Puisi – puisi Sapardi Djoko Damono (SDD) menjadi favorit banyak orang. Pemililhan kata-kata yang sederhana, tidak sibuk dengan kosakata canggih dan nyastra yang ngga semua orang paham, atau teknik berpuisi yang ada macam-macam itu, tidak membuat puisinya kehilangan pesonanya. Sekali baca puisi SDD, kesan murung dan penuh perenunganlah yang didapat. Dibaca kedua kali, ketemu makna yang lain. Dibaca yang ketiga, maknanya jadi beda. Bayangkan, puisi yang sederhana, tapi punya banyak lapisan makna. Itulah yang menyebabkan puisi SDD ini abadi, tak lekang oleh waktu, dan bisa diterima semua kalangan.
Kalau soal konsep, metode, wawasan sih jangan ditanya. SDD adalah seorang Profesor Doktor Sastra, kurang apa coba dari segi ilmu. Bahkan saat saya tanya Bapak, yang satu kota pas SMA pada kurun waktu yang sama di kota Solo, Beliau berasal dari SMA 2 yang saat itu dikhususkan untuk mereka yang ingin belajar sastra, sedang Bapak saya di SMA 1 yang jurusan IPA. Jadi secara ilmu sudah ngelontok. Secara praktik, berbagai penghargaan telah Beliau raih. Sudah mendunia tapi masih membumi itu loh resep awet disukai dan produktif berkarya.
Terus terang puisi saya banyak dipengaruhi gaya Beliau, meski tentu seujung kukunyapun ngga layak. Ingin deh pakai kata sederhana, tapi kaya makna. Dalam praktiknya, sulit untuk mewujudkan hal tersebut, sehingga sekelas saya mungkin hanya bisa menyelipkan satu lapisan makna saja di dalam puisi. Analogi justru saya pelajari dari kitab Mazmur. Puisi-puisi yang memuja Tuhan, disampaikan dengan mewakilkannya pada alam. Konon puisi seperti ini merupakan jenis tertinggi, karena menyangkut hubungan kita dengan Yang Maha Kuasa, sementara ranah saya masih eros saja 🙂
Apapun itu, puisi sangatlah menarik untuk dipelajari. Pertama dari segi ide, apa saja bisa dijadikan topik puisi, tinggal kita moodnya dimana. Kedua, teknik membuat puisi itu sangat banyak, atau katakanlah, metode. Ada banyak jalan untuk menciptakan puisi, bisa dengan hanya sekadar curhat, ngomong saja apa adanya. Atau sibuk dengan analogi, metafora, lalu ngitungin jumlah suku kata seperti di Haiku dan Macapat, atau berusaha membuat rima yang sesuai. Ketiga, apalagi kalau bukan rasa penasaran tentang makna apa yang terkandung di dalamnya. Keempat adalah kemampuan untuk menerjemahkan sekumpulan ide atau cerita itu pada beberapa baris puisi.
Bagi saya yang senang belajar ini, puisi masih berada pada tataran teknik, belum dari proses kontemplasi, atau seperti yang Pramoedya bilang, mistikum. Jauh, masih jauh dari perenungan penuh makna seperti itu. Kalau boleh disamakan, mungkin seperti anak SMA yang baru belajar bikin puisi, ceria dan apa adanya. Mudah ditebak maksudnya. Namun tentu, saya berproses untuk bisa menciptakan seperti idola saya. Contohnya, puisi yang menjadi judul buku ini.
MATAHARI TERBIT DI BARAT
Matahari terbit di barat
Saat cintaku tak bisa melekat
Padahal hati telah terpahat
Dan jiwa telah terjerat
.
Matahari tenggelam di timur
Ingin kukatakan dengan jujur
Aku siap menunggumu sampai uzur
Kapanpun kau kembali,
tak peduli umur
.
Matahari terangnya menyuramkan
Ketika melihatmu berduaan
Dengan dia yang kuanggap teman
Ternyata menggunting dalam lipatan
.
Matahari sinarnya terasa dingin
Sebab ku harus memendam ingin
Cintaku tidak palsu seperti manekin
Atau gampang dibentuk seperti plastisin
.
Matahari ada di bawah kaki
Saat kau memutuskan untuk pergi
Tanpa ada janji untuk kembali
Bersamanya yang telah mencuri hati
Akhirnya, buku kumpulan puisi ini merekam karya saya dalam bidang puisi dan fiksi mini. Sebenarnya fiksi minilah yang lebih dahulu menjadi bidang eksplorasi, kemudian saya berproses untuk membuat kumpulan kata yang lebih sedikit lagi, namun dengan cerita yang ingin diungkap di dalamnya. Terdapat 30 puisi dan 10 fiksi mini hasil ngumpulin selama 2 tahun, 140 halaman, semoga bisa dinikmati ya. Buku bisa didapatkan lewat BukaLapak.com, email ke ihapsari(at)outlook.com atau mention twitter @indyfindme, versi e-booknya bisa didapatkan di Google Books.

*** IndriHapsari
Wuih, makin eksis aja mbak Indri..
Salut buat karya2nya 🙂
Makasih ya Zoel. Ayo dibukukan juga puisi2nya, saya yakin Zoel pny koleksi lebih banyak dan lebih bagus 🙂