Hotel-hotel yang Menjamur Bakal Jamuran?

Jaman dulu nih, ngeliat hotel itu berasa barang aneh. Ke hotel kalau lagi di luar kota yang ngga ada sodaranya. Mau cari alamat, tambah gampang dan nambah prestige juga kalau jawabnya ‘Itu loh di belakang hotel anu!’. Makin banyak bintangnya makin bangga yang ditanya.

Sekarang liat hotel sampai bosen. Bukannya karena masuk keluar hotel ya karena eike bukan sopir taksi, tapi pembangunannya bak jamur di musim hujan. Banyaaak banget, terutama di lokasi strategis dan modelnya minimalis. Sekarang kalau mau menunjukkan lokasi berdasarkan kedekatannya dengan hotel jadi lebih rumit. Jika sudah dijawab rumahnya dekat hotel Anu, pertanyaan berikutnya, ‘Anu yang mana?’ , karena rupanya yang namanya hotel Anu itu ada beberapa di satu kota yang sama!

Paling banyak bintang dua sampai tiga yang muncul di jalanan, sedang bintang empat lima lebih kecil progressnya, tapi tetap tambah banyak terutama yang jaringan. Bintang satu dan dua didominasi guest house. Kebanyakan model rumahan gitu, murah dan modern, bersih dan juga nyaman. Pokoknya model wisma yang pas SD saya tempati rame-rame dengan teman sekolah, makin terjepit deh kalau ngga mau memperbaiki diri.

Intinya hotel tuh makin terjangkau dan makin nyaman, sehingga menginap di rumah saudara jadi alternatif kedua. The art of ngomong ke saudara itu yang susah. Soalnya potensi dibilang ‘oh jadi ngga mau nginep disini karena rumahnya jelek ya?’ Itu gede banget. Jadi pertama mesti lihat tuan rumahnya tipe yang gimana, yang emang pengen diinepin dan sensi kalau ngga dikabulkan, atau yang easy going? Kalau tipe pertama, mending jangan cari masalah deh, lagian nginep di rumah saudara juga ok kok. Selain gratis, nyicip masakan khas, juga dapat kabar terbaru (baca : gosip) tentang saudara lainnya 😀

Sebenarnya ngga nginep di rumah saudara, alasannya bukan pasti menghindari si tuan rumah. Kadang malah tamunya yang kasian liat tuan rumah kerepotan ngelayanin tamu. Namanya aja tamu ya, itu tuan rumah sampai ada yang mlipir tidur di ruang tamu, ngalah merelakan tempat tidurnya ditempati. Trus bikinin teh, masak lebih banyak, nganterin kemana-mana, ngepel berkali-kali…kalau asistennya ada banyak masih berkurang feel guiltynya, kalau sendirian, mana udah sepuh lagi…wew…ngga tega rasanya. Tamu ngerjain sendiri juga ngga dibolehin, serba salah kan.

Makanya demi alasan kepraktisan, banyak keluarga memanfaatkan hotel untuk menginap. Terutama kalau punya anak kecil tuh. Mandi air hangat, maunya nyemplung di kolam pagi sore, trus berhubung makan agak susah karena di perjalanan mesti gampang juga cari makanan, which is resto hotel atau room servicenya sangat membantu.

Hotel di daerah wisata pasti mengandalkan wisatawan untuk datang. Tambah sip tuh kalau hotel bisa create acara tour, atau kerjasama dengan tour and travel, biar turis ngga susah mau kemana-mana. Soalnya di Indonesia kalau ngga bawa kendaraan sendiri, gempor aja jalan kaki nyariin taksi, atau mobil sewaan. Kalau semua sudah all in one di hotel, kan asyik tuh. Malah ada hotel yang gimmicknya tiket theme park gratis, sip banget!

Sekarang gimana dengan hotel dalam kota bukan wisata? Pasar mereka adalah orang kerja, bisnis industri yang lagi dinas. Maka yang dimau ya hotel biasa aja, ngga sampe ngabisin uang dinas, nyaman, kecil ngga masalah pokoknya bisa buat numpang tidur sama mandi. Untuk hotel tipe gini pelayannya basic banget, bahkan ada yang untuk minum aja mesti keluar kamar nyariin dispenser. Ya sudahlah, namanya aja minimalis.

Yang namanya minimalis ngga cuma dalem aja, luar juga loh. Tempat parkirnya mepeet banget, sampai kelihatannya selalu penuh. Malah ada yang terpaksa nginep di parkir hotel lainnya yang lebih gede, kalau ditelepon yang punya baru dah sopirnya nyamperin. Letak hotel yang laris biasanya dekat sama fasilitas transportasi, biar gampang akses pergi dan pulangnya.

Mengandalkan tamu individu emang agak repot. Yang dilayanin banyak orang, jadi banyak transaksi, mana maunya macam-macam. Makanya harganya lebih tinggi, dibanding kalau kita pesan borongan. Mau yang pesan satu orang atau korporat, asal pesan minim sepuluh misalnya, langsung harga bisa turun. Nah gimana cara menarik minat korporat selain harga?

Itu yang lagi diributin sekarang. Peraturan pemerintah yang baru menyatakan PNS ngga boleh rapat di hotel. Kirain ngga banyak yang kena, eh tapi kalau lihat PNSnya pada protes (benernya nyambung lagi sama larangan menyelenggarakan pesta pernikahan di hotel, larangan menyajikan buah impor pas rapat, himbauan menghidangkan singkong pas rapat) dan ada demo juga dari pihak hotel, kayanya pasarnya besar juga deh. Sebuah hotel di Puncak bilang, mereka bisa keilangan omzet 500 juta sebulan gara-gara aturan ini. Wah, gede juga ya.

Di satu sisi emang baiknya pengeluaran itu dihemat sih, wong tiap instansi juga punya ruang rapat, cuma mungkin ngga nyaman. Nah mending pengeluaran yang semula buat hotel dipake buat benerin ruang rapat aja, plus bisa juga nyewa pihak ketiga untuk ngurus semua operasional pas ada rapat. Buat kebersihan, bagian listrik speaker sama mic, trus catering dan layanan lainnya. Untuk interior pake designer aja, lebih dapet feelnya. Eh kalau mau hemat lagi bisa tuh dikaryakan staff instansinya, masa sih semua sibuk? 😛

Hotelnya sendiri mesti beralih dari pertama andalannya MICE untuk pemerintah, ke MICE untuk swasta. Agak sulit, karena perusahaan swasta ngirit banget, dan perlu effort lebih untuk bisa menarik minat mereka. Cara lain mulai genjot pasar individu, dengan cara-cara seperti di atas. Siapa tahu ada yang mau reunian di hotel, menyelenggarakan pesta ultah atau wedding party, plus arisan di resto hotel. Liat potensi apa yang bisa dikembangkan di daerah, misal wisata atau even tertentu yang diselenggarakan pemkot, yang bisa membuat para tamu berdatangan. Intinya sih mengganti segmen pasar, sehingga seluruh bagian organisasi juga ikut berubah. Mulai dari sistem, marketing, infrastrutur, pelatihan staff, sama sistem informasi juga mesti dibagusin, karena yang ditangani bakal lebih banyak variasinya.

Semoga hotel-hotel yang sudah menjamur ini ngga malah jadi jamuran ya dengan terus berinovasi 🙂

***
IndriHapsari
Foto : pinterest.com

11 comments

  1. Soal hotel yang menjamur ini juga kejadian di bank saya. Banyak banget proposal masuk buat pembiayaan hotel Mba Indri. Jadi banknya malah seren beneran bisa survive ga ke depan dengan tingkat pertumbuhan properti hotel yang luar biasa ini.

  2. aku sich malah senang hotel berjamuran asal jangan mall aja yang berjamuran, nyebelin bangat. Satu sisi ngebayangin turis luar negeri datang ke jakarta ala backpacker, andalannya cuma tinggal di jalan jaksa doang. uda gitu lihat acara tv luar yang kalau lagi liputan kamar hotel di indonesia kondisi kamar backpacker rata2 masih kasur jamuran/kutu dan banyak kecoa, aduhhh miris dech. justru hadirnya hotel2 kelas 3 dan hostel membuat nuansa baru. itu menurut aku loh yach, hehehehe…

    happy travelling.

      • kalau hotel2 kecil yang bintang 2-3 biasanya di Medan tingginya cuman sekitar 5-6 lantai 🙂
        tapi emang sih kalau kebanyakan hotel gak bagus juga haha, entar gak ada tanah lagi.

      • Ini di Sby lagi alih fungsi dari hunian jadi hotel…harga tanah makin mahal sih..cuma belantara beton itu asli bikin sy suka hilang arah *emang dasarnya suka tersesat aja 😛

  3. ngomongin hotel kalau menurut aku si untuk yang berbintg 3an enakan di kota kecil daripada di sini (jakarta) 😀

Komen? Silakan^^

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s