Lisa terpekur saat membaca kalimat awal dalam email yang dikirimkan Sam.
‘Kami tiba di Mogadishu.’
Lisa memejamkan mata. Ini bukan main-main, Sam! Mereka bilang disana sarang perompak. Dan kini Sam justru mendatangi markas tersebut, dengan sukarela.
‘Mereka menyuruhku menggunakan celana boxer – kalau boleh kubilang begitu – khusus, untuk melindungi alat vitalku dari serpihan peluru.’
Suasana di sana sungguh kacau. Kota itu seperti kota mati! Lisa pernah melihatnya di televisi. Mogadishu, kota di pesisir Somalia itu sudah dua belas tahun tak berpenghuni. Sering terjadi bentrokan antara perompak dan pasukan PBB.
Sam pasti lupa cerita, ia juga mengenakan rompi anti peluru. Celana itu memang tak bisa mencegah peluru, namun setidaknya, bagian yang ‘itu’ akan aman jika – mungkin – salah satu pahanya terkena peluru nyasar.
Lisa bergidik.
Samku!
‘Setiap hari para tentara ini harus patroli keliling kota, dengan ancaman ledakan dimana-mana. Mulai dari bom mobil, bom dalam paket, atau bom bunuh diri.’
Memang khas Sam. Ia tak pernah bermanis-manis di tiap emailnya saat sedang bertugas begini. Mana kata mesra yang biasa diumbar pasangan lainnya. Mungkin hanya akhir emailnya saja yang menunjukkan perhatiannya, ‘Jangan terlalu capek’. Sudah, itu saja.
Namun yang Lisa bisa jamin, Sam selalu jujur. Ia bercerita apa adanya, ia berusaha menjaga sikapnya, dan – yang terpenting – ia memelihara cintanya. Oh tentu cinta yang dipahami Sam bukan kalimat-kalimat puitis bak pujangga yang biasa ditebar para pria. Namun sikap yang jantan, berani melindungi dan memperjuangkan cintanya, demi mempertahankan Lisa.
‘Dengan tekanan seperti itu, kau bisa bayangkan betapa mengerikannya hidup para tentara ini! Mereka dikirim dari negara mereka, Uganda dan Burundi, untuk menghadapi resiko tewas di negeri yang bukan tanah air mereka.’
Pengorbanan, ya Sam? Kenapa ia tak memilih jadi wartawan gosip saja daripada jadi wartawan perang? Ia cukup memantau forum-forum gosip yang bertebaran di internet, mencoba menganalisis gosip underground, dan kemudian membuktikannya. Semua di Jakarta, dan semua berhubungan dengan kemewahan. Tentu ia akan lebih terpelihara hidupnya.
Namun ia memutuskan untuk selalu terjun ke daerah konflik. Aceh dengan GAM-nya, Tragedi Poso, dua etnik yang berseteru di Kalimantan, kudeta di Myanmar, ketegangan di perbatasan Nepal dan China, telah mewarnai kisah manis hubungan mereka.
Ya, saat dekat begini, Sam sangat manis. Dari sosok yang angkuh dan arogan seperti itu, ia bisa bermanja-manja meletakkan kepalanya di pangkuan Lisa. Lalu Lisa akan membelai lembut rambutnya, sampai Sam jatuh tertidur. Persis seperti seekor anak kucing yang manis. Kalau sudah begitu Lisa mulai mengamati wajah kekasihnya. Garis rahang yang keras, alis mata tebal dan hidung yang mancung. Kulitnya kecoklatan diterpa mentari dari daerah-daerah yang dikunjunginya. Bibirnya menghitam karena nikotin. Bibir yang kerap mesra bercumbu di sepanjang pertemuan mereka.
Rasa rindu itu mulai menyusup. Rasa yang selalu menguntitnya meski mereka saling jauh.
‘Kami ke garis depan, menyaksikan para tentara yang berjaga dua puluh empat jam, dengan artileri mereka. Mengamati di kejauhan, adakah yang mencurigakan.’
Selalu menantang bahaya! keluh Lisa. Ia selalu merasa lega ketika email-email seperti ini bisa datang dengan waktu yang berbeda-beda, namun berikutnya ia cemas setelah selesai membacanya. Tapi apalagi yang lebih menyiksa, selain tak mendapat kabar dari kekasihmu tercinta?
‘Kau pernah dengar Emirates?’
Lisa mengernyit. Perusahaan penerbangan yang di Dubai itukah?
‘Ternyata itu adalah nama stadion di Mogadishu. Baru-baru ini para tentara berhasil merebutnya kembali dari para perompak. Mereka menggunakannya sebagai markas, sekaligus tempat mengeksekusi tawanan. Tawanan mereka benamkan sampai setinggi leher, lalu dari tempat duduk penonton, mereka akan melempari tawanan itu dengan batu. Hingga tewas.’
Sungguh aneh cara Sam bercerita. Ia bisa dengan piawai menyembunyikan emosinya. Kalimatnya terasa datar, khas reportase. Namun ia mampu mempersembahkan reportasenya dengan berimbang, sekaligus menciptakan efek beragam ke pembacanya, tanpa terkesan memihak. Efeknya bisa senang, sedih, geram, atau ngeri seperti email yang saat ini terpampang di layar monitor.
‘Untuk sementara aku tak bisa menghubungimu seperti biasa. Email ini kutuliskan dalam bentuk file, lalu kutitipkan ke Ali yang akan kembali ke Kairo. Mereka melarang seluruh alat komunikasi digunakan di markas, kecuali memang yang didesain khusus untuk anti sadap. Kemarin ada penyusup yang ditembak mati. Ia membawa GPS.’
Jadi, Sam berada di suatu tempat di Mogadishu, yang tak bisa dilacaknya. Sam juga membawa cinta Lisa – separuh – yang kini mengkerut ditinggal separuh lainnya.
(bersambung)
***
IndriHapsari
Gambar : cnn.com
Serial Cara Tuhan Bercanda