Ben menghapus darah yang mengalir dari hidungnya. Sekejap ujung lengan kemeja putihnya bernodakan darah.
Sean masih mengepalkan tangannya. Kepalan tangan yang ia gunakan untuk menghajar Ben hingga terjatuh. Matanya masih memancarkan kemarahan. Ia berdiri di depanku, yang sibuk mengenakan baju. Sulit, karena beberapa kancingnya terlepas. Ben merenggutnya paksa agar cepat terbuka. Ia sendiri sudah melepas celana panjangnya.
‘Prom apa?! Alasan saja kau mengajaknya ke pesta! Niatmu mau bawa ke tempat ini kan??’ Suaranya menggema ke seisi kamar. Belum pernah kulihat ia semarah itu.
Akhirnya dengan menutupi sekenanya, aku bangkit dan menarik lengannya. ‘Kita pergi, Sean,’ ajakku lemah. Sean masih saja berdiri menatap Ben dengan jijik. ‘Ayo!’ ajakku lagi. Mata Sean menyipit. Lalu…
Cuih!
Diludahinya Ben yang sibuk dengan hidungnya.
Aku tahu, Sean masih marah. Dikemudikannya mobil dengan cepat. Ia menginjak gas terlalu dalam, akibatnya mobil seperti melompat. Untunglah saat ini jam dua belas malam, tak banyak kendaraan melintas.
‘Sean…’ panggilku ketika sekali lagi mobil itu berbelok tajam.
‘Aku sudah duga! Ben itu memang brengsek! Sudah berapa saja temanku jadi korbannya. Masih saja ia belum puas!’ katanya mengomel.
Aku duga, sebentar lagi pasti giliranku…
‘Kamu juga gitu! Ngapain menyelinap pergi dengan si pecundang itu. Prom! Ingat, janjimu cuma datang ke pesta itu saja kan? Jangan terlalu bangga deh jadi anak kelas 10 yang diajak anak kelas 12! Sampai lupa, tu bajingan sudah mengincar di depan mata!’ lagi kudengar ia mengomel.
‘Dia bilang punya sesuatu untukku di asramanya…’ kataku mencoba membela diri.
‘Dan kau begitu bodohnya untuk sadar, semua orang sedang pergi ke pesta. Dan kau cuma berdua dengan dia, yang sudah siap melakukan apapun untuk memperdayamu. Diapain aja tadi?’ selidiknya.
Aku terdiam. Cerita ngga ya…
‘Kenapa sih, cewek sukanya sama cowok brengsek macam dia? Bangga, bisa jalan sama dia? Penasaran, apa rasanya pacaran sama dia?’ katanya lagi dengan nada keras.
Aku diam saja. Ben, sudah menjadi pembicaraan di antara semua cewek kelas 10. Tinggi, ganteng, keren, dan tahu bagaimana cara memamerkan pesonanya. Dan aku merasa beruntung, di antara mereka semua, akulah yang dipilihnya.
‘Cowok yang baik itu, bukan dari penampilannya. Tapi yang gentle, mau bertanggungjawab dengan tindakan-tindakannya. Ngga cuma gaya!’ katanya lagi keras.
Aku meliriknya. ‘Maksudmu…seperti…kau?’ kataku menggodanya.
Sean tertawa. Lega rasanya mendengar tawanya, setelah melihatnya begitu marah tadi.
Tiba-tiba aku teringat. ‘Sean..Nadya…’
‘Aku tinggal,’ katanya dingin. ‘Aku melihat Ben mengajakmu pergi. Perasaanku tak enak, maka kalian kuikuti.’
Aku menatapnya tak percaya. Aku tahu ia mendekati Nadya cukup lama. Dan memutuskan meninggalkan Nadya di tengah pesta, karena khawatir atas keadaanku, inikah yang disebut…gentle?
‘Sorry…’ kataku tulus. Tak tahu apa lagi yang bisa kukatakan untuknya.
Ia tersenyum. Tangan kirinya mengacak-acak rambutku. ‘Ya udah, lain kali hati-hati ya. Jangan gampang percaya sama orang,’ katanya santai.
Aku mengangguk. Mobil telah tiba di depan rumah. Saat itulah ia melihat pakaianku yang acak-acakan. Ia melepas jaket semi jasnya.
‘Pakai. Bilang Mama tadi ada permainan tarik-tarikan baju,’ katanya sambil tersenyum. Aku membalas senyumnya.
Ah Sean, andai kau bukan kakakku…
***
IndriHapsari
Gambar : pinterest.com/pin/508062401683922356/
Wah-waaah….
Hahaha, trims pak Dani 🙂
Yaelah kk sndiri toh haha
Hihihi, padahal udah nebak.com yah 🙂