
Menurutku, benda yang paling aneh adalah gantungan di depan pintu kamar majikanku. Ya, kau tak salah dengar, gantungan itu berada di dalam rumah, bukan di luar. Ĺonceng angin, begitu anak-anak majikanku menyebutnya. Bentuknya panjang, dengan pipa-pipa yang berjuntai. Banyak ornamen warna merah, dengan tulisan emas di bagian atas. Kau bisa bayangkan, jika mengacu namanya, tak ada angin di dalam rumah yang dapat membunyikannya. Majikanku menolak memindahkannya ke teras depan, seperti pinta anak-anaknya, karena rumah ini peninggalan Papa majikan perempuan. Ia menolak mengubah apa yang sudah diletakkan Papanya di rumah itu.
Aku sangat, sangaaat jarang mendengar ia berbunyi, kecuali pada beberapa kejadian, yang akan kukisahkan disini.
*
Aku meringkuk di bawah meja.
Pertengkaran suami istri. Namun kali ini tak biasa. Hanya satu orang yang banyak bicara. Diselingi bunyi gelas pecah.
“Kok bisa-bisanya, kau kepincut dengan tetangga! Aku ini kurang apa?!” Dan bunyi pecahan lagi.
“Susah payah kau minta aku pada Papa, untuk menyerahkan anaknya pada perantauan tak dikenal! Meski kalian sama-sama berasal dari Tiongkok, tapi Papapun tahu, tak semua orang Tiongkok itu baik!” teriak majikanku perempuan kembali menggema.
“Dan ternyata firasat Papa benar!” Ia kini menangis tersedu. Bunyi tubuhnya dihempaskan ke kursi menghasilkan bunyi berderak. Tangisannya agak tertahan, karena ia kini melanjutkan perkataannya.
“Lalu kau tega meninggalkan kami, di saat aku telah memberimu tiga orang putri?!” Amarahnya mungkin mulai melemah, disusupi rasa kecewa yang mendalam.
Lagi-lagi aku tak mendengar perkataan majikanku laki-laki. Entah aku harus bagaimana, membencinya seperti majikan perempuanku sekarang, atau berusaha mendorongnya agar ia tak melakukan yang diributkan tadi. Berpisah.
Kembali suara pecahan gelas kudengar. Semula aku ingin meringkuk terus dan mendengar pembelaan, namun kuteringat satu hal. Bergegas aku mendorong pintu yang sedikit terbuka, tempat ketiga anak itu sedang menangis berpelukan. Kini kami berempat berdekatan, membagi kesedihan dalam keheningan.
*
Lalu aku bingung bagaimana menempatkan diri. Setiap majikan pria muncul dengan pasangan barunya, yang adalah tetangga depan rumah, aku hanya bisa menggeram. Ekorku siaga, siap untuk menghalangi jika ia hendak masuk rumah. Bagaimanapun ia sudah memutuskan keluar, dengan membawa baju seadanya, dan pindah hanya ke sebrang. Mungkin dua tiga langkah sampailah aku ke rumah barunya.
Majikanku nampaknya agak linglung. Tangannya yang biasa membelaiku, kini tak ada lagi. Tatapannya kosong, bahkan aku ragu ia menatapku. Iapun tak bisa menatap majikan perempuanku jika mereka tak sengaja bertemu. Sama-sama hendak keluar pagar, yang berakhir dengan majikan perempuanku mengalah dan sembunyi dulu di dalam. Kadang kulihat ia menghapus air matanya dari balik jendela.
Nampaknya tetangga depan juga sengaja memamerkan kemesraan mereka berdua. Atau lebih tepatnya mungkin kemenangan seorang wanita pribumi merebut seorang suami keturunan. Kudengar tetangga depan ini pintar, dia punya aji-aji untuk merebut kesetiaan lelaki. Aku hanya menganggap majikanku saja yang bodoh.
Yang paling susah tentu anak-anak. Kala rindu sudah melanda, mereka sering menyapa, “Papa!” tanpa mereka sadari. Mereka rindu belaiannya, mereka rindu kehadiran seorang ayah dalam keluarga. Namun Papa yang dipanggil, entah sudah tuli pendengarannya, atau buta mata hatinya, memilih memunggungi mereka. Aku menyalak sejadi-jadinya, baru berhenti ketika salah satu dari mereka membelai kepalaku. “Sudah, sudah Jim.” Aku menurut, hanya karena diingatkan kemarahanku akan membuat hati mereka makin terluka.
Belum lagi soal ekonomi. Kini majikan wanitaku sibuk menumbuk udang yang ia dapatkan dari pasar pada siang hari. Bahan-bahan yang tak laku dijual murah, dan ia kini mengolahnya menjadi kerupuk. Anak-anaknya membantu sepulang sekolah. Aku tak membantu. Hanya menyediakan diri kalau mereka perlu memelukku.
Begitulah hari kami berjalan. Majikan perempuan yang kini lebih banyak berada di teras belakang, bergulat membentuk dan menjemur krupuk-krupuknya. Anak-anak yang menundukkan kepala dalam-dalam sepulang sekolah. Dan aku yang mengantarkan keberangkatan mereka, menyambut mereka saat datang, lalu duduk bersimpuh di ruang keluarga, hingga mereka membelaiku tanda selamat malam.
*
Lalu terdengar kabar, bahwa majikanku laki-laki terjatuh dan tak sadarkan diri. Saat itu siang, di rumah hanya ada majikanku perempuan dan si bungsu. Tetangga yang mengabarkannya pada kami, karena mereka langsung membawanya ke rumah sakit.
“Kita kesana, Ma?” tanya si bungsu takut. Ia telah berkembang menjadi anak yang berbadan besar namun pemalu.
Majikanku perempuan tak berkata-kata. Ia memilih ke teras belakang, menguleni adonannya. Si bungsu tak berani lagi meminta. Aku mengikutinya ke teras belakang. Ia tak benar-benar menguleni rupanya.
Tangannya kaku menekan adonan. Matanya menyiratkan kesedihan. Ia memandangku, seolah aku siap diajak bicara.
“Aku takut…sesuatu terjadi padanya, Jim. Tapi aku lebih takut lagi, jika benar inilah saatnya, ia tak pernah mengingatku lagi sebagai istrinya.” Lalu ia menangis tersedu. Aku rasa dibanding kehilangan terdahulu akibat perempuan, kehilangan sekarang karena maut memisahkan lebih menyedihkan baginya. Mungkin…karena meskipun majikan laki-laki bukanlah miliknya, ia masih mempunyai cinta yang berharap suaminya akan baik-baik saja.
Tak lama dari kabar majikanku laki-laki jatuh sakit, pada suatu malam terdengar bunyi gemerincing yang samar. Hanya aku yang berada di ruangan tengah, yang lain sudah masuk kamar. Telingaku menegak, melihat lonceng angin itulah yang berbunyi. Kemudian aku melihatnya, melihat majikan laki-laki datang dalam rupa yang transparan, memandangku sambil tersenyum dan membelaiku, membuatku siaga. Aku tidak menyalak, karena meskipun wujudnya beda, ia kembali dengan wajah yang berseri. Ia berjalan menembus pintu menuju kamar majikan perempuan, entah apa yang ia lakukan, karena aku tak bisa memasuki kamar yang dikunci dari dalam. Tak lama ia keluar, berhenti sebentar dan bersimpuh di dekatku.
“Jaga nonik ya Jim. Seperti selama ini kau menjaganya.”
Lalu bersama suara lonceng angin dan angin yang dingin, bayangannya menghilang di balik dinding.
Aku menunggu dengan gelisah. Lalu satu jam kemudian pintu rumah kami digedor. Majikanku perempuan bergegas membukakan pintu. Tetangga depan kami, ya, si perebut suami orang itu, memberitahu bahwa majikan laki-lakiku meninggal karena darah tinggi. Ia bilang, ‘sudah tak terikat lagi padanya’, ‘urusannya hanya pada saat hidup saja’, dan memberikan alamat rumah sakit tempat jenasah majikan laki-lakiku berada.
Majikan perempuanku tercenung lama, bahkan ia tak sadar kalau tetangga depannya sudah berlalu. Lalu sedikit senyuman terbit di wajahnya. Mungkin ia senang karena berkesempatan memberikan ‘pengabdian terakhir dari seorang istri’. Bergegas ia bangunkan anak-anak, membagi tugas dengan si sulung untuk memberitahu keluarga agar menyiapkan kremasi, meminta si tengah membereskan rumah dan memberitahu para langganan bahwa usaha mereka libur seminggu – demikian juga sekolah, dan mengajak si bungsu segera ke rumah sakit mengambil jenasah ayah mereka.
Aku mondar-mandir memperhatikan kesibukan ini. Si tengah yang selalu ingat aku belum makan, meskipun aku tidak pernah memintanya. Aku berusaha mengerti, mereka sedang berduka. Apalagi kudengar dari para tetangga, perempuan itu sudah tinggal dengan pria lainnya. Pria yang berhasil dimantrai, direbut dari pelukan keluarga. Sesekali perlu digigit rupanya, karena aku bisa membayangkan kesedihan majikan perempuanku di korban yang baru.
*
Hiruk pikuk itu telah selesai. Majikan perempuanku mendapat penghiburan dari saudara-saudaranya. Mereka bersedia menanggung biaya pendidikan anak-anaknya. Namun ia menolak, katanya masih sanggup membiayai semua sendiri.
Saat itu ia sedang menonton televisi, dengan aku tidur di sampingnya. Anak-anak telah masuk kamar masing-masing. Si sulung lampu kamarnya masih menyala, ia akan ujian masuk SMA.
Lalu…bunyi itu datang lagi. Bunyi lonceng angin yang samar. Buluku berdiri semua. Bunyi yang sama saat majikan laki-lakiku datang untuk pamitan. Saat aku menengadah, aku melihat majikan perempuanku sudah melayang di udara. Tangannya digenggam, oleh majikan laki-lakiku. Wujud mereka sama.
“Jim…” panggil majikan perempuanku, “aku harus pergi. Ia memintaku menemani. Anak-anak…” ia memandang wajah suaminya dengan ragu. Suaminya mengangguk lembut, “akan diasuh saudaraku. Jim, jangan marah ya. Mungkin memang harus begini agar kami bisa bersama.” Lalu mereka melayang menembus pintu.
Aku menyalak di depan pintu si sulung. Ia membuka pintu hendak menyuruhku diam. Namun sebelum sempat ia berkata-kata, aku tarik celana trainingnya agar ia mengikutiku ke ruang keluarga. Ia mencoba membangunkan mamanya, namun mamanya sudah terkulai di sofa.
*
Keluarga majikanku perempuan berunding di rumah ini, seusai kremasi. Kedua guci berisi abu berjajar di meja persembahan, dengan dua foto hitam putih majikanku perempuan dan laki-laki. Mereka memikirkan bagaimana ketiga anak yatim piatu ini akan dipelihara.
Akhirnya dicapai kesepakatan, mereka bertiga tetap tinggal di rumah ini, dengan biaya hidup ditanggung kakak pertama. Sekolah dibiayai kakak kedua. Namun mereka harus mengurus dirinya sendiri, karena tidak ada dari para saudara itu yang bisa mendampingi. Mereka punya urusan sendiri-sendiri.
Aku rasa satu hal telah diselesaikan. Setidaknya mereka masih bisa melanjutkan sekolah dan bisa makan. Mungkin si sulung akan lebih sibuk, namun adik-adiknya akan belajar untuk bekerja bahu-membahu.
Usiaku saat itu sudah 9 tahun, cukup tua untuk seekor anjing. Mataku makin rabun, dan aku tak selincah dulu. Hal yang membuatku bahagia adalah mendengar mereka tertawa bersama. Meyakinkanku bahwa mereka baik-baik saja.
Dan tak lama setelah kedua majikanku pergi, mereka berdua datang kembali, mengelus bulu-buluku yang kembali lebat, dan mengajakku menuju pergi seiring gemerincing pelan lonceng angin
***
IndriHapsari
Keren. Penceritaan yg memikat.
Halo Mbak Mar..long time no see..makasih yaa 🙂
Saya kira yang bercerita pembantunya ternyata anjing.
Hehehe bukan Bli, trims ya 🙂