‘Cik, saya mau keluar.’
Sambil menunduk Jono mengucapkan kalimat itu. Pelan, tapi telingaku masih bisa menangkapnya. Aku sendiri sedang sibuk mempersiapkan peralatan makan di gerobak saji, sementara Jono telah menyelesaikan tugasnya menata meja dan kursi.
Tacik membelalakkan matanya. ‘Loh, kok sekarang sih Jonooo. Ini depot baru mau buka, lu malah mau minggat. Siapa nanti yang cuci mangkok??’ gumam Tacik kesal.
Jono menggerak-gerakkan kaki kanannya dengan gelisah. Masih tak berani menatap wajah Tacik. ‘Saya mau keluar saja Cik. Tak kuat saya kerja di sini satu minggu ini. Terlalu capek.’ gumamnya lagi.
‘La, terus ngga ada kamu ya kita tambah kerepotan to Jonooo.’
Akhirnya Jono menengadahkan wajahnya. ‘Oya Cik, Eli juga mau keluar.’
Aku terhenyak. Haduh, kehilangan dua pegawai di saat sibuk begini?
Eli, yang rupanya sejak awal sudah mencuri dengar, pelan-pelan muncul dari balik pintu.
‘Eliii!! Bener kamu ya mau keluar??’ bentak Tacik.
Perilaku yang sama. Tidak menatap muka, hanya terdengar suara ‘Iya, Cik.’ cukup menjawab semuanya.
‘Wis…sudah! Daripada kamu ta’ tahan disini malah mbesengut, sana pergi!’ dengan kesal Tacik melangkah ke dalam.
Eli, yang rupanya sudah siap dengan tas perginya, keluar dari pintu sambil membawa tasnya Jono. Walah, sudah sekongkol rupanya…
‘Mas, ta’ pergi dulu ya..’ sapa Jono saat melewatiku. Disalaminya aku, demikian juga dengan Eli. Aku hanya mengangguk, ingin rasanya mengatakan ‘Hei, kok tega sih ninggalin kami?’ atau ‘Memang ngga ada ya, cara keluar yang lebih baik-baik?’, tapi sudahlah. Semua sudah terlanjur. Berarti kini Tacik tak punya pegawai untuk cuci piring, mengantarkan pesanan ke meja pelanggan, dan menyiapkan minuman.
***
Dan benar saja, sekitar pukul 6.30 malam, suasana sibuk terjadi. Berulang kali aku dilirik oleh bapak bermuka masam. Mejanya terletak persis di depan gerobakku, sementara aku sedang memasak mie di tungku besar.
‘Selesainya kapan Mas?’ atau ‘Habis ini gilirannya siapa?’ dan ‘Kok lama?’ begitu kalimat berulang pertanyaannya. Aku hanya mengangguk, sambil tetap berkonsentrasi mempersiapkan sajian. Biasanya Eli membantuku menyiapkan kuah, acar, dan membawanya ke pelanggan. Kini semua kukerjakan sendiri. Belum lagi pelanggan silih berganti yang menyampaikan pesanan, dan pelanggan yang tak sabaran seperti bapak tadi.
Tacik sendiri turun tangan, menyiapkan minuman, membersihkan meja, sesekali membantuku di gerobak. Mbok yang biasanya mengerjakan pekerjaan rumah tangga, kini direkrut dadakan untuk mempersiapkan minuman. Kulihat tangan reyotnya berusaha memeras jeruk. Kasihan juga melihat tubuh bungkuknya bergerak lambat mempersiapkan semua. Kadang ia menghilang ke belakang, untuk mencuci mangkok dan gelas kotor. Om yang biasanya duduk manis di kasir, kini berusaha membantu dengan ikut membersihkan meja pelanggan. Tacik dan Om meski rambutnya telah memutih, mereka berusaha turun tangan, meski tidak cekatan, mengendalikan amarah pelanggan.
Ya, amarah. Menunggu 30 menit dan pesanan belum keluar, sungguh menyebalkan. Apalagi yang dihadapi adalah orang kelaparan, wah, sebelnya dobel! Sampai akhirnya ada seorang pelanggan yang sudah tidak mau duduk lagi, tapi memilih untuk berdiri di samping, mengawasiku menyiapkan semua, dan menyambar mangkok yang sudah selesai kuisi dengan mie dan potongan daging.
‘Eh Ce, yang itu belum ada bawang daunnya. Duduk dulu saja, saya siapkan semuanya.’ kataku mengingatkan. Mangkok masih aku pegang, tapi pelanggan itu juga sedang memegangnya, ingin dibawa langsung ke mejanya.
‘Kesuwen Mas! Ga’ atik bawang!’ katanya segera. Aku menyerah. Kuserahkan mangkok itu padanya. Nanti ngga ada protes soal rasa yang kurang gurih ya…
Akhirnya pesanan untuk masing-masing meja telah selesai. Pelanggan perlahan pulang, setelah membayar ke Om. Sambil melewatiku, mereka kadang menyapa.
‘Enak Mas!’ kata mereka tulus, termasuk bapak bermuka masam tadi.
Ah tentu saja ku balas dengan ‘Maaf ya, lama.’ Mereka menggelengkan kepalanya sambil berkata ‘Ngga apa.’
Waktu berjalan semakin cepat. Depot sudah tutup. Kami membereskan semua perlengkapan. Aku sendiri membereskan gerobak. Sambil bersih-bersih aku mulai berpikir. Apa sih yang membuatku bertahan menjadi tukang masak di sini? Aku lebih senang menyebutnya begitu, malu kalau disebut chef, karena aku bukan anak sekolahan.
Gaji, standar. Capek, iya. Repot, apalagi.
Tapi kepedulian pemilik, Om dan Tacik untuk menolongku, telah menyadarkanku. Kadang pekerjaan itu bukan tujuan, tapi masalah gairah dan lingkungan. Memasak adalah gairahku, sementara aku beruntung bisa kerja bersama Om dan Tacik yang mau turun ke bumi saat ada masalah.
***
Foto : koleksi pribadi