Bapak Rumah Tangga, Dipuja dan Dihina

20130716-211258.jpg

Satu cerita pedih dari teman saya yang ibunya menjadi TKI di Malaysia, adalah mengenai keluarganya. Karena kami bertetangga, tak sekalipun saya melihat Ibunya muncul di sekolah atau melepas keberangkatannya ke sekolah. Ia memiliki beberapa adik yang masih kecil. Rupanya selama ini yang mengurus ia dan adik-adiknya adalah ayahnya. Tampaknya tak bekerja, karena bisa antar jemput anak-anaknya.

Beberapa tahun kemudian, ibunya pulang. Sepertinya untuk selamanya, karena rumahnya dibangun, dan mereka mempunyai sebuah warung. Ceritanya mau wirausaha, dengan modal hasil bekerja di Malaysia. Awalnya semua baik-baik saja, ketika kemudian terdengar kabar, kedua orang tuanya bercerai, karena sang ayah punya WIL.

Miris mendengarnya. Sementara sang ibu kerja keras di negeri orang, yang entah mereka pada level keberapa pada tingkatan manusia, sang ayah saya yakin juga bekerja keras mendidik dan merawat anak-anaknya. Sesuatu yang di masyarakat kita mungkin dianggap aneh dan ngga pantas. Namun nampaknya sang ayah mampu menjalankan tugas rumahan itu dengan baik. Meski, mungkin naluri laki-lakinya sebagai pihak yang memimpin dan dipuja telah meruntuhkan rumah tangga yang dibangun dengan susah payah, lintas negara.

Cerita yang sama saya dengar dari seorang TKI yang menyambut kami di rumahnya. Bekerja di Arab Saudi, rumahnya paling mentereng dibanding tetangganya di desa. Perhiasa emas melekat di badannya. Ia menyambut kami dengan ramah, dan nampaknya cuma ia sendirian tinggal di sana. Kabar yang kami dengar, suaminya mengkhianatinya sehingga ia bercerai. Itu juga yang menyebabkan ia berubah pikiran, awalnya pulang untuk pensiun, sekarang ia sedang mempersiapkan diri untuk kembali lagi ke Saudi. Buat apa, katanya, tinggal sendirian di sini. Tidak ada yang dinanti. Maka rumah mewahnya itu akan ditinggalkan kosong tanpa ada yang menempati.

Ah, sebegitu besarkah ego lelaki, sehingga pekerjaan mengurus rumah tangga dianggap merendahkan harkat mereka?

Tapi tentu tidak semua. Ada suami-suami yang setia menunggu istrinya pulang bekerja. Mau di luar negeri, luar kota, maupun masih dekat-dekat saja, mereka dengan ikhlas mengambil alih posisi sebagai pengurus rumah tangga dan perawat anak. Sekalian job descnya ketambahan antar jemput istri.

Perhatikan kalau bubaran pabrik yang pekerjanya kebanyakan wanita, para suami akan dengan sabar menunggu istrinya yang buruh pabrik keluar dari sana. Dengan menggunakan sepeda motor, mereka membawakan helm untuk istri-istri mereka. Atau seorang ayah yang kedapatan sedang menyuapi anaknya di jalan. Biasa, anaknya susah makan jadi perlu dibawa jalan-jalan.

Persepsi laki-laki terhadap pekerjaan rumah tangga berbeda-beda, dan hal ini menurut saya tergantung didikan keluarga. Ada yang menganggap mandiin anak itu khusus tugas ibu, ngajarin anak ya tugas ibu, demikian juga dengan mencuci baju, memasak dan bersih-bersih rumah. Namun ada keluarga yang mengajarkan para anak lelakinya mandiri, termasuk mengerjakan tugas wanita. Tujuannya ya supaya anak laki-laki ini begitu dilepas hidup sendiri, mereka bisa mudah menyesuaikan diri.

Sebenarnya asal ada kerelaan dari pihak laki-laki, tidak akan ada yang namanya sakit hati atas nama direndahkan istri. Rela menimbang oh bagusan karir atau gaji istrinya, sehingga mereka bertukar peran. Rela memutuskan untuk jadi cowok rumahan dan istrinya jadi cewek jalanan, maksudnya keluar rumah gitu. Dan rela menahan diri dilirik dengan pandangan gimanaaa gitu oleh bapak-bapak dan ibu-ibu satu komplek.

Padahal ya, siapa sih yang ngga pingin punya suami yang mau sharing pekerjaan rumah? Ibu-ibu seneng, bapak-bapak ngiri. Tapi yang keluar dari acara pergosipan adalah, ‘Kok ngga malu ya jadi pria kok di rumah saja. Malah istrinya dibiarin kelayapan.’ Jadi dalam hari dipuja, tapi yang keluar malah penghinaan.

Ah ya, selain ngga ada bagus-bagusnya ngomongin rumah tangga orang lain, emang situ mau bayarin kalau keluarga itu jadi kekurangan karena pekerjaan istri yang bagus harus dilepas, karena prinsip ‘istri harus di rumah?’ So better to shut up our mouth.

Sebagai penutup, saya ceritakan kisah dua dosen saya yang sedang studi di Australia. Kedua dosen wanita tersebut beruntung, karena suami-suami mereka rela meninggalkan pekerjaannnya untuk merawat anak-anak dan membersihkan flat, termasuk cooking juga, selama ibu mereka belum pulang dari perpus. Di Australia sih biasa saja bapak-bapak ngurus anak.

Sehingga..jadi bapak rumah tangga..siapa takut? šŸ˜€

***
indrihapsari
Pinterest.com

6 comments

  1. Nice post. Intinya memang terletak pada kerelaan sang suami untuk mengambil alih tugas ngurus rumah dan ngurus anak. Saya juga bapak rumah tangga yg ngurus anak, namun masih tetap bisa ngasilin duit lewat internet bahkan lebih dari gaji istri hehehe

  2. Hai Mbak Indri, salam kenal ya šŸ™‚
    Rasanya saya termasuk beruntung punya suami yang nggak gengsi/malu nyuapin, mandiin, dan nemenin anak main, selagi saya masih di kantor (atau bahkan waktu saya harus tugas luar kota). Suami saya sih bekerja juga, tapi kebetulan waktu kerjanya lebih fleksibel dan sepertinya lebih banyak waktu luang untuk nemenin anak di rumah. Saya sih happy2 aja, dan so far nampaknya suami juga happy “mengurus” anak di rumah.

    • Wah, bahagianya mbak dengan pasangan bisa saling mengerti. Itu sih yang utama dari pernikahan, karena cinta yang merekatkan, pengertian yang mempertahankan. Selamat yaaa ^_^

Komen? Silakan^^

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s