Bukan Hanya Sekadar

Ada apa ini, kok lebay? Sudah pakai ‘sekedar’, masih ditambah ‘hanya’.

Menulis, adalah kegiatan mengeluarkan apa yang selama ini kita simpan. Entah sumbernya dari bacaan, informasi yang kita dengar, hasil diskusi, pengamatan, dan semuanya berproses di otak kita, untuk disusun kalimatnya, dan dituliskan sesuai dengan gaya dan teknik penulisan yang selama ini kita ketahui.

20130322-024740.jpg

Sehingga sesederhana apapun, sependek apapun, dan sekacau apapun tulisan itu, proses yang dilaluinya cukup panjang. Coba kalau kita menulis yang tidak kita ketahui, isinya adalah kengawuran semata, meskipun kita sedang menulis fiksi. Menulis fiksipun, bukan sekedar modal mengkhayal, namun prosesnya sama saja dengan menulis non fiksi.

Atau coba kita menulis suatu informasi, tanpa mengolahnya di otak. Maka yang muncul adalah kalimat-kalimat yang kaku, yang loncat kesana kemari dan sulit diikuti pembaca, karena kita sekedar menuliskannya. Sama seperti anak SD sedang latihan mencongak.

Apa yang kita tuliskan, merupakan bagian dari mistikum. Menurut Pramoedya Ananta Toer dari beberapa blog yang saya baca, Mistikum adalah kebebasan pribadi yang bersifat padat, yang melepaskan pribadi dan dunia di luarnya di mana si penulis “membuka” dirinya lebar- lebar bagi Kehidupan. Sederhananya adalah bahwa semua orang memiliki pengalaman batin. Tak mungkin ada orang yang tak memiliki pengalaman batin, karena setiap hari dia bergerak. Pengalaman batin itu akan bergolak di dalam diri seorang penulis, lalu berdialog dengan alam, berdialog dengan Sang Kreator, lalu menjelma sebuah tulisan.

Hidup kita terdiri dari tiga matra: matra masa lalu, matra masa sekarang, dan matra masa mendatang. Kreasi tak lain dari wujud baru hasil perpaduan dari data tertentu yang tersimpan dalam masa lalu. Setiap pribadi kaya akan masa lalu, maka secara teoritis setiap orang mempunyai peluang berkreasi. Tinggallah kini faktor pribadi yang menentukan: keberanian, kemauan, disiplin, keyakinan, tanggung jawab, dan kesadaran yang membuatnya berprakarsa tanpa perintah.

Saya melalui masa-masa tidak menghargai tulisan sendiri, dengan sering mengatakan ‘ah, ini hanya sekedar tulisan.’ karena kerjaan saya yang suka ngider ke tulisan teman-teman, sukses membuat saya minder, tulisan saya kok ngga ada apa-apanya ya. Tapi seiring waktu, akhirnya sadar juga, biar remeh temeh seperti itu, ada proses yang harus dilalui. Itu karya asli, bukan copas. Inspirasi bisa datang dari manapun, namun tetap saja ada usaha yang saya lakukan untuk membuatnya menjadi khas saya.

Apakah dengan bangga pada tulisan sendiri, menyebabkan kita tidak berkembang? Ya jangan dong, itulah yang namanya belajar ngga kenal waktu. Mau sampai seterkenal apapun karyanya, tetap harus mengejar ilmu mengenai penulisan, membaca dan mempelajari karya-karya lain, agar kreativitas dan keahlian kita ngga mandeg dan jalan di tempat. Banyak diskusi juga membantu, dan sebaliknya, jangan pelit ilmu pada komunitas. Sampaikan dengan bahasa yang sopan dan ubah menjadi gaya saran, bukan kritikan agar lebih mudah diterima.

Maka mulailah menghargai karya sendiri. Karena kalau bukan kita, lalu siapa lagi?

Semangat nulis ya! ^_^

Short version : Zillions of Knowledge
Referensi:
duniakreatif.multiply.com
http://www.atasangin.com

6 comments

  1. memang lebih terasa menjiwai kalau bikin tulisan sendiri, mbak. karena sering saya larut dalam proses menulis, sampai nggak ingat lagi kiri kanan. feeling spt itu yg nggak akan muncul kalau jadi copasman.

Komen? Silakan^^

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s