Letaknya nyelempit di daerah Pondok Labu. Ancer-ancernya ikutin aja jalan Fatmawati, nanti hampir ujung ada jalan kecil namanya H. Kamang, nah masuk situ deh. Sudah ada kok di Google Map, jadi tinggal ikutin aja.
Museum Layang-layang ini yang punya perorangan, namanya Bu Endang yang menjadi ahli rias. Karena hobi beliau layang-layangx maka dibuatlah bangunan di belakang rumahnya yang lahannya ada 2000 m2. Waktu dulu kita pernah ke Setia Darma Puppet Museum di Ubud juga gitu ceritanya. Yang punya perorangan, penghobi wayang dan karakter lainnya, trus bikin komplek museum untuk menyimpan koleksinya. Pegawainya ada semua buat ngurusin kebun, bangunan, kafe dan guide. Museum nampak sepi dan kaya ngga butuh pengunjung gitu buat balik modal..la horang kaya 😀 Sama juga seperti pas ke kabupaten Lima Puluh Kuto di daerah Bukit Tinggi. Rumah adat Minang yng kita masuki punya seorang pengusaha di Jakarta. Membuka rumah contoh itu lebar-lebar dan gratis, jadi semua orang bisa tahu filosofinya rumah Minang seperti apa.
Jadi, itulah inti kekayaan. Bukan untuk pamer kesana kemari dan bingung menghabiskannya. Dengan membuka museum yang bisa diakses kita-kita yang kere ini, ada sebagian ilmu yang ditransfer, wawasan yang bertambah, yang kayanya kalau kita usaha sendiri ya ngga bakal bisa menyamai koleksinya. Hobi jalan, kebermanfaatan jalan, pahala moga-moga nambah ya 🙂
Kembali ke museum layang-layang, bangunannya model joglo begitu dan terbuka. Awalnya kita beli tiket per orang 15 ribu. Trus dimibta masuk ke ruangan audio visual, bisa duduk apa lesehan. Isinya soal manfaat layang-layang dan kompetisinya. Baru tau layang-layang membantu nelayan menangkap ikan, membantu Wright bersaudara mendesain pesawat pertama, dan memberi ide pada Michael Faraday dan Benjamin Franklin tentang listrik.
Layang-layangpun ada beragam mulai yang mungil 2 centimeter sampai Megaray yang bentuknya seperti stingray yang lebarnya bermeter-meter. Ada yang buntutnya panjang sampai ratusan meter. Festival layang-layang paling rame ya di Bali, itu yg naekin aja mesti belasan orang kaya main tarik tambang.
Di museum ini kita bisa melihat semua jenis layang-layang dengan berbagai ukuran, warna dan bentuk. Sekarang juga ada layang-layang 3 dimensi yang terbuat dari kertas. Ada juga yang terbuat dari daun, polyester, dan kertas. Beragam rekor MURI sudah dicapai oleh museum ini karena rajin juga ikut perlombaan.
Setelah selesai melihat-lihat selanjutnya pengunjing diajari membuat layang-layang. Kerangka dari bambu dan talinya sudah disiapkan, tinggal dilem kertas putihnya lalu diwarnai. Setelah selesai pegawainya akan mengikatkan tali senar dan benang layangannya, siap untuk diterbangkan.
Nah, ini yang paling susah 😀
Dari kecil padahal sudah diajari Bapak main layang-layang di halaman belakang. Tapi ya gitu, selalu Bapak yang naikkan dan saya tinggal megang sambil narik-narik gitu 😀 Boro-boro menaikkan, wong menurunkan aja ngga ngerti. Padahal katanya kalau mau hubungan berhasil harus bisa tarik ulur ya #eh Selama kami disana ada beberapa rombongan keluarga yang hadir untuk mengikuti aktivitas seperti yang kami lakukan. Jangan khawatir, halaman depan cukup luas untuk parkir mobil dan pemandunya juga cukup. Kalau layangannya mau awet bisa piluh yang paket polyester. Selain itu tempat ini juga bisa jadi sarana belajar membatik, membuat keramik atau ketrampilan lainnya. Untuk lebih lengkapnya bisa dilihat pada brosur berikut.
***
IndriHapsari
Ok