Rintikan air mengenai kaca depan. Makin lama makin menghebat. Akhirnya menutupi pandangan. Aku menghidupkan wiper, dan mereka untuk sementara tersapu, sebelum akhirnya datang lagi dengan bertubi-tubi.
Lalu terhambat. Ah, entah mengapa di kota ini, hujan sama dengan kemacetan. Karena kendaraan mendadak melambatkan jalannya? Atau karena pengendara motor banyak yang meminggirkan kendaraannya dengan tiba-tiba?
Halte mendadak penuh dengan mereka yang kehujanan. Di depan motor-motor mereka, para pengendara tanpa melepaskan helmnya, memandang pasrah kendaraan yang melaju pelan di depan mereka. Sebagian mengenakan jas hujannya dengan tergesa.
Dulu juga ada yang lupa membawanya.
Pria yang biasanya aktif dalam berbagai kegiatan itu, kini berdiri terdiam tak berdaya, menghadapi derasnya air yang menghujam bumi. Bersidekap, karena ada yang menghambat lajunya. Menyerah, pada kuasa yang menghentikan langkahnya.
Dan entah mengapa, hari itu aku melihatnya. Di tengah kumpulan orang-orang yang ada di halte, dengan sekali lirik aku bisa tahu ia ada di sana. Mungkin Tuhan sedang baik saat itu, seakan ada sinar yang melingkupi dirinya. Adanya dengan cepat menarik perhatianku.
Cepat aku putar balik mobilku. Pelan kukemudikan kini, agar halte itu tak terlewat lagi. Kuparkir di tepi sebelum motor-motor tersebut berkumpul. Kukembangkan payung, dan bergegas melangkah ke tempat ia menunggu.
‘Kak!’ sapaku padanya. Ia nampak kaget ketika aku memanggilnya. ‘Kehujanan?’ Ah ya, selalu ada pertanyaan bodoh yang diungkapkan oleh seorang gadis pada pria yang disukainya.
Ia mengangguk. Alisnya yang tebal bertaut. Iya Kak, aku yang biasa mengamatimu di berbagai rapat yang kita ikuti.
‘Ikut aku, Kak. Motornya taruh disini saja. Ku antar ke rumahmu.’ Oh, selain memberi tahu secara tak langsung, bahwa kau telah mencari tahu rumahnya, kau juga melangkah terlalu jauh. Mengantarkan seorang pria yang baru berani kusapa saat ini. Dan menyuruhnya meninggalkan harta berharganya di sini? Bagus!
Ia tersenyum. Lalu menggeleng. ‘Makasih ya Ve. Aku tunggu saja sampai hujan reda. Baru pulang?’ katanya membuka percakapan. Ah, ia tahu namaku! Awal yang baik. Kini ia mendekatiku. Tingginya, mmm…kira-kira aku sebahunya.
‘Iya Kak. Baru selesai kuliah tadi.’ Hening. Sebelum akhirnya kusambung lagi. ‘Kapan rapat lagi Kak?’ Karena saat rapat itulah aku bisa puas memandangnya. Seorang pemimpin yang bisa mengendalikan anak buahnya. Di balik tubuh kurusnya, ia berkharisma. Kata-kata selalu mengalir tenang dari mulutnya, bijak dan penuh pertimbangan. Sehingga rapat yang sebelumnya penuh gontok-gontokan, berakhir dengan damai bagi semua pihak.
Oh, dan tangannya ini dulu pernah memberi konsumsi rapat kami pada seorang pengemis tua yang selalu mangkal di depan kampus. Bukan pamer, karena aku yang tak sengaja melihatnya. Tangan ini pula yang ikut mengangkat-angkat kursi, saat ia melihat Prof yang sudah sepuh itu ikut menonton pertunjukan kami. Bukan menyuruh anak buahnya, tapi langsung ia yang bertindak.
Dan atas dasar kekaguman itu, aku menikmati setiap percakapan yang kami lakukan saat ini. Menanti hujan reda, yang ku harap tak pernah menunjukkan niatnya untuk memberi jeda. Agar aku bisa menatapnya lebih lama, tanpa harus merasa bersalah. Jika selama ini hanya berani ku melihatnya sembunyi-sembunyi, dan tersipu saat ia balas memandangku, kini aku punya alasan yang kuat untuk berlama-lama melihat matanya yang teduh.
Tawanya. Masih kuingat cara ia tertawa. Mata menyipit, dan tawanya lepas. Seakan sikapnya yang tenang selama ini ikut lenyap. Diam-diam aku pernah memotretnya saat ia terlibat dalam kegiatan outbond. Di sana ia memperlihatkan sisi lain dirinya. Seorang yang menikmati hidupnya, dengan menertawakan kegagalan sesaat setelah tercebur ke kolam. Foto yang kusimpan rapi dalam ponselku, bersama dengan foto-foto lainnya agar tak ada yang mengira, aku sengaja menyimpan fotonya. Namun andai saja foto bisa bicara, mereka bisa memberi tahu foto mana yang paling sering kubuka.
Oh tentu saja aku tahu, aku bertepuk sebelah tangan. Semua ia perlakukan sama,termasuk gadis-gadis yang juga kagum padanya. Selama percakapan itu, aku mengingatkan diri sendiri, bahwa tatapannya, senyumannya, tindakannya menyingkirkan anak rambut dari keningku, hanyalah sikap biasa yang ia berikan ke yang lainnya. Termasuk ketika hujan berhenti, dan ia mengantarkanku kembali ke mobil.
‘Makasih ya, sudah ditemani.’ katanya sambil membukakan pintu. Aku mengangguk. Aku hanya bisa bilang ‘Hati-hati,’ sebelum ku menutup pintu. Menyaksikannya kembali ke motornya, dan pergi meninggalkanku yang masih berkutat menata perasaanku. Menenangkan hati yang masih terasa pedih. Melawan keinginan, karena keadaan.
Oh Tuhan, maafkan aku. Inikah rasanya bersalah, mengkhianati dia yang telah setia menungguku? Baru kali ini kurasa berdosa, telah sengaja mendekati yang lain, padahal ada ia di jauh sana, yang berketetapan hati selalu menanti. Mengapa cinta harus datang setelahnya, Tuhan? Setelah aku mengikat janji, untuk menikah suatu saat dengannya nanti.
Atau..ini cara Tuhan memberitahu, untuk… berhenti? Ia berikanku pilihan untuk melangkah salah, dan kemudian Ia mengingatkanku, akan tingkah lakuku. Menyadarkan sebelum terlampau jauh, bukannya menghukumku. Oh Tuhan, maaf … ikrar kunodai dengan khilaf. Sejak saat itu, aku putuskan tak aktif lagi di kegiatan senat, berkutat dengan buku-buku, mempercepat kelulusanku.
‘Mama, Dede mau pipis…’ Lamunanku hilang seiring dengan permintaan polos itu. Sudah terbangun ia rupanya. ‘Sebentar ya De. Kita cari pom bensin ya..’ kataku menyabarkannya. Dengan cepat aku melirik spion dan memberi tanda untuk berpindah ke jalur kiri. Menyusuri jalan dengan pelan, melewati halte lainnya. Hujan mulai reda, dan menurutku, seharusnya sudah tak ada lagi nostalgia. Hadapi saja yang ada di depan mata, bersiap untuk rencana yang sudah disiapkanNya.
***
‘Sudah reda. Kita jalan lagi ya.’ Panji mengangguk sambil mengenakan helmnya. Aku melangkah menuju motorku, mengeluarkannya dari kepungan motor-motor lain. Dulu, ada gadis yang rela menungguiku saat ku berteduh. Jika tak ada kesempatan itu, mungkin aku hanya bisa memandangnya dari depan, di rapat pleno, saat semua mata memandangku. Sungguh tak nyaman. Belum lagi pada setiap kegiatan, banyak orang yang mengelilingiku. Tak bisa aku mengajaknya mengobrol berduaan. Apalagi waktu kucari tahu, rupanya ia telah bertunangan. Ah, padahal kalau saja masih terbuka kesempatan…
‘Ayah, jalan dong!’ Panji mengingatkanku. Rupanya ia sudah memeluk pinggangku, siap untuk berangkat. Aku menjalankan motorku, meninggalkan halte itu.
***