Menulis supaya terkenal?
Berpuisi supaya popular?
Berprosa supaya dapat perhatian?
I used to be like that.
Ketika menulis mengikuti selera pasar.
Ketika berfiksi supaya dianggap kreatif.
Ketika bersastra supaya terkenal dan dikenal.
Dan semua kepopuleran itu adalah harta.
Yang tak dapat dibawa kemana-mana kecuali di fana.
Mengikat, menghisap dan menjerat.
Sampai tak bisa apa-apa.
Sampai melepas yang sudah di tangan.
Sampai menghilangkan yang di hadapan.
Maka menulis menjadi perangkap.
Bagi mereka yang haus popularitas, nikmat dan pujian.
Rating jadi patokan,
Jumlah klik jadi ukuran,
Voting jadi standar.
‘Karyamu bagus,
Atau karyamu ngga bagus.’
Dan terlupakanlah esensi sastra sebagai sarana ekspresi
Sarana aktualisasi diri yang penuh kejujuran
Terpuaskan sampai puncak
Untuk kemudian tak mengenal lagi anti-klimaks
Ketika sastra ikut apa kata orang
Ketika sastra haus penghargaan
Ketika sastra tak mau lagi belajar
Habislah sudah
Yang ada cuma setengah terpuaskan
Sisanya diganti dengan uang dan pujian
Karya saya?
Yang mana ya?
Sudah lupa tuh!
^_^
maka itu akan jadi tiada puasnya
yang satu kepuasan, yang satu kenyamanan ya Pak KT 😀