Dari lantai dua, saya suka mengamati ke ujung jalan. Posisi tempat les adek memang ada di ujung jalan, sehingga saya bisa melihat dua sisi, di sini dan di seberang. Perhatian saya selalu tertuju pada tiang listrik di pojokan seberang jalan. Miring. Tapi tetap bertahan.
Saya sudah khawatir saja. ‘Suatu saat tiang itu pasti jatuh, dan menimpa orang’. Miringnya sudah mengkhawatirkan, sehingga saya yakin, angin sekecil apapun akan membuatnya tumbang.
Sebaliknya, kalau saya perhatikan di ujung tempat parkir tempat les adek, ada pohon kersen yang gagah sekali. Batangnya besar, dan hebat karena bisa hidup di tengah paving stone. Ya, posisinya memang di tengah trotoar.
Para sopir yang menunggu serimg mengambil buahnya. Daun-daunnya yang lebat membuat saya selalu parkir di dekatnya, agar mobil tak kepanasan.
Dua hal yang bertolak belakang. Pohon yang terlihat sangat kuat, dan tiang listrik yang lemah.
Lalu datang angin ribut. Saya tak menyaksikannya. Hanya diberi ceritanya ketika saya bertanya ke para sopir ‘Kok pohonnya tumbang?’
Saya bertanya seperti itu karena ketika akan parkir mobil , saya kaget saja pohonnya sudah tidak ada. Tinggal sedikit batang dan bagian akar yang tercabut keluar. Lalu ada lubang menganga di trotoar.
Rupanya saat angin ribut terjadi, pohon besar berusaha bertahan. Namun angin terlalu kencang, sehingga tumbanglah dia. Lalu orang – orang memotong – motongnya menjadi bagian-bagian kecil, untuk dijadikan kayu bakar. Bagian akar tidak bisa digunakan, sehingga ia ditinggalkan. Mungkin juga ia ditinggal sebagai penanda agar orang tak terperosok di lubang yang menganga.
Dari lantai dua saya mengamati. Tiang listrik, ajaibnya, tetap berdiri.
***
sumber gambar: lintasberita.com

