‘Koko gi ngapain?’ tanyaku sambil mengamati kakak sepupuku yang sibuk menggali tanah di pojokan.
‘Tadi pagi gigi Koko tanggal. Yang atas. Kata Papa kalau copot yang atas, mesti dikubur. Kalau yang bawah, mesti dilempar di atas genting.’ jelasnya sambil tak menghentikan usahanya menggali tanah. Kini tercipta lubang kecil dengan kedalaman satu jengkal tangan.
Dengan senyum puas ia mengeluarkan sesuatu dari kantung celananya. Sebuah tabung plastik, terlihat kapas putih dan sebuah gigi di atasnya. Gigi taring rupanya. Aku jongkok di depannya, melihatnya dengan penuh minat. Tak sadar aku goyang-goyangkan juga gigiku bagian atas, siapa tahu ada yang goyang. Huf. Tidak ada. Hanya dua yang sudah tanggal, menciptakan gua kecil yang lucu saat ku menjulurkan lidah.
Ia meletakkan tabung itu dengan hati-hati. Lalu ditutupnya dengan tanah. Aku ikut membantunya. Kini muncul gundukan kecil di depan kami.
‘Ah, sudah Me. Biar si gigi tenang di sana.’ katanya sambil tersenyum lebar.
‘Kenapa kok mesti dikubur, Ko?’ tanyaku penasaran.
‘Biar dapat duit. Banyaaak. Nanti malam, katanya peri gigi datang, ubah gigi jadi uang.’ katanya sambil tertawa. Wah, aku iri sekaligus penasaran. Berharap ada gigiku yang segera tanggal.
***
Malamnya aku bermimpi. Mungkin karena saking kepinginnya ya. Gigiku tanggal yang atas. Dengan gembira kucuci bersih dari bekas darah. Lalu kucari tabung plastik dan kapas bersih, siap untuk menguburnya.
Dimana harus dikubur?
Ah, di sebelah kuburan gigi Koko saja. Bergegas aku kesana. Gundukannya masih ada. Aku pakai apa ya untuk menggalinya? Ah, batok kelapa ini saja. Aku gali, gali dan gali…kok ngga selesai-selesai sih? Lubangnya masih saja kecil, tanahnya tak bisa tertimbun di samping. Gali, gali, gali…
Sampai aku terbangun. Dengan peluh membanjiri sprei kasur. Aku cek gigiku yang tanggal. Huf. Masih ada. Berarti rencana dapat uang gagal.
***
Aku baru bertemu Koko pada siang hari. Pulang sekolah, tanpa mengganti baju merah putihnya, ia bersemangat sekali membawa ember dan tongkat besi.
‘Ikut ngga?’ katanya sambil nyengir lebar. ‘Nangkap belut!’ katanya sambil mengacungkan tongkat itu.
Mataku berbinar-binar. Pengalaman baru! Aku tak pernah ke sungai. Apalagi menangkap belut!
Kupandang Mami dengan mengiba. Mami sudah tahu mauku. Dengan tegas ia gelengkan kepala. Koko melihatnya.
‘Ayolah, Ai. Biarkan Meme ikut denganku. Ada Eman juga bersamaku.’ Koko berusaha membujuk Mami, sambil menunjuk pembantu laki-lakinya yang selalu mendampinginya. Eman berusia belasan, badannya besar, namun karena sejak kecil mentalnya terganggu, ia diperbantukan di rumah Koko. Lumayan, Koko jadi ada temannya karena semua anggota keluarganya sudah dewasa.
‘Ngga ya James. Cecil ngga boleh ikut menangkap belut. Selain itu, kau mau tangkap dengan apa?’ kata Mami tegas. Ah, lupakan kalau Mami sudah bilang begitu.
‘Pakai ini, Ai. Listrik.’ kata Koko memperlihatkan tongkatnya. Nampak kabel menjulur dari ujung satunya.
‘Hati-hati James. Bahaya.’ nasehat Mami lagi.
Koko nyengir bandel. ‘Aman kok Ai. Kan Papa yang ajarin. Jangan masuk air, kalau sedang dialiri listrik.’ katanya yakin. Mami cuma mengangkat bahunya. Adiknya yang satu ini memang suka aneh-aneh. Menurun pula ke ponakannya.
‘Dadah Meme. Kalau aku dapat, kamu boleh ikut makan.’ katanya sambil beranjak pergi. Aku cuma gigit jari.
***
Terdengar keributan di ruang tengah. Aku terbangun dari tidur siangku. Segera beranjak ke sumber keributan.
Semua orang kini sedang berkerumun di ruang tengah. Beringsut aku menyisip di antara tubuh-tubuh mereka. Mami, sedang berlutut sambil kedua tangannya menekan dada Koko, yang tergeletak di tengah. Matanya menutup. Tangannya terbuka. Tak bergerak.
‘Emaaaan! Kok bisa beginiiii??’ teriak Mami sambil tetap menekan dada Koko dengan selang waktu yang pasti. Eman, berdiri terpekur. Berusaha menjawab pertanyaan meski tak lancar. ‘Airnya..masih ada listriknya. Aku…di pinggir. James…ngga sabar. Ia…masuk ke air…langsung jatuh…listrik…aku matikan.’ Ia masih saja terlihat bingung.
‘Panggil bemo!’ peringah Mami tegas. Kakak-kakak sepupuku yang lain, yang sudah besar-besar, bergegas pergi ke depan. Mencegat bemo yang banyak bersliweran, untuk membawa Koko ke rumah sakit.
***
Selanjutnya aku hanya mengingat potongan-potongan kejadian yang begitu cepat. Papanya Koko pulang dari kantornya, dengan wajah pucat. Mamanya, yang sudah lama tak tinggal bersamanya, kali ini datang dengan berurai air mata. Kakak-kakaknya, semua menangis menggerung-gerung, melihat adik kesayangannya sudah hilang nyawa.
Aku sendiri melihat Koko untuk terakhir kali, saat kami mengelilinginya, sambil bernyanyi. Nyanyian penuh pengharapan, Pak Pendeta juga datang. Namun tetap saja, ada isak tangis yang tersembunyi, terrmasuk Mami yang diam-diam mengusap pipinya dengan sapu tangan. Aku sendiri melirik Koko, yang nampak gagah dengan jas hitam, dan bunga putih di dada. Sayang ia tak bisa lagi tertawa. Itu saja yang kulihat, sampai peti ditutup, dan mereka membawa dia entah kemana.
Mami melarangku ikut serta. Jadilah aku di sini, di antara kursi-kursi kosong yang ditinggal tamu. Ada beberapa pekerja, namun mereka di dapur semua. Tiba-tiba aku ingat. Gigi Koko! Akankah sudah berubah menjadi uang?
Bergegas aku ke pojokan. Gundukan itu pasti masih ada. Nah, itu dia! Tak sabar aku menggalinya. Menggunakan kepingan genting yang ada di sekitarnya. Eh..dimana..dimana…kok sudah lama aku menggali tak ketemu juga? Rasanya Koko tak menggali sedalam ini deh…
‘Kau mencari ini?’ kata sebuah suara.
Aku menoleh. Eman. Sudah berdiri di belakangku sambil mengacungkan gigi itu.
***
cernak yg sedih š¦
*cernak=cerita anak
He-eh mbak, tragis karena urusan sepele š¦