
Dari Museum Sumpah Pemuda, kami naik Bajaj Biru Warnanya (sudah ngga bisa disingkat BMW lagi) ke Museum Kebangkitan Nasional. Ngga segoyang dan serame yang merah kok, tapi tetep aja ngga denger bapaknya ngomong apa š Deket aja sih, dan sampailah kita di gedung tanpa pagar, halaman depan yang pendek tapi memanjang, di pinggir jalan Kweni.
Mau masuk sama sekali ngga ada bayangan ini bekas gedung apa. Bangunan ini bentuknya segiempat, dengan halaman luas dan terawat di tengah. Bayar karcis 2 ribu untuk dewasa dan 1 ribu untuk anak-anak, dapet souvenir pulpen dan brosur, kami dipersilakan oleh pak satpam yang ramah memasuki ruangan gelap, tempat film diputarkan.
Maka berceritalah video singkat itu. Pada jaman penjajahan Belanda, Indonesia banyak diperah ngga cuma sumber daya tapi juga tenaganya untuk kejayaan Belanda. Lalu ada suatu masa dimana politik balas budi berkembang, maka dibangunlah irigasi, sekolah dan pendidikan tenaga kedokteran khusus untuk bumiputra atau pribumi. Hal ini juga dipicu dengan rasa prihatin terhadap kebiasaan rakyat Indonesia yang kalau sakit ke dukun dan melibatkan unsur magis. Yang ada penyakit tambah parah dan banyak yang meninggal. Dokter Belanda sudah ngga sanggup untuk nanganin, dan berencana menciptakan dokter-dokter baru.
Maka berdirilah STOVIA, atau Sekolah Dokter Djawa. Mereka dididik oleh dosen dari Belanda, dengan aturan ketat dan harus tinggal di asrama. Karena mulai terdidik, maka ada efek lainnya. Muncullah Tri Koro Dharmo alias Jong Java, organisasi pertama di Indonesia yang bersifat kedaerahan. Kemudian setelah muncul Jong lainnya, mereka menjadi satu yaitu Boedi Oetomo, organisasi nasional yang pertama. Nah, jadi cikal bakal Sumpah Pemuda dari sini nih.
Museum ini bekas STOVIA dulu, sebelum dipindah ke Salemba dan menjadi cikal bakal FKUI. Kami melewatinya saat menuju museum Sumpah Pemuda, dan saya langsung bayangin dulu Bapak yang sekolah tahun 60an, mesti naik sepeda ontel demi menjalani pendidikan dokter. Sempat dijadikan sebagai tempat tawanan perang Belanda pas jaman penjajahan Jepang, museum ini kemudian jadi tempat bernaung 3 museum, yaitu Museum Boedi Oetomo, Museum Kartini dan Museum Kedokteran.
Usai menonton film itu kami menyusuri selasar dan memasuki satu-satu pintu ruangan yang terbuka. Pada sisi kiri kebanyakan kosong dengan benda, tapi penuh dengan display berisi foto dan keterangan. Agak nyampur antara yang Kartini dan Boedi Oetomo, tapi itu ngga mengurangi kemenarikan dari display tersebut. Ketara nih yang bikin display entah anak DKV atau lainnya yang urusannya emang sama desain. Gedungnya sendiri sangat terawat, meski jendela ngga dibuka karena menghadap langsung ke jalan (yang saya bilang tanpa pagar tadi) ruangannya terang ngga temaram, jadi ngga menimbulkan rasa malas untuk baca dan explore.
Keluar dari ruangan-ruangan itu, ada patung pelajar dan dosen yang menjadi reka adegan di kelas dulu. Mejanya kayu, papannya hitam, muridnya cuma dua belas. Belajarnya bisa dibilang di luar, bukan terkukung dalam kelas-kelas. Rasanya semangat banget liatnya, ngebayangin masa itu. Pemuda-pemuda Jawa dengan blangkonnya, atau wajah kaku para dosen dengan baju putihnya. Begitu bersemangat untuk bermanfaat bagi bangsa Indonesia. Sebelumnya, ada reka adegan Kartini sedang mengajar para wanita. Byuh, ini lagi. Bayangin wanita yang dulu menjadi nomor dua, merasa dan harus merasa untuk tidak penting belajar, ditabrak semua oleh Kartini atas keprihatinan terhadap nasib kaumnya. Sudah ditentang para lelaki, masih diskeptisin para wanita. Tapi dasar ngotot jadilah kami sekarang para wanita yang menikmati hasilnya. Bravo Ibu!
Lepas dari sana, jalan sedikit, ada Kafe Stovia di balik pintu lengkung yang terbuka. Kafenya biasa saja, tapi duduk disini sambil memandang ke halaman, bikin jadi ingin berlama-lama. Lalu perjalanan dilanjutkan dengan melihat peralatan farmasi seperti pencetak tablet, alat untuk mensterilkan peralatan dan lainnya, yang terbuat dari besi, berat dan nampak ngga praktis. Tapi mengingat jaman itu tenaganya dari E alias Engkol, bukan Electricity, kagum banget dong jaman itu pasti banyak penemuan di bidang peralatan kedokteran.
Berjalan lagi ke sisi satunya, kami menuju ujung ruangan yang pintunya terbuka. Aneh, seperti masuk labirin. Gelap, dengan lampu kuning menyala di bawah. Lalu di tengah perjalanan ada televisi yang menayangkan sejarah, ngga kami lihat sih karena bergegas menuju ujung labirin. Dan di depan kami muncullah…
…asrama pelajar Stovia.
Ruangan besar dengan isi sekitar 20 ranjang, 20 lemari, 20 koper yang identik, beberapa jas putih tersampir. Pada setiap ranjang dilapisi sprei putih, satu bantal dan guling. Suasananya seperti bangsal rumah sakit, dengan jendela-jendela tinggi di kedua sisi. Dengan langit-langit tinggi yang melingkupi. Sekilas jadi inget Hogwarts.

Selain patung pelajar Stovia yang berada di paling depan, ada display berisi keterangan tentang asrama ini. Yang bisa menjadi pelajar adalah mereka yang berasal dari SD pendidikan eropa, bisa berbahasa Belanda, mahir berhitung. Mulai anak raja sampai anak pembantu diterima asal lolos tes. Dan yang bikin tercengang, itu anak raja ngga lulus lo! Statistik menunjukkan semua strata diterima, dan lulus ngganya ngga tergantung strata.
Speechless. Ini penjajah lo, tapi sistemnya patut jadi teladan. Membuka kesempatan bagi semua asal sesuai standar, dan tidak meluluskan yang tidak sesuai standar. Sekolahnya gratis tapi ngga murahan, dan hanya bisa dicapai oleh mereka yang mau kerja keras. Ngga bisa disogok karena anak orang kaya atau punya banyak tanah. Bersekolah disini sungguh menjadi kebanggaan tersendiri.
Hal ini juga membuktikan, ngga usah bersembunyi di balik kemiskinan untuk jadi alasan ngga bisa sekolah. Lalu begitu tetap miskin nyalah-nyalahin yang sekolah, berujar syukur deh saya ngga sekolah daripada keblinger. Dimana-mana pendidikan itu penting selain membangun intelegensia juga untuk membangun karakter biar ngga jadi pecundang dan lebih bermanfaat bagi banyak orang. Kalau ngga menempuh pendidikan, ya perlu usaha keras untuk punya karakter dan bermanfaat, yang pasti bukan dengan cara malas-malasan dan menyalahkan orang lain. Jaman dulu beda? Ah, saya saksi hidup orang yang ngga punya apa-apa lalu jadi punya semua yang serba cukup, karena kedisiplinan dia mencapai cita. Itu soal keberuntungan? Keberuntungan itu harus diciptakan kaliii…bukan ditunggu supaya datang.
Soal disiplin, tertera di display ini kegiatan para pelajar dari pagi sampai malam, sampai jam istirahat juga diatur. Makan ditanggung, ada ruang rekreasi yang biasanya mereka lakukan tiap hari Minggu. Jadi di Minggu pagi habis mereka menjemur kasur dan membersihkan ruangan, mereka boleh main catur, berkegiatan seni, bukan jalan-jalan pelesir.
Sisi berikutnya adalah museum kesehatan. Dimulai dengan kelas dengan lantai bertingkat, dan di depan ada dosen lagi bedah mayat. Murid-muridnya duduk di kursi rotan sambil memandang ke depan. Suasana kelasnya temaram bikin jadi merinding, dulu nyimpen mayatnya dimana ya?

Ruangan berikutnya ditata modern dengan lemari-lemari kaca, berisi peralatan kedokteran. Kalau peralatan kedokteran paling serem ada juga nih, mesin pemecah kepala. Brrrr…. Ada juga mesin rontgen yang mirip sama kursi listrik. La dulu ngga ada listrik, gimana cara ngerontgen ya. Tapi yang paling serem adalah peralatan dukun bayi. Isinya pisau-pisau kecil karatan yang nampaknya ngga terlalu tajam. Ada yang namanya keris Kyai Brojol, beugh ini katanya untuk bantu ibu melahirkan…ampuun….
Ngga terasa kami sampai di selasar kami masuk tadi. Perjuangan melawan penjajah mungkin sudah berlalu, sekarang harus dilanjutkan untuk berjuang melawan kemiskinan dan kebodohan.
***
IndriHapsari
foto bu indrihapsarinya banyakin dong… ^^
Ahahaha jangan deh nanti jd ngga minat baca š
Thanks share nya, aku blm pernah kesini nih, jadi pengen kesana *penasaran š
hehehe ayo kesini juga, tempatnya asyik kok š