Mestinya ngga enak ngomong begini, ntar jadinya konsultasi (kon sing usul, kon sing ngatasi :P) soalnya kalau model saran doang gampang, yang penting kan pelaksanaan. Tapi yah daripada diam saja, semoga yang berwenang ada yang sempat baca dan tergerak untuk melakukan perbaikan, soalnya sumprit deh, saya menuliskan ini karena cinta (eaaa…). Maksudnya gini, sejak kecil kita terbiasa dengan museum yang kuno, baik secara koleksi maupun suasana. Trus siapa yang tertarik mengetahui masa lampau, kalau penyajiannya ngga mengikuti jaman? Mereka yang peduli karena terlibat sudah berganti dengan generasi yang cuma mendengar, trus ganti lagi dengan generasi yang ngga pernah terlibat dan mendengar. Padahal mengetahui masa lalu, adalah bekal masa mendatang, biar ngga mengulang kesalahan yang sama, atau menumbuhkan semangat bahwa dulu kita pernah bisa.
Museum Surabaya menempati bangunan Siola, di perempatan jalan Tunjungan, Praban, Genteng Kali dan Gemblongan. Posisinya strategis, tapi masuknya mbingungi. Mau parkir dimana ngga jelas, jadi kami sempat putar balik, tanya dulu, baru masuk basement Tunjungan Center. Sepertinya parkirnya tidak terlalu luas, tapi mungkin OK lah segini toh pengunjung juga ngga banyak.
Padahal kalau melihat gedung Tunjungan Center ini, jadi inget mall-mall kecil di Singapura, sebelum jam 10 dan kita baru nyampe pake MRT. Suasananya sama, begitu kita keluar dari basement ke lantai ground, dengan pedagang yang baru menata dagangannya dan kehidupan yang mulai terasa, sayang banget kalau hal begini ngga ditangkap. Misal dengan bikin cafe yang buka pagi, toko roti yang baru ngeluarin rotinya dari oven, siap melayani pengunjung yang memilih take away. Papan petunjukpun ngga jelas dimana gerangan museum berada. Ternyata harus keluar dulu trua belok kanan, dan silakan cari pintu museumnya.
Ini juga masalah lain. Kenapa ya kok ngga ada sign IT’S HERE! sambil ada tanda panahnya untuk menunjukkan dimanakah gerangan pintunya. Museum ini dinding luarnya kaca semua, pintu pertama yang kami temui tertutup semua. Ada satu pintu otomatis di tengah (tidak bergerak ketika kami berada di depannya) dan dua pintu kecil yang setelah dicoba, eh bisa terbuka. Jadi kami masuk lewat sana, disambut oleh deretan kursi yang entah buat apa. Orang yang datang ke museum tapi ngga ingin lihat museum? Weird.
Bangunan Siola ini luaaaas banget, dan terdiri dari beberapa lantai. Ada eskalator untuk mencapai lantai kedua. Tapi museumnya, terlihat seuprit di tengah, jadi sudah kelihatan ini koleksinya ngga banyak mestinya. Aroma cat masih terasa, ditambah sirkulasinya ngga bagus karena tertutup semua, jadi yang sensitif ya bersin-bersin. Sebelum masuk kami menyempatkan ke toilet yang thanks God ada 4 bilik untuk setiap gendernya, tapi toilet duduk ini basah sampai ke lantai luar dan ada bekas pijakan kaki di dudukannya. Kalau kita tidak bisa mendidik pengguna untuk lebih beradab makenya, sebaiknya ditempatkan petugas kebersihan yang rajin bersihkan toilet. Toiletnya sudah bagus karena baru, yang penting perawatannya. Trus plis deh, mana keranjang sampahnya buat buang tisu (yang tidak disediakan di tiap bilik)?
Meski pengelola bisa berkilah mau gratisan kok minta enak, justru yang harus dibuktikan bagaimana pengabdian pengelola untuk masyarakat Surabaya yang pasti juga menggunakan pendapatan pajak daerah untuk runnjng museum seperti itu. Keseriusan harus dimulai dengan kesadaran atas tujuan: ingin meningkatkan jumlah dan kepuasan pengunjung.
Setelah mengisi buku tamu yang dijaga oleh seorang petugas, kami dibiarkan berkeliling ruangan yang sekali lihat saja sudah tahu isinya apa saja. Kemudian semua benda yang setema dikumpulkan jadi satu, dengan kartu berwarna merah yang disematkan di tiap benda, berisi ketikan informasi yang bisa dibaca kalau niat, karena sama sekali ngga menarik.
Kalau dari tata letak, penting untuk membuat aliran area display supaya semua bisa melihat benda-benda tersebut, satu persatu. Bisa ditiru apa yang dilakukan department store dengan race track layoutnya. Pengunjung tanpa sadar akan mengikuti jalurnya, dan otomatis melihat semua benda yang ada di sisi kiri dan kanannya.
Benda-benda juga bisa ditampilkan lebih menarik dengan tidak dikumpulkan jadi satu seperti itu, tapi dipisahkan. Dilengkapi dengan papan informasi yang hurufnya besar dan jelas, disampaikan dengan dengan singkat, karena tiap benda pasti pjnya sejarah. Seperti kumpulan penghargaan yang diterima Surabaya. Itu penghargaan apa aja, diberikan tahun berapa, alasannya apa, mesti jelas. Dilengkapi dengan kliping, siaran radio, tayangan televisi atau pidato pada masa itu tentu akan sangat menarik. Oklah kalau ngga ada dana, cari saja dari internet beritanya, dan buat kumpulan artikel tentang itu.
Hal lain yang saya lihat, banyak sekali tanda dilarang menyentuh, yang tentu alasannya biar ngga cepat rusak. Untuk barang-barang yang rapuh memang OK, tapi bagaimana kalau ditempatkan juga barang-barang yang baru, replika atau prototype barang lama, agar pengunjung bebas menyentuh dan menggunakannya. Karena proses interaktif berlangsung disana, orang cenderung mudah mengingat kalau dibarengi dengan melakukan sesuatu.
Proses interaktif juga perlu dilakukan, supaya orang mau datang lagi. Apa coba yang membuat mereka tertarik untuk datang lagi, kalau semua benda mati itu sudah dilihat? Peragaan atau show bisa dilakukan disana. Misal ada ranjang untuk ibu yang melahirkan yang creepy banget karena posisi darah berjatuhan dari miss V itu kelihatan masih ada di wadah yang terletak di bawah ranjang. Coba kalau ada yang cerita, pasti seru. Selain ada guide yang menjelaskan di jam-jam tertentu (karena pasti mahal untuk menjelaskan satu-satu ke pengunjung, lagian pengunjungnya banyak yang bukan tipe serius pengunjung museum) libatkan pengunjung dalam simulasi juga ok. Waktu kami mengunjungi museum polisi di Melbourne, museumnya kecil saja, barangnya juga cuma sedikit meski tersaji dengan baik. Ada satu sudut dimana ada kapur kuning polisi berbentuk tubuh orang yang mati terbunuh. Trus pengunjung boleh pakai jas detektif, lengkap dengan topi bulatnya, ambil pensil dan kertas untuk mencatat bukti-bukti yang tersebar di TKP, dan berusaha menemukan pembunuhnya.
Di museum ini, ada manekin yang menggunakan baju beragam profesi di bawah Pemkot Surabaya. Kalau saja pengunjung (kecil) diperbolehkan untuk berlagak menjadi dinas pemadam kebakaran dengan selangnya, petugas satpol PP dengan tamengnya, atau petugas kebersihan dengan sapunya, tentu mereka akan asyik memerankan dan menantikannya. Pertunjukan sejarah lewat televisi untuk menggambarkan apa yang dilalui kota Surabaya juga menarik, mulai jaman Belanda hingga jaman Bu Risma.
Bagaimanapun museum ini punya banyak potensi yang sayang jika dilewatkan atau ditelantarkan. Dari museum ini saya tahu apa saja perubahan kota Surabaya, dulu dan sekarang. Jika Pemkot Surabaya tidak punya cukup informasi untuk diberikan, bisa menggandeng grup-grup yang ada di kota Surabaya untuk berkontribusi dalam hal acara, penyajian ataupun tambahan koleksi benda yang dipamerkan.
Museum kota ada untuk warga kotanya, agar mereka lebih mengenal kota yang mereka tinggali dengan baik. Pun bagi mereka yang tidak tinggal disana, tapi tertarik untuk mengetahui keunikan sebuah kota.
*
IndriHapsari