‘Ngapain…’ tanya mereka lagi bersamaan. Tertawa lagi. Mendadak suasana cair kembali. Lisa lupa sedihnya. Rein lupa kekangnya.
‘Kamu duluan,’ kata Rein sambil tersenyum.
‘Kok ada di sini Rein?’ tanya Lisa bersemangat.
‘Mau ke rumah Benny. Lalu lihat mobilnya parkir di pinggir jalan, saya kira ada Benny di dalamnya. Eh, ternyata Lisa,’ jelasnya sambil tersenyum ramah.
‘Pak Benny kan ke Eropa, Rein,’ jelas Lisa. Rein terdiam. Oh, jadi Benny yang diajak Pak Broto kemarin. ‘Selama beliau pergi, aku dipinjami mobilnya, disuruh belajar. Biar ngga naik taksi mulu,’ kata Lisa sambil tertawa.
Dengan tawa semanis itu, rasanya Reinpun rela mengantarnya setiap pergi pulang kerja. Lisa memeluk pinggangnya dari belakang, dengan posisi jok belakang agak naik, khas sepeda motor laki-laki. Kalau hari hujan, biarlah mereka berdua berlindung dalam satu jas hujan. Tak akan cukup, dan tubuhnya akan basah. Namun ia akan lakukan, asal Lisa tetap terlindungi.
‘Giliran Rein, mau tanya apa,’ kata Lisa mengingatkan. Matanya yang indah menatap Rein.
‘Sudah dijawab kok. Oh, belajar nyetir. Dan…ini lagi belajar parkir?’ tanya Rein menggoda.
Lisa tersenyum malu. ‘Ngga. Sepertinya bannya kempes, jadi aku berhenti dulu. Menepi. Mobilnya makin lama makin berat kalau dibawa terus, Rein.’
Rein mengangguk. Sedetik kemudian, ia sudah mengelilingi mobil itu, mencari dimana letak ban kempes tersebut. Untung Lisa berhenti di pinggir jalan yang agak ramai. Sehingga kalau ada yang menebar paku untuk tujuan jahat misalnya, ia terlindungi dengan banyaknya orang di warung tersebut.
Rein berhenti di ban belakang kiri. Sepertinya ini masalahnya. Mestinya keadaan ini sudah berlangsung lama, sebelum ban benar-benar kempes. Tapi rupanya Lisa tidak sadar. Berikutnya Rein sadar, Lisa memang masih belajar.
‘Lisa, punya dongkrak?’ tanya Rein. Ia melepas jaket kulitnya, terlihat kaus oblong putih membungkus tubuhnya yang tegap.
Lisa bergegas mencari tuas pembuka bagasi di samping kursi pengemudi, dan pintu bagasi terbuka. Berdampingan mereka memeriksa ada apa saja di dalam. Untunglah Pak Benny sudah memikirkan segalanya. Dongkrak dan kunci inggris telah tersedia. Dan saat Rein membuka karpet alas bagasi, ia menemukan ban cadangan yang dicari.
Lisa ingin membantu mengangkat ban itu, tapi Rein melarangnya. ‘Nanti kukumu patah,’ katanya jujur. Lisa merengut. Ia tak mencemaskan kuku-kukunya! Rein tertawa melihat Lisa gusar. Ia mulai membuka baut satu persatu. Akhirnya ban yang kempes tersebut sudah terlepas, dan kini tinggal memasang ban cadangan.
‘Bantu ini aja ya,’ kata Rein. Lisa berjongkok di samping Rein. Dibantunya Rein memegang ban cadangan, sementara Rein memasang bautnya. Sesekali lengan Rein bersentuhan dengan lengan Lisa. Tapi mereka berdua diam saja. Beralih sudah tak mungkin, sedang membicarakannya juga membuat jengah. Maka mereka sama-sama diam, tak tahu bagaimana harus menyikapinya.
Akhirnya selesai. Peluh membasahi wajah Rein dan tubuhnya. Lisa mengangsurkan sekotak tisu dari mobil untuk Rein pakai. Tempo hari ia berani saja menghapuskan peluh itu langsung ke si empunya, namun kini, rasa bersalah terhadap Sam kerap mendera. Hingga yang ia bisa lakukan hanya itu, tak lebih.
‘Lanjut lagi, Lis?’ kata Rein sambil kembali mengenakan jaketnya. Bersiap menggunakan helmnya.
‘Ya!’ jawab Lisa. ‘Sebelum Pak Benny datang, aku mesti bisa!’ kata Lisa semangat.
Rein mempermainkan kunci motor di tangannya. Mendadak terlintas ide di benaknya.
‘Saya…ajari ya?’ katanya ragu.
Hampir tercetus jawaban ‘Tentu saja!’ dari bibir mungil Lisa. Tapi kemudian ia malah nyengir sambil menggoda Rein. ‘Emang bisa?’
‘Dulu sih bisaaa…’ kata Rein sambil memutar-mutar kuncinya, ‘sama truk tronton, sama kan?’
Lisa tertawa. Ia bergegeas masuk ke mobilnya. Rein menitipkan motornya pada pemilik warung, dan kemudian bersiap duduk di samping Lisa. Lagi-lagi duduk berdekatan seperti ini. Tapi untunglah tak perlu saling memandang, seperti di sofa tempo hari.
Saat Rein sudah siap, Lisa mulai memindahkan koplingnya dari P ke D.
‘Ngga usah lihat bawah, Lis. Itu di dashboard sudah ada,’ jelas Rein. Lisa melirik dashboardnya. Ah ya, kini huruf D-nya berpendar merah.
‘Pakai lampu sign ya, kalau mau pindah jalur,’ jelas Rein lagi. Lisa mengutuk dirinya sendiri, gara-gara ada Rein di sebelahnya, dia lupa segalanya. Tangan dan matanya sibuk mencari tuas sign. Ah, ini dia! Tepat saat Rein rupanya hendak menunjukkannya juga. Tangan mereka bersentuhan. Sesaat hening, sebelum Rein dan Lisa dengan cepat menarik tangan mereka kembali.
Berikutnya lancar. Awalnya dengan pelan Lisa melajukan mobilnya. Diklakson oleh mobil-mobil di belakang karena pelannya. Ia juga lupa menempatkan tulisan BELAJAR di belakang mobilnya. ‘Tenang saja Lisa,’ hibur Rein. ‘Kita sudah di jalur kiri. Jalur kanan masih bebas, mereka bisa menggunakannya. Latihan menyetir di bawah tekanan ya.’ Lisa mengangguk. Berusaha berkonsentrasi dengan keadaan jalan yang cukup ramai, sebelum akhirnya mereka mencapai lapangan yang Rein tunjukkan.
Rein menancapkan dua ranting sebagai tanda batasan parkir. Ia kemudian memberi aba-aba agar Lisa memarkir mobilnya dengan benar. Parkir maju masih OK, begitu parkir mundur, sebatang ranting patah disenggol mobilnya. Rein tertawa dan mengambil ranting lain. ‘Lisa, kali ini anggap ranting ini saya. Kecuali kau punya dendam, kau tak ingin saya kesakitan kan?’ Lisa tersipu. Berikutnya ia lebih berhati-hati memundurkan mobilnya.
Sepertinya sudah mulai lancar. Rein sesekali saja mengarahkan, meski ada beberapa kekurangan. Namun suatu saat, Lisa harus bisa menyetir sendiri, tanpa ada siapapun di sampingnya. Karena itu berlatih mengendalikan kendaraan dalam berbagai situasi, harus ia punyai.
‘Rein,’ kata Lisa pada perjalanan pulang mereka, ‘kok kenal Pak Benny?’ Ia penasaran ingin tahu, kenapa Pak Benny sampai tahu masa lalu Rein, dan menyuruhnya tak boleh dekat?
Rein terdiam sebentar. Mempersiapkan jawaban. Rupanya Benny sudah mengungkapkan sesuatu pada Lisa. ‘Dulu pernah satu kegiatan,’ katanya tersenyum. ‘Kenapa Lis?’
Lisa menggeleng. Ia tak ingin membuat Rein curiga pada Pak Benny.
‘Lisa, masih ingat ngga, dulu saya pernah tanya, kok kamu percaya saya?’ Lisa mengangguk. ‘Sekarang…masih?’ tanya Rein hati-hati. Lisa kembali mengangguk. Wajahnya bingung.
‘Meski…saya pernah dipenjara, misalnya?’ Rein memandang gadis di sebelahnya.
Lisa hanya bisa meliriknya sekilas. Jika ada stereotype wajah mantan narapidana, sepertinya Rein tidak bisa dikategorikan dalam dugaan itu. Namun, penampilan seseorang memang bisa menipu. Lisa ingat peristiwa di pesawat itu.
‘Rein, mungkin aku terdengar cukup bodoh, percaya pada orang yang baru kukenal. Tapi feelingku mengatakan, kamu orang baik. Jika masa lalumu kelam, jangan sampai menambah kelamnya dengan ikut mempengaruhi masa sekarang dan masa depanmu.’
Rein menyandarkan punggungnya di kursi. Ia tak mau matanya memperlihatkan perasaannya. ‘Terima kasih ya,’ katanya tulus. Sudah lama ia tak merasakan kepercayaan selain dalam hubungan kerja. Itupun ada maksud di dalamnya, seperti ia yang sedang menumbuhkan kepercayaan Pak Broto.
Lisa mengangguk. Awalnya ia ingin bertanya, kasus apa yang membuat Rein sampai dipenjara, jika memang itu terjadi. Tapi urung ditanyakannya. Memberitahukan seseorang tentang hal terburuk dalam hidupnya saja sudah sulit, apalagi diminta untuk membicarakannya. Biarlah saat Rein siap, ia sendiri yang akan mengungkapkannya.
Lisa mengantarkan Rein kembali ke motornya. Rein turun dari mobil, menutup pintu, dan kemudian ia teringat sesuatu. Diketuknya jendela agar Lisa menurunkan kacanya. Rein menundukkan badannya agar bisa memandang Lisa melalui jendela.
‘Lisa, hati-hati ya. Kau tak akan pernah tahu, bagaimana situasi jalan nanti. Apapun itu, tetaplah percaya diri mengendalikan kemudimu. Semua keputusan ada di kamu, bukan di orang lain,’ kata Rein.
Lisa mengangguk. Meski ia berusaha menghubungkannya dengan pelajaran menyetirnya, mungkin memang gaya Rein tidak langsung menjelaskan maksudnya.
‘Kamu juga, Rein. Aku ngga tahu kamu gimana sebelumnya, saat ini, bagiku, kamu itu baik,’ pujinya tulus.
Rein tersenyum. Matanya memandang teduh. Tanpa kacamata hitamnya, Rein terlihat lebih…maskulin.
Rein menegakkan tubuhnya dan meminta Lisa menaikkan kaca jendela. Ia masih disana sampai mobil tersebut menghilang di keramaian. Dikenakannya helm, dan bersiap membaur dengan kendaraan-kendaraan yang ada.
Mungkin itu sebabnya kenapa seorang pengawal jangan terlibat dalam cinta. Ia tak sadar ada sepasang mata yang menunggu dan mengawasinya sedari tadi.
Pak Mardi, sopir Pak Broto.
(Bersambung)
***
IndriHapsari
Gambar : pinterest.com/pin/175640454189652776/, modify
Serial Cara Tuhan Bercanda
Ulala.. Cetar. Hahaha.
Hahaha, asal ngga nubruk aja..makasih yah Ade 🙂
mengambil ranting lain. ‘Lisa, kali
ini anggap ranting ini saya.
Kecuali kau punya dendam, kau
tak saya kesakitan kan?’ Lisa,
kurang kali ya mbak? 😀
Wah iya, yg benar ‘tak ingin saya’
Makasih ya Val atas ketelitiannya 🙂
Sambungan ceritanya engga ada lagi ya mba?
Ada cuma saya simpen, galau mau masuk buku apa ngga :v