Keahlian yang tidak saya miliki di antara ribuan keahlian lainnya adalah memasang screen protection di gadget saya. Hal ini saya ketahui dari pengalaman saya yang sok pede bisa masang sendiri, plus berniat menghemat beberapa ribu. Apa sulitnya sih? Cuma lepas sisi belakang, tempel, selesai deh! Ikuti saja petunjuk yang ada di kemasannya.
Kenyataannya, saya berhadapan dengan gelembung yang membandel ngga mau keluar, kotoran yang jadi keliatan setelah protectionnya ditempel, dan…kok miring ya? Setelah menghabiskan dua protection, saya nyerah deh. Mending belain ke toko, beli di sana, dan minta masnya yang nempelin. Tentu karena ditangani profesional, protection saya sempurna terpasang.
Namun proses yang saya perkirakan selesai dalam hitungan detik itu (sesuai gambar di kemasan) ternyata makan waktu yang cukup lama. Pertama layar gadget saya yang masih telanjang itu dibersihkan dengan cairan khusus, dilap, lalu mulai deh masnya mengukur layar saya. Ia menepatkannya dengan cara memotong di beberapa sisi, dan membentuk sudut tumpul mengikuti bentuk gadget. Lalu dengan bantuan isolasi dia akan membuang dulu kotoran yang masih ada, plus isolasi ini berguna untuk mengangkat protection kalau gelembungnya membandel. Beberapa kali angkat tekan…akhirnya selesai juga. Ternyata kelambatan diperlukan untuk kesempurnaan hasil.
Kalau ke pasar tradisional, waktu juga seakan terhenti. Saya berada pada lantai dua sebuah pasar yang khusus menjual barang-barang non food. Baru pukul 11 siang, tapi semua toko seakan mati suri. Pegawai yang terkantuk-kantuk, atau sekedar menghabiskan waktu dengan mengobrol.
Namun di tengah suasana yang vacuum tersebut, mereka sempat menyapa saya, yang jarang dilakukan oleh toko modern. Menyapa hanya memperlambat kerja, begitu prinsipnya. Ataupun jika ada, terasa artifisialnya. Bagaimana saya mau membalas sapaan kalau melihat sayapun mereka tidak, tapi mampu bilang ‘Selamat datang di tiiit’ sambil tetap sibuk bekerja.
Mungkin karena lambat, para pedagang itu mau memberitahu saya dimana sebaiknya mencari barang yang saya inginkan, karena mereka tak menjualnya. Meski saingan, tapi mereka ngga nyusahin pelanggan, dan saling membantu usahanya. Berkat petunjuk yang jelas, sampai juga saya di kios yang ditunjukkan. Waktu lambat pula yang menyebabkan mereka sempat menanyai saya, atau melayani pertanyaan saya yang awam ini, lalu dengan tulus mengucapkan terima kasih karena dagangannya saya beli. Nampaknya, kelambatan menciptakan komunikasi.
Atau pernahkah Anda melihat bagaimana proses membuat rendang? Paling mudah mungkin nonton film Tabula Rasa. Kelezatan makanan berasal dari bahan dan cara pengolahannya. Mengaduknya ampun dah, dalam waktu yang lama dan waktu memasukkan bahan-bahannya harus pas. Mau dipercepat bagaimana, semua memnag harus dilalui. Bahkan untuk mendapatkan santan saja Emak, tokoh utama di film Tabula Rasa, belain marut dan meres sendiri, tidak beli yang jadi. Kurang enak, katanyo..eh, nya…Kelambatan mendampingi proses yang sempurna.
Di jaman yang serba cepat ini, kelambatan menjadi hal yang langka. Berita mengalir dengan cepat tanpa sempat kita mencerna. Makanan maunya yang cepat, hingga lemak menempel di badan. Maunya kaya dengan cepat, hingga menghalalkan segala cara.
Kadang kita memang perlu berhenti, untuk tahu, sudah benarkah langkah saya selama ini?
Kmrn aku minta dipasangin screen protector… Wuih cepet banget dan tanpa gelembung! Daebak!
Klo di jaman dulu kayaknya disuruhnya kerja cepat dan multitasking, klo skrg malah kebalikannya yaaa…
He eh mbak ..tuntutannya gitu…makanya lama2 jenuh juga sama semua yg serba cepat ini 🙂
mba kalau buat buku nanti aku minta tanda tanganya ya hehe.
buku absen, mau? 😀
Kalau prosesnya mengharuskan untuk melambat dan tidak bisa dipercepat, ya harus dijalani saja. Tidak ada jalan pintas
Jadi bisa lihat2 ya pak mandor 🙂