Secara teori, saya sudah keliling dunia. Kenyataannya, cuma mbulet di toko buku saja. ~ Indri Hapsari
Siapa sih yang tidak ingin keliling dunia? Merasakan salju, melihat keindahan alam, menikmati keunikan budaya, dan mengagumi kemajuan peradaban. Saya ingin ke Raja Ampat melihat keragaman biota pantainya, ke Mesir untuk ‘blusukan’ di Piramida, ke Inggris mengunjungi stasiun King’s Cross, ke Dubai memandang hotel termahal sedunia (tidak ngimpi nginep di sana kok, saya cukup tahu diri), menikmati ngopi di kafe di Prancis, naik kereta melintasi Amerika – Kanada, mencoba vending machine di Jepang, dan melihat Aurora di Norwegia. Tempat yang saya ogah kunjungi adalah Cina karena takut susah cari toilet 🙂
Buat sebagian orang, keliling dunia sih a piece of cake. Buat saya yang seorang pegawai dan gajinya cukup buat hidup (tidak pakai ‘cuma’ lho…masih untung sudah cukup), bisa pergi ke tempat – tempat tersebut merupakan mimpi tiada akhir (ok, semoga jangan). Kendala waktu dan biaya jadi penghalang utama, dan sementara raga saya masih di sini, jiwa saya sudah kemana-mana (hiy…serem!).
Jadi sementara ini yang bisa saya lakukan, sering nongkrong di toko buku, di bagian traveling. Internet juga bisa dijadikan informasi, tapi menurut saya kok too much ya, jadi pusing sendiri. Menurut saya buku lebih asyik, bisa dibaca waktu santai, fokus ke informasi tertentu, bisa membayangkan kondisi di sana, dan jadi tahu jenis traveler yang menulis buku tersebut.
Ada memang penulis yang menyarankan jadi backpacker. Jadi isi bukunya adalah penghematan di sana sini, demi bisa berangkat keliling dunia. Di antaranya pilih low budget airline dengan jam yang tidak sopan sehingga harus menginap di bandara, memilih hostel sebagai tempat tidur dan berbagi kamar mandi dengan lainnya, berhemat makan dengan membeli makanan dari minimarket setempat, dan memilih atraksi yang gratisan.
Kalau saya pikir-pikir sih, memang menarik bisa menghemat ratusan dollar. Tapi, fisik saya rasanya tidak mampu deh. Duluuuu..saya bisa menghabiskan weekend untuk bolak balik Surabaya-Bandung, dibelain untuk bertemu pacar. Naik kereta Mutiara Selatan, kelas bisnis tanpa AC, sampai Surabaya lagi Senin pagi, dan langsung kuliah tanpa merasa kelelahan. Sekarang, saya coba bolak balik Surabaya-Yogyakarta naik kereta berAC pada hari yang sama, capeknya ngga hilang selama berhari-hari. Belum lagi kalau disarankan untuk tidur di hostel saja, bisa tidak nyenyak tidur saya karena sekamar dengan orang lain. Solusi untuk berhemat makan ditertawakan suami saya. ‘Mau traveling kok soro’ (soro = sengsara).
Ada juga penulis yang melakukan traveling with style. Kalau yang ini sih menginap di hotel terbaik, makannya selalu 3 tahap, penerbangan kelas satu, dan tips belanja barang bermerk. Bukan saya banget deh! Selain ngga ada duit, mana sempat saya memadukan warna sepatu dan coat saat traveling, menata rambut di salon terkenal, dan minum sampanye sambil melihat pemandangan kota? Saat itu pastilah saya sudah blusukan kemana-mana untuk bertemu local people dan merasakan kebiasaan-kebiasaan mereka.
Yah, rasanya saya mesti menemukan model traveling saya sendiri. Buku bisa menjadi acuan, tapi tidaklah perlu ditiru secara keseluruhan.
***
Bener, Ndri.. berasa banget kalau jumlah umur mempengaruhi tenaga. Dulu sehari bisa keliling 2-3 kota sekaligus. Atau bahkan bisa sudah negara dikunjungi. Sekarang balung tuwo… hehehe. Satu kota bisa butuh 2-3 hari sendiri. 🙂
Hahaha…ya gitu mbak, sekarang pergi sehari capenya 3 hari 😀