Ditolehin

20130401-211158.jpg

Malam belum lagi usai. Suasana masih gelap gulita. Dengan keranjang cucian di tangan, aku melangkah perlahan menuju halaman belakang. Pelan kubuka pintu dapur, dan sengaja kubuka, agar cahaya lampu dari ruang tengah mencapai sumur.

Mas akan menggunakan seragamnya lagi nanti siang. Berhubung seragam satunya sedang dipinjam temannya yang mendapat shift jaga malam, jadilah ia hanya mengandalkan seragam ini saja. Tiap pagi biasanya aku bangun jam lima, kali ini jam tiga aku harus meninggalkan Mas dan Kei yang sedang terlelap, untuk mencuci baju.

Bulan masih menampakkan sinarnya yang lembut. Aku mulai menimba air sumur. Brrr..dinginnya! Menggunakan papan penggilasan warisan Ibu, aku mulai menyikat seragam Mas lebih dulu. Lainnya menyusul tak apa, yang penting seragam Mas bisa kering nanti siang.

Sambil menyikat baju, iseng aku mulai mengamati rumah tetangga belakang. Rumah kami saling membelakangi. Rumah belakang ini termasuk rumah gedong. Besaaaar sekali. Sudah besar, ditingkat lagi. Meskipun dihalangi tembok, sosok rumah itu menjulang dalam kegelapan.

Yang punya Bu Maemunah, orang terkaya di kampung kami. Dari jaman Ibu tinggal sendiri, sampai kami sekeluarga menemani, Bu Maemunah selalu hidup berkelimpahan. Selain rumahnya paling besar, ia juga punya mobil. Bajunya bagus-bagus, dan perhiasan emasnya juga banyak.

Sayang orangnya tertutup. Satu-satunya kesempatan melihatnya keluar adalah saat ia berbelanja di pagi hari. Ciri khasnya, tangannya selalu di belakang, seperti posisi istirahat di tempat, sambil berkeliling melihat-lihat dagangan yang digelar. Sudah, itu saja. Karena itu kesempatan untuk ngobrol dengannya ya waktu pagi hari. Itupun kalau dia mau ya, karena Bu Maemunah sendiri orangnya tertutup.

Ibu bilang, Bu Maemunah menikah sudah tiga kali. Ketiga suaminya meninggal mendadak, semuanya meninggal di rumah tersebut. Tragis ya. Dengan begitu banyaknya harta yang ia punya, dan banyaknya laki-laki yang terpikat oleh hartanya, cepat sekali ia ditinggal pergi. Kini kabarnya ia akan menikah dengan Pak Sardi, tukang becak yang biasa mangkal di pos ronda. Entah kisahnya bagaimana, tapi kabar itu sudah tersebar luas. Tentu saja dengan wanti-wanti ‘Hati-hati mungkin Pak Sardi akan jadi korban keempat.’

Aku mulai merinding membayangkan apa yang terjadi di rumah itu. Kekayaan Bu Maemunah yang luar biasa, meski tak nampak ia bekerja. Kematian misterius para suaminya. Tak terasa bulu kudukku mulai berdiri.

Sayup kudengar suara anak kecil sedang bermain di ruang tengah. Kami memang menaruh mainan Kei di sana, agar ia bebas bermain. Hmm..Kei sudah bangun sepagi ini? Pasti Mas ngga sadar deh, kini Kei sudah bisa membuka pintu kamar sendiri.

Saat membilas baju, hawa dingin makin menusuk. Sementara suara anak kecil makin terdengar, dan…kok kayanya ada banyak ya. Ngga cuma Kei?

‘Kei?’ seruku tertahan. Aku menoleh ke pintu. Sepi. Tak ada jawaban. Suasana kembali senyap. Diliputi keraguan, harus mengecek ke dalam atau melanjutkan cucian, aku lebih memilih yang terakhir. Menganggap semua hanya salah dengar, dan mungkin khayalan gara-gara mikirin Bu Maemunah.

Aku kembali mengambil baju yang lain dari air rendaman. Hawa dingin kembali menusuk. Kini..lebih membuat bulu kudukku tegak. Haduh…rasa ini…

Dan suara anak-anak kecil terdengar lagi. Saling bercakap-cakap, makin lama makin dekat…dekat..dekat..dan aku bisa merasakan..mereka tepat di belakangku!

Tanpa berani menoleh, aku hanya bisa menunduk menatap baju yang tergeletak pasrah di papan penggilasan. Dengan sudut mataku kulihat seorang anak melewatiku. Bertubuh kecil, menggunakan pakaian layaknya anak-anak, dan…gundul! Dari belakang kulihat ia terus berjalan…menuju tembok…dan…menghilang!

Kutahan pekikanku. Karena ada anak kedua, dengan baju yang berbeda namun sama gundulnya, melakukan hal yang sama. Menembus tembok, menuju rumah Bu Maemunah. Yang ketiga muncul juga, gundulnya sama, menghilang. Ada lagi yang keempat, gundul, lenyap!

Jantungku berdetak kencang. Ingin lari, tapi tak bisa. Aku masih merasakannya!

Dan muncullah yang kelima. Berjalan tenang, menyusul rekannya. Kali ini kuberanikan diri menatap punggungnya. Tak dinyana…ia menoleh!!

Argh! Argh! Aaaaaaarghhhhhh!!

***
sumber gambar : twilightsaga.wikia.com

2 comments

Komen? Silakan^^

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s