Sebenarnya malu mau tulis artikelnya, karena untuk kedua kali gagal membawa anak-anak masuk ke tempat yang dulu Bapak saya pernah bawa. Pertama kami jadi mengalihkan ke pameran komik di Taman Ismail Marzuki (belakang Planetarium) yang kedua sempat keliling ke wahananya yang mungil tapi sebenarnya sarat pengetahuan dan manfaat.
Jadi ceritanya, jadwal pertunjukan planetarium itu tertentu aja selama satu jam. Bisa dicek di web ini: http://planetarium.jakarta.go.id/index.php/8-informasi/25-pertunjukan-planetarium-dibuka-kembali
Kalau rombongan kali bisa pesan ya, kalau perorangan mesti ngantri sejam sebelum pertunjukan, dan maksimal satu orang cuma boleh beli 6 tiket. Sekarang per tiketnya 12 ribu mulai dari usia SMP. Nanti di dalam tuh kita duduk di ruang gelap sambil lihat ke atas. Melihat bintang, rasi-rasi, itu dari ingatan saya dulu san membekas sampai sekarang. Makanya maksa ngajak anak2 ke sana 🙂 Tapi untung sebelumnya pernah ke Bosscha. Jadi at least sudah tau gimana deh isinya.
Untuk mengobat kecewa, kami membeli buku yang ditawarkan di pintu masuk, isinya ya Fisika gitu deh. Eh di dalamnya ada fotokopi berisi keterangan tentang Planetarium. Planetarium yang canggih ini sudah berdiri sejak tahun 1964 loh, dicanangkan oleh Presiden Soekarno dan diresmikan oleh Gubernur Ali Sadikin tahun 1968. Ah bayangin tahun itu orang sudah pada pintar-pintar, yang diomongi sudah angkasa luar. Ngga kaya sekarang perkara bumi itu bulat aja masih jadi perdebatan (makanya saya setuju kalau orang ehem-ehem itu jangan bermedsos, bisa nular! :P) atau kalau mau bisa mendarat di matahari berangkat malam aja. Ampuuun…kasian amat jadi gurunya 😀

Selain pertunjukan yang berada di bawah kubah berdiameter 22 meter, di bagian wahana itu ada display bumi yang bulat, biasa dipakai selfie atau dipotretin gitu. Trus ada planet merah, Mars kali ya, yang gede juga, dengan banyak planet-planet juga di langit-langit. Ada rasi bintang di area melingkar. Astronomi juga digunakan untuk menentukan hilal, musim, dan penelitian soal angkasa luar. Beragam tipe lensa dan peralatan luar angkasa dalam versi miniatur dipajang di sana.
Kekurangan dari museum ini: kecil, ngga banyak keterangan untuk dipahami, dan kebanyakan display. Mereka sudah berusaha sih dengan menempatkan alat peraga, tapi ngga ngerti juga buat apa karena ngga ada penjelasannya. Lalu area melingkar yang dari kaca itu khawatir bisa pecah karena sepertinya kok rapuh ya.
Pas di pintu keluar ada poster yang menarik soal bumi saat dipandang pada malam hari. Terlihat lampu-lampu yang bisa dipantau dari satelit, yang bisa diasosiasikan dengab negara maju atau belum maju. Amerika Serikat paling meriah, diikuti dengan Eropa. Australia gelap gulita di tengah, sementara daerah pesisir baratnya cerah. Indonesia? Bisa ditebak yang cukup banyak lampu adalah Jawa, sedangkan Papua cek saknone, peteng alias gelap lap. Semoga ya dengan pembangunan yang intens di Papua semoga kelak bisa tertangkap sinarnya via satelit.
***
IndriHapsari