Sudah angan-angan mau ke Museum Fatahillah lagi, setelah sebelumnya gagal masuk karena tutup dan mengalihkannya ke Museum Keramik. Nah sekarang ini sudah dicek dulu kalau museum bakal buka, tapi entah baca dimana ya bukanya jam 9, sementara Museum Wayang yang dekat dengannya buka jam 8. Ya udah kalau gitu ke Museum Wayang dulu. Kita datang sebelum jam 8. Cukup puas untuk tahu kalau lapangan di depan Museum Wayang dan Museum Fatahillah ini rame dengan orang-orang yang naik sepeda, patung manekin yang menemani orang bergaya, dan perpus gratis buat yang mau baca-baca soal Jakarta.
Ketika akhirnya museum dibuka, kita dikenakan biaya 5 ribu untuk dewasa dan 2 ribu untuk anak-anak. Koleksinya cukup beragam mulai dari wayang golek yang gede sampai hand puppet, mulai yang menyenangkan macam Punakawan atau yang serem kaya Sigale-gale, bahannya mulai kulit hingga suket atau rumput. Kalau dari koleksi sih lengkap ya, ada Gatotkaca dalam berbagai versi sesuai suku apa yang membuatnya. Ngga cuma kebudayaan Jawa, Sunda dan Bali, tapi dari luar negeri juga ada meskipun sedikit.
Bangunannya sendiri full kayu, mulai dari dinding hingga lantai. Katanya sih dulu bekas gereja, ada dua lantai tapi di satu level itu dia bisa naik atau turun. Suasananya jadi temaram gitu soalnya lampunya juga ngga terlalu terang. Bahkan ada yang display yang ngga diterangin sehingga kita mesti nebak ini apa sih yang dipajang. Tiap display sudah ada keterangan wayang ini asalnya dari mana, terbuat dari apa, ceritanya apa. Tapi mungkin lebih ok lagi kalau ada audio visual pagelaran wayang gitu bersubtitle Inggris atau Indonesia biar pada ngerti. Trus bisa juga dibuat visualisasi pagelaran wayang dan para pengunjung bisa mencoba memainkannya. Intinya soal kemasan deh.
Selain wayang, ada kumpulan boneka si Unyil dan dua perangkat gamelan yang cuma bisa dilihat dari balik kaca. Sempat kaget lihat ada beberapa kecoak di kamar mandi, kami menutup kunjungan ini dengan membeli beberapa cindera mata dari museum shop.
***
IndriHapsari