Dulu, waktu pelajaran bahasa Indonesia, saya diperkenalkan dengan peribahasa ‘Lempar batu sembunyi tangan’. Tanpa diartikan, saya bisa membayangkan maksudnya. Sudah bikin masalah, sembunyi ngga mau mengakui.
Lalu saya mesti bilang apa terhadap saudara-saudara saya sebangsa setanah air, para teroris, yang hobinya menciptakan kehebohan yang lebay, too much, untuk entah apa yang diperjuangkan. Sepertinya sih peribahasa itu cocok untuk mereka, karena ada ngga sih yang petantang petenteng ke kantor polisi, mengakui? Atau datengin deh keluarga korban, jangan lupa dengan gaya jagoannya ya. Pernah ngga mengakui ke tetangga-tetangga, pak RT lah paling ngga, kalau habis membunuh orang? Atau cukup pengecut dengan cara meledakkan diri di keramaian, biar ngga usah pertanggungjawaban ke dunia, cukup ke Tuhan saja (atau setan, mestinya).
Secara psikologis, biasanya mereka yang melakukan amuk itu karena ngga bisa mengungkapkan kekecewaannya, ngga tahu caranya, dan ngga mau belajar pula. Itulah sebabnya kenapa gaul itu penting, sehingga begitu dicuci otak ngga ho-oh aja kaya keledai. Gaul dong..gaul..biar tahu orang bermasyarakat itu ngga bisa sama golongan tertentu saja, ngga bisa dengan modal gertak dan ‘pokoknya..’, ngga bisa dengan bahasa tubuh, emang semua bisa ngerti? Tetap mesti pakai bahasa manusia, karena kita bukanlah hewan.
Trus saya mesti bilang apa juga ke para teroris, atas tindakannya yang sama sekali ngga wow itu? Mau dibahas dari sisi apa juga, tetap aja tindakan mereka salah. Niat baik, yang dilakukan dengan cara tak baik, ngga akan mengubah apapun. Sehingga ya itu tadi, kalau mau eksperimen jangan ke orang lain dong. Coba deh, lakukan tindakan anarkis itu ke yang ngebelain, atau yang ngajarin. Mau ngga, rumahnya dipasangi bom? Mau ngga, anggota keluarganya ditembak di tempat? Bahkan, melakukannya ke negara tempat sang musuh berada juga ngga berani. Maunya main di kandang sendiri. Mending kalau bola, bisa dinikmati. Kalau ini mah bikin rugi!
Sudah gitu, pakai ngga ngaku lagi. Haduh, sudah merugikan orang lain, pakai bawa-bawa ke-‘pecun’-dangannya. Kenapa kok sampai ngga ngaku? Takut ketahuan? Takut, karena tahu itu salah? Lah, kalau gitu jangan lakukan! Kok senang hidup di dalam kekhawatiran. Hidup ini sudah susah teman, ngga usah diperumit dengan menyengsarakan hidup orang lain.
Akhirnya, meski merasa ngga terlalu berguna juga saya nulis ini, karena biasanya bebal sih, dibilangin juga percuma, paling tidak kita tahu, so pity untuk orang-orang kaya gini!
***
IndriHapsari