‘Nanti kau malu’ kataku dingin.
‘Tidak! Aku dapat menghadapinya!’
‘Kau tak akan menyesal?’ tanyaku lagi.
‘Berapa kali kubilang, aku tak peduli pendapat orang!’
Aku mendesah. ‘Baiklah, kita menikah.’
.
.
Sesuatu yang hangat mengalir di bibirku…
***
Di luar orang bersorak sorai menyebut namamu.
‘Mereka selalu menanyakanmu’ katamu.
‘Lalu bagaimana, kau ingin aku keluar?’ tanyaku, bersiap bangkit.
‘Mmm…tidak perlu. Biar aku saja.’ Berikutnya kau membuka pintu, dan aku tetap menunggumu di dalam mobil.
***
Akhir-akhir ini kau jarang mengajakku mengikuti kunjunganmu ke daerah-daerah. Nampaknya masa kampanye ini sangat menyibukkanmu.
‘Aku tidak bisa pulang. Besok mungkin’ katamu lewat telepon.
‘Kau menginap?’ tanyaku.
‘Ya, terpaksa. Hari ini sangat padat’
Penundaan yang kelima dalam bulan ini.
***
Dengan hati-hati aku berjalan menuju mobil yang baru terparkir di garasi, hendak mengambil tasmu yang tertinggal di dalamnya. Kau sedang mandi, dan Pak Sardi sedang beristirahat di dapur setelah perjalanan yang panjang tadi. Kubuka pintu tengah, sekejap bau parfum menyerbak. Parfum wanita. Bukan parfumku.
Kumenunggu sampai kau selesai mandi. Kugamit lenganmu yang masih basah.
‘Mas…’
‘Jangan sekarang dik. Aku capek. Mau istirahat dulu’. Kau melangkah meninggalkanku.
***
‘Pak Joko, ikuti mobil Bapak ya’. Mobil yang dikemudikan Pak Sardi sudah keluar dari pintu gerbang rumah kami. Aku bergegas masuk ke mobil yang ada di garasi. Pak Joko menutup pintu mobil untukku, dan bergegas memacu mobil ke jalan raya.
Akhirnya mobil melambatkan lajunya, dan berhenti. Aku bertanya padanya.
‘Pak Joko, gimana Pak?’
‘Eh…itu Bu…Bapak sedang jalan ke pintu lobby…eh…kok ada mbak Santi ya….eh….aduh bu….Bapak….cium mbak Santi…eh…’ Pak Joko salah tingkah menjawab pertanyaanku.
Kelopak mataku yang tak pernah terbuka ini sudah basah oleh air mata.
***
Katamu kau tak akan malu….
***
.
.