Sayangku,
Perempuan seperti apa yang kau sukai?
Yang cantik, seksi, lembut namun sekaligus menggoda?
Akankah dia, yang kutemukan wajahnya di telepon genggammu, memenuhi semua syarat itu?
Maaf jika kini aku tak secantik dulu. Dulu kau sering rayu aku dengan kata itu, dan membuatku tersipu. Kini kau tak pernah lagi memujiku. Ya, mungkin karena berkurang kecantikanku.
Aku lebih memilih mempercepat urusan dandanku, untuk mengganti baju si kembar, memoles sedikit bedak pada wajah mereka, dan membentuk kunciran yang lucu agar mereka terlihat menggemaskan.
Maafkan aku jika sepulang kau kerja, kau hanya menemui seorang istri berbalut daster, dengan wajah lelahnya menyambutmu di rumah. Sungguh, aku berusaha membersihkan diri dulu sebelum kau pulang, agar saat kusambut kau hanya mencium wangi sabun dari tubuhku, bukan keringat setelah menyetrika atau bau bawang sisa memasak hari ini.
Maaf jika tubuhku tak semolek dulu. Setelah melahirkan anak-anak kita, kesibukan sebagai ibu rumah tangga makin menerpa. Aku lebih memilih mengerjakan semua pekerjaan rumah tangga dan tinggal di rumah, daripada ke pusat kebugaran untuk mempercantik tubuh. Aku pikir mengepel dan mengejar-ngejar si kembar termasuk olahraga, namun tentu tak terarah pembentukannya.
Maaf jika telapak tanganku tak terasa mulus lagi, akibat semua kegiatan mencuci. Jika tak sanggup lagi kupelihara rambut panjang, karena lebih praktis perawatan untuk rambut pendek. Atau mungkin kau juga tak bersemangat melihat gaya berpakaianku yang biasa saja, tak menonjolkan lekuk tubuh atau terbuka? Aku hanya menjaga pandangan mereka agar tak mengarah padaku, karena aku istrimu, sudah jadi milikmu, bukan milik bersama.
Maaf atas waktu yang serba terburu-buru, saat ada kesempatan untuk berdua. Sebenarnya kita begini hanya sementara saja, sampai anak-anak memasuki usia sekolah, kita akan lebih punya waktu untuk bersama.
Ah, menggoda..mana bisa kulakukan itu. Bukankah saat kau meminangku, kau katakan kau berani lakukan itu karena sifatku yang malu-malu, bisa menerimamu dan mengikutimu sebagai imam? Dan kini kau harapkan aku untuk untuk menjadi penggoda? Sungguh, itu bukan aku. Aku hanya dapat mengikuti maumu.
Namun sayangku, apa itu semua bisa dijadikan alasan untuk mencari perhatian dari wanita lain? Apa kekuranganku kau jadikan kesempatan untuk mendapatkan perhatian dari para perempuan? Kenapa bukan dengan berusaha memperbaiki aku? Kenapa tidak dengan membicarakannya denganku, agar ku dapat membuat diriku sesuai dengan yang kau mau? Yang mana yang tak kau suka? Dan, mengapa tak kau bantu aku melewati ini semua?
Atau kau hanya ingin manisku saja? Dan saat ku berubah menjadi lebih buruk, tak terpikirkah olehmu, bahwa kau ikut andil di dalamnya? Saat ku berusaha menghemat uang yang kau berikan, dengan mengerjakan semuanya sendiri, tak menggunakan jasa orang lain? Aku berusaha tak meminta uang untuk belanja baju, make up dan sepatu karena uang yang kau berikan selalu habis untuk belanja sehari-hari. Kau berharap anak-anak dapat membanggakan kita dan kau ingin aku menjaminnya. Maka semua urusan anak-anak juga aku yang mengurusnya, meski yang kau lakukan tiap pulang kerja hanya bertanya ‘Anak-anak gimana?’
Ah ya, aku jadi ingin tahu, apakah alasanmu pulang malam selalu untuk kerja? Atau dinas luar kota yang sering sekali kau lakukan akhir-akhir ini? Atau kepergianmu yang mendadak setelah menerima telepon dan kau terima dengan gugup? Memang sih dari Pak Bambang, Pak Joko, Pak Wahid dan entah siapa lagi, yang aku juga tak yakin itu rekan kantormu.
Lalu kenapa sekarang uang belanja harus kuminta dulu, tidak otomatis kau berikan, dan kini disertai gerutuan? Apakah uangmu habis untuk membelikannya baju, sepatu dan make up? Kulihat ia cukup muda dengan dandanan yang luar biasa. Ah, tak kusangka seleramu berubah, dari perempuan sederhana menjadi bermewah-mewah.
Kadang untuk membeli susu si kembar aku harus menunggumu pulang kerja dan meminta uang. Sementara mereka kuberi teh manis lebih dahulu, itupun kalau gula masih ada. Ciumanmu untuk mereka kini jarang kau berikan, sering mereka sudah terlelap saat kau pulang. Ah, apalagi ciuman untukku, rasanya tak lagi kau berikan. Bahkan kulihat kau agak menghindariku.
Sayangku, perempuan seperti apa yang kau suka?
Dulu aku adalah perempuanmu. Apakah kini tetap sama?
Kuberi kesempatan kau untuk memikirkannya. Jika kau telah sadari kemana arahmu melangkah, temui aku dan si kembar di rumah orang tuaku. Apapun keputusanmu, aku akan mengikutinya. Namun tolong jangan buat aku menjadi bukan satu-satunya perempuan yang kau suka.
Hanya aku, atau tidak sama sekali.
Istrimu.
***
sumber gambar : pinterest.com