lawan diskusi.
Jika itu yang terjadi, maka saya menyarankan untuk menghapus komentarnya, daripada membuat sakit mata setiap membacanya, atau sakit hati setiap membuka tulisan tersebut. Buat apa dipertahankan? Komentar yang tak ada gunanya, diucapkan oleh orang yang ngga jelas laki-laki atau perempuan, dan kerjanya hanya bikin kisruh saja.
Dan ketika kalimat protes seperti pada awal artikel ini diucapkan, maka saya akan bilang ‘persetan dengan kebebasan berpendapat.’ Kalimat pertama akan saya jawab, ‘Siapa suruh ngga sopan.’ sedangkan kalimat kedua akan saya jawab, ‘Emang situ yang punya Kompasiana?’. Sama-sama nebeng gratisan kok ngelunjak,
Meskipun kita bebas, ada tanggung jawab dan etika saat mengungkapkan pendapat dalam interaksi di dunia maya. Perhatikan bahwa kita cenderung lebih sopan saat menghadapi seseorang di dunia nyata daripada di maya. Kenapa? Karena kita takut menyinggungnya, kita khawatir bermusuhan dengannya, kita juga cemas kalau dicegat di jalan.
Sebaliknya, saat seseorang menjadi berani di dunia maya, tak lain karena banyak excuse.
‘Ah, akunku palsu ini.’
‘Ah, ngga kenal ini.’
‘Ah, jauh ini.’
Jadi berlindung di balik monitor, dan lari dari tanggung jawab untuk berinteraksi sosial yang sehat, termasuk mengorbankan norma-norma kesopanan, bahkan berani melakukan tindakan kriminal untuk menyerang lawan diskusi.
Lalu, buat apa kita melanjutkan diskusi kalau ujungnya adalah debat tiada henti. Saran saya sih mending ketemuan deh. Masih punya nyali ngga, dan apa memang seluas itu pengetahuannya? Jangan-jangan sebelum membalas komentar dia googling duluan, atau ada sekompi teman yang membantunya berdiskusi berkepanjangan. Saya perhatikan juga pada ujungnya tak ada kesepakatan kok. Waste time.
Menurut saya, sebagai penulis silakan saja melayani diskusi dengan kepala dingin dan tidak keluar dari isi artikel. Lalu bersikaplah tegas begitu debat rasanya berlarut-larut dan melebar kemana-mana. Daripada melayani orang yang ngga ketahuan juntrungannya, mending pikirkan untuk menulis artikel lain yang lebih berguna. Akan ada banyak pembaca yang lebih merasakan manfaatnya.
Sehingga kalau ada yang bertanya, ‘Boleh ngga menghapus komentar?’, saya akan jawab, ‘Jangan!’
Jangan segan maksudnya.. š
***
Tidak melayani pertanyaan : bagaimana kalau justru penulisnya yang tidak dapat dipertanggungjawabkan isi artikelnya?
Wah, maaf ya, isi artikel ini hanya untuk penulis yang bertanggungjawab. Kalau Anda tanyakan ke saya, saya akan menghindari berkomentar di artikelnya, rugi di dashboard untuk artikel yang kerjanya memancing kericuhan tapi ngga bisa mempertanggungjawabkan.
Apa? Mesti ada yang jadi pahlawan?
Ya silakan saja, tapi ngga usah cengeng kalau komentar Anda dipancung. Isinya aja ngga jelas, kok ditantang. Seperti bertinju dalam kabut, atau….menjaring angin ya? Jangan buang energi.
***
referensi
http://en.wikipedia.org/wiki/Social_media
http://en.wikipedia.org/wiki/Cyberculture
Gambar : pinterest.com
komentar seseorang bisa sedikit menggambarkan kepribadian si empunya….
kalau kita jeli, bisa dianalisis apakah komentar itu masih perlu dikomentari balik karena terjadi diskusi yang berbobot atau cukup sampai di sini………dan tak perlu diteruskan..karena spt yg mbak bilang : wasting time
Ya Pak. Kadang malah diputarbalik oleh komentator, penulis dianggap tidak mampu berdiskusi. Padahal ya sdh ngga bs diapa2in, lalu mau debat lg buat apa? š