Kereta api mulai melaju, meninggalkan stasiun tempatnya bernaung. Saya, duduk sendiri. Senja mulai membayang. Kereta ini akan menembus malam, membawa saya untuk pulang.
Kali ini tak ada kamu, yang biasanya mengantar saya pulang. Tidak hanya mengantar sampai stasiun, tapi hingga saya selamat sampai di depan rumah. Menghabiskan hari Sabtu dan Minggu, untuk kemudian Minggu sore saya antar kamu ke stasiun, kembali pulang ke kotamu.
Di luar langit mulai memerah. Kalau sudah begitu, saya akan menyandarkan kepala saya di dadamu, dan kita berdua memandang senja itu. Ada sesuatu yang indah, dari perpaduan warna yang terlihat. Keindahan yang hanya sementara, sebelum gelap mereguknya.
Apa yang saya dan kamu lalui, juga seperti itu. Hanya sementara. Sesaat kita tertawa bersama, saat berikutnya kamu membentak saya sehingga saya menderita. Sesaat kamu bersikap mesra, sesaat kemudian kamu memperlakukan saya dengan kasar. Sesaat kata rayuan kamu berikan, berikutnya adalah kata makian yang keluar.
Maka saya yang terbiasa mendapatkan itu, merasa hal-hal yang buruk itu adalah hal yang wajar. Sehingga, saat kamu tidak membentak, adalah anugrah. Saat kamu tidak berlaku kasar, itu hadiah. Saat kamu tidak memaki, itu berkah. Saat semua yang baik itu terjadi, itu menunjukkan cintamu. Sementara untuk hal kasar, harap maklum, itu adalah kebiasaanmu.
Jatuh cinta pada penyandera, mereka mengatakannya pada saya.
Mereka menghubungkannya dengan Stockholm Syndrome, dimana korban tidak menyadari telah diperlakukan dengan tidak semestinya oleh orang lain, sehingga ia tetap setia dan tak mempedulikan bahaya. Ya, saya telah buta. Buta oleh cinta. Sehingga tak menyadari, masa pacaran begini saja sudah seperti ini, bagaimana saat menikah nanti.
People change, katamu, waktu saya ungkapkan itu. Berusaha menyadarkanmu.
Tapi nanti, kalau ternyata kamu tidak berubah, bagaimana? Siapa yang menanggung semua siksaan itu? Sementara saya mungkin sudah terjerat dengan semua perlakuanmu yang menjerumuskan, dan pasrah menerima semua perlakuan. Bagaimana dengan anak kita kelak?Haruskah ia diajarkan untuk melihat, kekerasan dalam hubungan adalah hal yang wajar?
Maka dengan berat hati saya katakan itu saat kemarin kita bertemu. Kita putus. Sudah tak ada gunanya lagi saya di sampingmu, untuk menyembuhkanmu dari masalah itu. Kemauan itu harus datang dari kamu, karena kamulah yang bisa mengubah dan memperjuangkannya.
Senja perlahan mulai menghilang. Tapi saya yakin, matahari yang sama akan selalu datang. Esok, ada hari yang harus saya jalani, dengan lebih baik lagi.
@@@
Stockholm Syndrome adalah respon psikologis dimana dalam kasus-kasus tertentu para sandera penculikan menunjukkan tanda-tanda kesetiaan kepada penyanderanya tanpa memperdulikan bahaya atau risiko yang telah dialami oleh sandera itu. Sindrom ini dinamai berdasarkan kejadian perampokan Sveriges Kreditbank di Stockholm. Perampok bank tersebut, Jan-Erik Olsson dan Clark Olofsson, memiliki senjata dan menyandera karyawan bank dari 23 Agustus sampai 28 Agustus pada tahun 1973. Ketika akhirnya korban dapat dibebaskan, reaksi mereka malah memeluk dan mencium para perampok yang telah menyandera mereka. Mereka secara emosional menjadi menyayangi penyandera, bahkan membela mereka. Sandera yang bernama Kristin bahkan jatuh cinta dengan salah satu perampok dan membatalkan pertunangan dengan pacarnya setelah dibebaskan. Istilah sindrom Stockholm pertama kali dicetuskan oleh kriminolog dan psikiater Nils Bejerot, yang membantu polisi saat perampokan.
(Wikipedia)
Sumber gambar : rizalyan.com
.
IndriHapsari

