Kegemaran saya kalau ke toko buku, pasti mojok di bagian buku tentang traveling. Biarpun belum punya uang dan waktu, membaca daerah-daerah tersebut, telah membawa sebagian jiwa saya ke sana, dan sebagian otak saya untuk mewujudkannya.
Padahal saat saya kecil traveling merupakan bagian dari ‘siksaan’. Maklum, tinggal di kota kecil, lalu tiap bulan orang tua saya mengajak jalan-jalan dengan mobil, yang-seperti kebanyakan mobil saat itu-ngga ada ACnya. Rewel dah. Saya lebih menikmati perjalanan dengan kereta api – pesawat cukup mahal bagi kami – yang kena angin silir-silir dari jendela, atau dapat gerbong kompartemen yang tempat duduknya bisa dijadikan tempat tidur.
Namun kegemaran traveling makin menggila saat sudah menikah. Suami, yang waktu muda juga males jalan-jalan, kok ya juga berubah senang traveling. Senang saja melihat berbagai budaya yang ada. Untung ada dia, karena semua pembiayaan dipenuhi olehnya *grin*. Setelah kesepakatan mau kemana, saya tinggal rencanakan saja itinerarynya. Semua tiket dan pemesanan hotel ia yang bereskan semua.
Kegemaran ini menular ke anak-anak. Kakak dari dulu tipe yang menikmati perjalanan. Selama di jalan ngga rewel, kebanyakan tertidur, sampai di tujuan ya maunya jalan terus, menikmati semua destinasi wisata kami. Kalau adik, senang juga jalan-jalan, tapi hanya untuk pindah tidur di hotel. Sudah, di situ saja. Agak malas dia untuk keluar kamar, dan setiap sedang menikmati daerah wisata, pertanyaan yang berulang-ulang diajukan adalah ‘kapan pulang?’. Pulangnya bukan ke rumah, tapi ke kamar hotelnya.
Terhitung saya hanya satu kali menggunakan tour agent, setelah itu tidak lagi karena kurangnya kebebasan menikmati destinasi yang ada, selain itu jalannya pada cepet-cepet, kasihan anak-anak. Akhirnya perjalanan kami atur dan lakukan sendiri. Kesasar ya kesasar aja, keleleran di jalan, antri public transportation, dan untung-untungan waktu cari makan.
Karena suka, saya bermimpi kegiatan ini bisa saya lakukan terus, hingga kami berusia senja. Kalau saya perhatikan om dan tante yang berusia uzur dan tinggal di luar negeri, mereka selalu bisa traveling setahun beberapa kali, termasuk mudik ke Indonesia. Selain kesehatannya sangat baik, rasanya uang pensiunnya bisa digunakan untuk jalan-jalan. Anak-anak sudah mandiri semua, bahkan dapat membantu orang tuanya melakukan hobinya.
Tentu saya tak ingin membebani anak dengan impian saya nanti. Inginnya sih kami dikaruniai kesehatan, biar bisa menjalankan niat kami. Lalu tentu dana yang cukup agar bisa pergi.
Kalau orang lain mimpinya mungkin punya aset dimana-mana, kami mungkin jalan-jalan saja, melihat dunia 🙂
rasa-rasanya, semua yg terjadi dan kita alami sekarang, memang berawal dari impian ya, mbak. termasuk jalan-jalan melihat negara lain 🙂
Hihihi…iya Pak…mimpi dulu, trus pelan2diwujudkan ^_^