Hasil dari browsing sana sini tentang dunia kepenulisan, ngga sengaja dan sudah lama saya melakukannya, ternyata untuk menjadi seorang penulis yang idealis itu mesti dibarengi dengan kecerdikan. Jadi jangan lugu, polos, percayaan. Begitu ada apa-apa, kaget dan koar-koar. Katanya belum pengalaman. Ya, kalau begitu mulai sekarang coba deh membuka diri terhadap informasi.
Saya mengamati, dari sisi penulis, ada tiga hal yang harus diwaspadai. Yang pertama adalah plagiator, yang kedua adalah penyelenggara event penulisan, dan yang ketiga adalah penerbit.
Saya sudah beberapa kali menghadapi plagiator. Internet memang punya dua sisi mata pedang. Sisi pertama, karya kita jadi dikenal banyak orang, gampang diakses, gampang diapresiasi. Namun sisi lainnya adalah karya tersebut jadi gampang diplagiasi, dicopy paste, atau dimodifikasi, dipadukan dengan yang lain karena tinggal ngeklik saja. Memang ada teknik anti copas, tapi masih bisa diakali. Jadi, kalau kita menayangkan karya tulis di internet, ya siap-siap aja diambil orang yang maunya memanfaatkan. Ngga punya kemampuan, tapi ingin cepat terkenal.
Dan tanggapan terhadap kasus plagiasi ini beragam lo. Ada yang menolak, tapi ada juga yang memaklumi. Ya karena itu tadi, berani tayang, ya harus berani diduplikat. Kemudian malah ada yang bangga kalau karyanya diplagiasi, karena itu berarti karyanya cukup menarik. Yang lainnya menganggap plagiasi sebagai proses meniru, sebelum menjadi lebih baik.
Respon saya sebagai penulis tentu menolak plagiasi tersebut. Karya saya diduplikat di blognya, lalu diakui bahwa itu adalah karyanya. Karya saya ada juga yang nampang di blog orang lain, tapi ia menyebut nama, dan ada juga yang menyertakan linknya. Buat saya kalau seperti itu bukan masalah. Tapi mengakui hasil karya orang lain sebagai miliknya, saya kira itu tindakan pengecut yang pastilah bikin dosa.
Hargailah karya kita sendiri, dengan cara tidak membiarkan orang lain mencurinya. Jika ada yang memungut tanpa ijin, ya harus diperjuangkan. Itu namanya menghargai potensi diri. Kemudian masalah proses meniru, saya kira menirupun ada etikanya kan? Tak masalah jika karya kita menjadi inspirasi bagi yang lain, asal ijin dan membuatnya jadi lebih baik. Bukannya stagnan atau malah lebih buruk.
Plagiasipun sudah ada yang berbentuk cetak lo. Di satu blog, saya melihat ada perbandingan suatu karya novel, yang ternyata hasil copas berbagai blog traveling. Misal dia cerita tokohnya lagi di Belanda. Karena ngga pernah ke sana, atau ngga tahu cara nulisnya, akhirnya dia ambil mentah-mentah dari kalimat-kalima di blog. Bener deh, di internet ini godaannya banyak banget untuk mencuri. Tinggal kitanya kuat atau ngga. Atau malah desperate karena kalah bagus dengan yang lain. Buat saya, cuek, coba aja. Practices make perfect. Gimana mau bisa, kalau ngga mau coba, dan terus coba?
Bahaya kedua, datang dari penyelenggara event penulisan. Jadi ceritanya ada orang atau lembaga yang mengadakan lomba atau event ngumpulin tulisan dengan satu tema, kemudian setelah deadline, pemenang tidak pernah diumumkan dan panitianya menghilang. Ada juga yang sudah diumumkan, tapi hadiah ngga pernah sampai, atau janji dibukukan, ternyata bohong belaka.
Di nyata ada yang begini, tapi sedikit. Mungkin karena relatif mudah dicari penanggungjawabnya. Tapi kalau di internet, kadang penyelenggaranya aja ngga jelas orangnya, beneran ada apa ngga. Lalu, kalau karya kita sudah kumpul di dia, kemudian dia tiba-tiba kabur gimana? Tahu-tahu karya kita sudah terbit tanpa nama kita di dalamnya, gimana? Mau protes ke siapa? Karena itu penting untuk mengetahui identitas penyelenggara, kualifikasinya, trackrecordnya menyelenggarakan event yang sama. Googling saja, juga masuk ke beberapa komunitas penulis, mungkin ada keterangan di sana. Yang pasti, nama besar biasanya lebih terpercaya.
Nama besar itu juga yang mendasari pemilihan penerbit. Tentu lebih sulit tembusnya naskah kita, karena syaratnya pasti banyak. Tapi dibanding dengan keamanannya, lebih terpercaya. Memang ada juga penerbit kecil yang OK. Cuma kok ya kebetulan yang saya baca infonya ada yang mencemaskan.
Ada penerbit yang mencetak dan menjilid bukunya dengan asal-asalan. Ada yang ngga ngurusin ISBNnya, atau judul buku di cover luar dengan di dalamnya beda. Sudah begitu, kalau ada kesalahan yang diprotes penulisnya, biasanya penyelenggara dan penerbit ini lempar-lemparan kesalahan. Lagi-lagi penulis cuma bisa gigit jari, selain karyanya ada yang menjadi hak milik penerbit (tergantung MoU), distribusi ngga jelas, hasil cetak mengecewakan, si penulis kadang sudah keluar uang untuk menerbitkan bukunya.
Ada yang patungan, supaya buku bisa terbit. Biasanya ini yang karya rame-rame, atau antologi. Supaya bisa terbit, penyelenggara minta iuran dari pengirim karya. Lalu ada juga yang diminta mengganti biaya cetak, tapi setelah uang terkirim, itu buku ngga nyampe ke penulisnya. Dibilangnya sudah habis dipesan teman-teman lain, padahal sudah cek kemana-mana, ternyata belum ada yang terima. Lagian, kalau sudah habis, kenapa ngga cetak lagi. Kan uang sudah diterima?
Daripada kesal bin jadi dosa juga karena nyumpahin orang lain, mending selidiki dengan cermat kita berhubungan dengan siapa. Yang paling sip ya trackrecord itu. Yeah, people changes, but history can tell us about the risk. Terkait dengan ijin tayang, cobalah tegas dengan MoU atau apapun, yang hitam di atas putih. Itu yang jadi bukti kita nanti, termasuk kalau mau bikin rame di forum, komunitas, atau seret ke pengadilan.
Jangan takut berkarya dan mempublikasikannya ya. Waspada itu perlu, dan dunia (kepenulisan) masih ada sisi indahnya kok ^_^
***
indrihapsari
Gambar : rightcopywriter.com
menjadikan seorang penulis sebagai inspirator, tentunya sangat berbeda dengan mplagiat yo Mbak..
Iyah, pasti beda lah hasilnya, dan ngga sembrono mengakui itu sbg karya aslinya 🙂
Saya pernah juga berhadapan sama plagiator. Kayaknya yang namanya plagiator itu emang nggak punya malu. Udah ngambil karya orang lain, ngakuin karya orang lain, masih nggak mau mengakui dan minta maaf waktu dia ketahuan. Emang menyebalkan, tapi semoga aja nggak menjadikan kita takut untuk terus berkaya dan mempublikasikan karya kita. 🙂
Ya Dapurkata,ini soal etika. Dan yang namanya jalan instan itu suatu saat bakal kena batunya. Makasih yaaa ^_^
Sami-sami. ^-^