Akhirnya, setelah dua bulan bosan mendengar penjelasan si kecil soal museum ini, setiap hari, kami berkesempatan juga mengunjungi museum kereta api Ambarawa dari kota Semarang. Ni anak baper abis, setelah dua tahun kesana museumnya lagi direnovasi. Sejak itu muncul obsesi untuk kesana, plus rajin buka internet dan youtube untuk cari di sana itu ada apa aja, sejarahnya gimana dan apa tipe kereta apinya. Nah, itu yang saban hari diterangkan ke kami 😀
Perjalanan dari Semarang melalui jalan tol Semarang Solo yang saat ini baru nyampe tahap dua, sampai Bawen. Tapi melihat jalan tolnya mulus, panjang, dihubungkan banyak jembatan yang melintasi lembah, dan bayarnya cuma dua belas ribu lima ratus perak…ckckck…terus terang kagum sama pemerintah Jawa Tengah yang bikin akses jadi mudah. Oya infrastruktur jalan begitu masuk Jateng emang bagus, jalannya banyak yang sudah dibeton jadi ngga perlu lagi proyek pengaspalan yang bakal abadi itu *lirik provinsi tetangga*
Kita melintasi Rawa Pening, yang kayanya gede banget ya. Cek di internet, besarnya 2600an hektar. Ckckck…gede amat. Trus ngeliat juga pengamen yang niat banget di perempatan agama. Ada tiga orang berdandan ala-ala ketoprak. Yang satu mainin drum, yang dua nari di depan pas lampu merah. Ah untuk yang gini patut diapresiasi.
Sampai di Museum Kereta Api parkiran sudah penuh, padahal baru jam 9. Beli tiket masuk di luar, tapi kalau mau beli tiket buat naik kereta (‘Ke Tuntang, Ma!’ hapal si kecil :D) harus di dalam. Terburu-buru saya masuk ke halaman museum yang besar, dan ada bangunan mirip stasiun di tengah. Stasiunnya ya khas Belanda gitu, pintu dan jendela tinggi-tinggi, langit-langit yang tinggi. Pembelian tiket dilakukan di dalam, lima puluh ribu seorang kecuali umur di bawah dua. Nama dan umur dicatat, tempat duduk bebas. Tempatnya terbatas, jadi kita dapatnya yang jam dua belas.

Sambil nunggu, kita liatin lokomotif dan gerbong yang ada di sana. Kebanyakan sih kereta uap dengan berbagai model. Kita bebas menaiki dan mencoba kemudi. Di stasiun juga ada barang-barang pajangn seperti alat untuk langsir, telegram, poster-poster. Trus kalau mau lebih ke belakang, ada museum peralatan kereta api, timeline sejarah perkeretaapian dan kegiatan yang dilakukan. Kamar mandi tersedia dan cukup bersih. Ngga ada kafe dan sejenisnya tapi boleh bawa makanan sendiri.

Akhirnya kereta kita datang. Mengangkut tiga gerbong yang masing-masing berisi 40 penumpang, karcis kami dicek sebelum berangkat. Kereta yang tidak berjendala ini berangkat dari Stasiun Ambarawa, hendak menuju Stasiun Toentang. Sepanjang perjalanan setelah sawah-sawah, kami disuguhi pemandangan menakjubkan dari Rawa Pening. Ternyata rel kereta ini membelah sebagian kecil dari Rawa Pening
Trus yang baru tahu juga, ada warung pracangan, penitipan sepeda motor, bahkan rumah tinggal di antara para pemancing dan nelayan yang lazim terlihat. Ckckck ternyata rawa ini bisa ngasih makan banyak orang ya.
Di Stasiun Tuntang, sambil menunggu lokomotifnya langsir, penumpang bergegas turun untuk foto-foto. Setelah lokomotif kembali disambungkan, kami menuju Stasiun Ambarawa kembali melalui jalur yang sama.
***
IndriHapsari
ini kereta bukan yang lewat tanjakan rel bergerigi ya mbak? kayaknya sih saya lebih dari 10 tahun lalu pernah naik.. sampai sekarang sih masih penasaran yang lewat rel bergerigi.. 😀
oya sekarang HTM nya berapa ya mbak?
Hihihi ngga perhatiin, cuma ada contoh rel bergeriginya di samping stasiun. HTMnya sekarang 10 rb dewasa *semoga bener* dan 50 rb utk kereta uap.
Deket rumah nenek saya
Puas dong ya berkunjung ke sini 🙂