Perjalanan Kita

20140104-185845.jpg

‘Anak muda sekarang memang tak sopan!’ gerutumu melihat taksi satu-satunya yang ada di depan hotel melesat pergi. Sopir taksi yang tadinya kutanya, dapatkah ia mengantarkan kami ke stasiun pagi ini. Ia katakan tidak, karena sedang menunggu untuk pelanggan yang menelepon tadi. Tapi begitu ada satu keluarga datang, dengan koper-kopernya yang besar, ke airport mungkin, ia menerima tawaran itu, dan meninggalkan kami berdiri termangu.

‘Kalau ia keberatan mengantar dalam jarak dekat, kenapa ia tak bilang saja sejak awal. Jangan berbohong seperti ini,’ masih saja kau menggerutu.

Aku tersenyum. ‘Siapa tahu keluarga itu yang memesannya tadi,’ kataku menenangkan.

Kau menggeleng tegas. Wajahmu masih cemberut. ‘Tadi si suami terlihat berunding. Mestinya bukan keluarga itu yang sopir tunggu.’

Aku coba berargumen lagi. ‘Yah, mereka lebih perlu. Membawa anak-anak itu sulit, bawaan mereka banyak pula. Selain itu, mungkin sopir taksi tadi perlu setoran lebih banyak.’

Kau mencibir. ‘Kenapa ya, kau selalu sempat membela orang lain?’

Aku tersenyum. ‘Ke kaupun aku bela kok. Coba, siapa yang rela menabung uang pensiunnya agar bisa pergi dengan istri tercinta?’ kataku menggodamu. Akhirnya kerut di bibirmu mulai tercipta. Kau sedang menahan senyummu.

‘Siapa yang mengatur perjalanan ini, agar bisa kau nikmati?’ kataku meneruskan.

‘Wah, jadi kau tak menikmati ya?’ katamu tersenyum mengambil celah dalam kalimatku. Ah, aku tahu kau hanya menggodaku.

‘Terus terang…tidak,’ kau mulai kehilangan senyummu, ‘ tapi…aku sangaaaat menikmati…’ kataku sambil tertawa.

Matamu mulai berbinar ceria. ‘Ternyata enak juga ya, jalan-jalan berdua seperti ini,’ katamu sambil memandangku.

Aku mengangguk.

‘Kita harus sering-sering melakukannya,’ katamu lagi.

Aku tertawa. Oh pasti. Aku akan sisihkan uang pensiunku lagi. Entah kemana angin akan membawa kita pergi.

‘Tapi sesuaikan dengan jadwal libur Amy dan Tommy,’ katamu menyebut nama cucu-cucu kita. ‘Orang tua mereka juga perlu libur sesekali, jadi biarlah mereka menginap di rumah.’

Aku mengangguk. Bermain dengan cucu juga salah satu kesenanganku. Kangen rasanya mencubit pipi lucu mereka.

‘Jadi, ke ujung dunia mana kau akan mengajakku?’ tanganmu yang kulitnya sudah lentur kini menggenggamku. Aku balas genggamanmu dengan erat.

‘Kemana saja, asalkan kau masih bisa mendorongku,’ kataku sambil tersenyum padamu.

Kau menundukkan badanmu, dan mencium keningku dengan lembut. Ah tentu, kau pasti mau mendorong kursi rodaku ke stasiun, jika tak ada taksi yang mau membawa kita.

***
IndriHapsari
Gambar : pinterest.com/pin/60235713736889110/

4 comments

Komen? Silakan^^

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s