Dokter Demo, Kenapa?

20131128-034519.jpg

Dokter mogok membuat masyarakat lebih banyak yang mengecam daripada mendukungnya. Hubungannya dengan hidup mati soalnya, jadi dokter dituduh egois, hanya mementingkan rekan seprofesinya saja.

Padahal yang ramai ya Jakarta, daerah lain tidak seheboh ibu kota. Itupun saya yakin tidak semua, ada kok dokter yang masih bertugas di rumah sakit, di puskesmas, poliklinik, dan lainnya. Menurut berita di Merdeka.com hanya dokter muda (dokter berusia muda?) yang demo. Berkurang, iya. Menyusahkan rakyat kecil, iya. Tapi bukan berarti kosong blong. Mereka sudah mempersiapkan segalanya untuk persiapan demo ini.

Jadi kalau ada kasus darurat yang kita ngga bisa hindari pada hari pemogokan, ya cari info dulu sebelum bermacet-macet di jalanan, pindah dari satu rumah sakit ke rumah sakit lain. Kalau ngga punya sumber daya untuk menghubungi, jalan jauhan dikit ke rumah sakit umum. Selalu ada dokter jaga disana.

Kok kesannya saya belain demo dokter ini?

Sebenarnya ngga sih, karena bagi saya, tujuan demo itu untuk menarik perhatian media, ini loh ada masalah. Kalau mau mencapai tujuan lain, ya mesti anarkis. Beneran, hasilnya antara bentrok sama aparat, dicaci masyarakat, sampai dikejar-kejar. Sisanya, demo hanya merugikan masyarakat. Lain kali demonya pas sudah dalam ruangan saja, silakan teriak-teriak dan saling hantam di sana.

Namun toh sudah terjadi. Lain kali, ngga perlu lah lakukan ini. Pilih cara yang elegan untuk perjuangan, jangan cara putus asa yang hanya menghasilkan lose-lose solution bagi masyarakat.

Kenapa sih dokter-dokter kok demo?

Ah, rasanya tak lengkap kalau saya tak cerita kasus sebelumnya, yang hanya saya ketahui sedikit-sedikit saja. Tersebutlah dokter Ayu, yang dituntut karena tindakan malpraktiknya, yang mengakibatkan kemarian pasiennya. Dari berita Tempo, dokter Ayu tidak memeriksa dahulu keadaan jantung pasien, sehingga tak tahu kalau ada masalah di jantungnya. Kemudian dokter Ayu juga tidak meminta ijin keluarga, saat akan mengoperasi pasien.

Pihak rumah sakit bilang, pasien ini limpahan dari rumah sakit lain. Pada rumah sakit sebelumnya, pasien telah dibuka perutnya sebesar 8 cm untuk melihat kondisi bayi. Begitu masuk rumah sakit tempat Dokter Ayu bertugas jam 7 pagi, ia baru dioperasi jam 22. Sehingga bertambahnya resiko pasien merupakan akumulasi dari pelayanan buruk dua rumah sakit tersebut.

Jadi, bukan salah dokternya?

Kalau saya baca dari kronologisnya, mestinya dokter atau pihak rumah sakit bisa untuk melakukan semua cek rutin yang diperlukan dan meminta ijin pada keluarga pasien. Pengadilanpun berpendapat sama, sehingga akhirnya dokter Ayu dipenjara.

Kalau kita fokus pada masalah ini saja, maka keputusan pengadilan sudah benar. Jadi besar, karena setelah itu muncul banyak kasus (yang diduga) malpraktik, namun karena tiadanya tuntutan terhadap dokter maupun rumah sakit, maka dianggap tidak ada kasus. Paling yang ada omelan dari pihak keluarga, dan diamnya pihak dokter atau rumah sakit.

Kenapa dugaan malpraktik ini marak terjadi?

Pertama, dokter dan rumah sakit tidak menjalankan prosedur yang seharusnya.
Seperti dalam kasus dokter Ayu, hal-hal seperti ini akan mudah sekali menjadi celah untuk mengajukan tuntutan. Dokter memang bukan dewa, yang bisa menyembuhkan segala. Namun asalkan mengikuti prosedur, saya rasa pihak keluarga pasienpun akan pikir-pikir kalau mau mengajukan tuntutan atas kekecewaannya pada kinerja dokter.

Melakukan prosedur bukan hanya berusaha menutup celah tuntutan, namun terlebih pada segala daya upaya dokter untuk menyembuhkan pasien. Prosedur dibuat, tentu ada alasannya dan berdasarkan dari pengalaman serta pengetahuan yang luas. Jadi, ikuti dan taati dulu prosedurnya.

Kedua, komunikasi yang buruk antara dokter dan keluarga pasien.
Sering saya dengar keluhan terhadap dokter X karena sikapnya yang tertutup, judes, dan pelit informasi. Padahal keluarga pasien ini sudah cemas, ingin cerita dan bertanya-tanya, tapi dicuekin oleh dokternya. Jadi ilfil, ngga berani tanya, dan ngomel di belakang.

Akibatnya, begitu ada kejadian, meledaklah amarahnya. Begitu dokternya mau menjelaskan, sudah terlambat. Keluarga pasien sudah terlanjur kecewa, sehingga apapun yang diungkapkan jadi percuma.

20131128-034708.jpg

Karena itu, sebaiknya ada komunikasi yang baik antara dokter dan keluarga pasien. Memang dokter kadang ramai sekali antriannya, sehingga tidak ada waktu untuk berbincang-bincang menenangkan. Tapi sikap yang ramah, akan membuat keluarga pasien lebih terbuka pada penjelasan dosen. Mengenai waktu yang sedikit, bisa disikapi dengan menyediakan tulisan yang direkomendasikan agar keluarga pasien bisa membaca sendiri, atau dokter jaga yang bisa menjelaskan secara umum pertanyaan-pertanyaan pasien. Kondisi di Indonesia dan luar negeri memang beda, dan saya sadari mungkin yang di sini lebih judes karena banyak tuntutan lainnya, dengan kondisi yang memprihatinkan. Namun komunikasi tak perlu banyak dana, sehingga mestinya bisa dilakukan.

Ketiga, peralatan medis yang tak lengkap.
Hal ini juga dijadikan alasan jika ada pasien tak tertangani yang mengakibatkan kematian. Kalau seperti ini keluarga pasien tak bisa apa-apa, terlebih kalau dia ada keterbatasan dana, sehingga pilihannya adalah pada rumah sakit yang tidak lengkap. Namun jika dana cukup, penting untuk mencari tahu apakah rumah sakit itu punya peralatan lengkap dan dokter yang kompeten.

Kadang saat darurat, kita tak akan sempat memikirkannya. Itulah pentingnya mencari tahu saat keadaan normal, fasilitas apa yang tersedia di rumah sakit terdekat, karena itulah tujuan kita saat keadaan darurat terjadi. Bisa juga saat sudah terlanjur masuk sana, cerewetlah bertanya tentang keberadaan peralatannya, dan harus berani pindah saat dirasa peralatan kurang lengkap dan pasien harus segera mendapat penanganan.

Demo kemarin, selain memperjuangkan dokter Ayu, juga muncul protes atas kondisi yang terjadi di lapangan. Biasanya soal dana, soal aturan pemerintah, dan soal politisasi. Kalau yang diprotes adalah pemerintah, mestinya ada jalur yang lebih tepat, daripada berpanas-panas memacetkan jalan, dan malah memperburuk citra seluruh dokter di indonesia, karena selain semua keburukan dokter jadi terblow up di media, tuduhan bahwa dokter hanya mementingkan diri tanpa mengindahkan pasien jadi terbukti.

Padahal banyak dokter-dokter yang memang full mengabdi. Dokter di pedalaman, dokter di puskesmas di kecamatan, dokter yang buka praktik sendiri untuk melayani rakyat kecil. Masih banyak dokter yang disayangi pasiennya, sehingga saya yakin saat seorang dokter difitnah dengan dugaan malpraktik, orang-orang ini yang akan memberikan kesaksian berkebalikan, bahwa dokter ini yang telah berusaha keras menyelamatkan mereka.

Dokter juga manusia, dokter juga bukan dewa.
Karena itu sebagai sesama manusia, meskipun yang satu bisa menyembuhkan, memperlakukan pasien dengan selayaknya sudah kewajiban para dokter.

***
IndriHapsari
Gambar : pinterest.com/pin/335518240960576869/
pinterest.com/pin/96475616991609615/

6 comments

  1. saya punya dokter langganan yang baaaiiiik sekali. Namanya bu Panca. Bisa konsul detail, saat darurat bs dihubungi via telon, padahal pasien dia banyak. Pernah si ndul kena DB, aku panik dan menghubunginya lewat telf. Dia yg datang kerumah, periksa lalu buat rujukan. Krn hari itu pas tgl merah.*ga semua dokter tdk baik, walau memang ada. Oknum bukanlah komunitas, hehehe, jangan digebyah uyah.

  2. keren tuh dokter… udah dipuji dari jaman masa eyang saya…….musti jadi nama jalan atau rs atau apalah disolo…begitu fenomenalnya.. disolo ada juga dokter lain yang sangat terkenal model begitu juga….dokter tunjung………..

  3. Kenapa para dokter dipuskesmas kebanyakan jutek,pelit senyum,tidak mau berlama2 mendengar konsultasi pasien,

    Apa tuntutan kerja mereka tinggi sedang gaji minim dan biaya pendidikannya mencekik.Jadinya mereka melayani pasien asal2an sebagai pelampiasan kekecewaan mereka pada kebijaksanaan negara dal hal dunia kesehatan.

    pekerjaan dokter sekalipun soal kemanusiaan,tapi mereka tetap berhak dapat kehidupan layak seperti gaji yang manusiawi dan jam kerja yang manusiawi.Bukan menuntut mereka terus untuk mengabdi tanpa imbalan.

    Ini pendapat saya orang awam,mohon koreksinya.

    • Aduh, jgn minta sy koreksi dong, sy ya sama posisinya kaya Raisha, pasien. Kebetulan ayah sy yg dokter 🙂

      Kalau soal sikap, mungkin selain dr kepribadian, jg kebiasaan posisi mereka adalah yg lebih ahli dei pasien2nya yg sangat membutuhkannya, jd cenderung memerintah dan mengharuskan *iyalah, mau sembuh ngga? 🙂 Kalau dokternya lemah, ntar pasien ngga nurut lagi atau membantah terus jd jadwal konsul tambah lama.

      Namun sikap permisif dengan keramahan mestinya tidak perlu dibenturkan. Dokter ramah dan tegas, itu idaman pasien. Sy juga menganggap, gaji dan keramahan itu semestinya tdk berkorelasi. Memangnya kalau dibayar rendah jd berhak bentak2 pasien? Kalau pasiennya gratisan lalu pantas diabaikan? Sebenarnya ada sumber pendapatan lain yg bisa diterapkan yaitu buka praktik sendiri, menjadi peneliti, atau bekerja sama dengan perusahaan.

      Alangkah baiknya jika dokter2 yg sdh memiliki jabatan dpt mempengaruhi sistem agar menyediakan fasilitas kesehatan yg lebih layak. Atau saling membantu antar dokter, bukan memperkaya diri sendiri. Sementara pelayanan ke masyarakat tetap jalan, krn hal itu yg utama.

      Semoga pendapat sy yg awam ini bs diterima ya 🙂

Leave a reply to indrihapsari Cancel reply