‘Apakah boleh seratus enam puluh enam rupiahnya didonasikan untuk Jembatan Harapan?’
‘Ngga usah, Mbak,’ jawab saya dengan muka kenceng. Kenceng karena sedang menyelaraskan hati dan otak. Kenceng karena pembeli lain sudah ngantri di belakang. Secara hati maunya merelakan, karena yah segitu doang, masa sih ngga rela. Apalagi tujuannya baik, untuk menjembatani harapan yang entah milik siapa. Lalu kalau menolak, ntar didengar pembeli di belakang, hancur sudah image yang tertanam. Dandan keren kok urusan seratus dua ratus ribut.
Tapi secara otak, syaraf-syaraf saya melawan. Bukankah sudah keharusan ya, toko mengembalikan recehan kita? Selain itu sejak awal kita ngga tahu kok kalau ada donasi-donasian ini. Atau bahkan setelahnya, pembeli juga ngga tahu laporan keuangannya gimana, ratusan itu kelak jadi berapa puluh juta, diserahkan kemana, efektif apa ngga bantuannya. Dan kenapa, untuk nyumbang saja mesti menahan hak kembalian seorang pelanggan?
Selalu begini kalau masalah kembalian yang berupa uang receh ini. Saya heran, emang peredaran uang receh di negara kita ini dikit banget ya, sampai ritel, yang modern terutama, selalu menemukan cara untuk bikin pembeli kesal, demi ngga mau repot cari kembalian. Masih ingat kan yang dulu dikembaliin permen yang ngga worth it itu. Kasirnya sudah macam peri gigi, mengubah receh menjadi gulali. Di negara-negara yang saya pernah datangi, mereka disiplin ngembaliin receh yang berhak kita terima, sampe sekecil-kecilnya. Beli pakai lembaran 100 dolar, kembalian 5 sen ya tetap diserahkan. Yang jarang dikasih dari convenience store biasanya struk pembelian, tapi kayanya ngga masalah karena yang penting emang kejujuran.
Herannya, hal begini ngga terjadi di ritel tradisional. Toko-toko dengan etalase kaca, atau warung, atau kios di pasar. Entah, mungkin penjual juga melihat tipe pembeli. Kalau di pasar, mungkin pembelinya kritis, tiap receh bisa jadi barang, jadi pasti ditagih dan diperhatikan. Berani ngga ngasih kembalian? Lihat saja besok ibu-ibu pada mogok belanja di sana, soalnya berita cepat menyebar. Sementara di ritel modern dianggapnya pembelinya royal, ngga masalahin kembalian, malah kasir lagi ngitung aja pembelinya ngga peduli. Lebih serius menatap layar gadget mereka daripada layar yang menampilkan barang yang mereka beli.
Yah, mungkin mereka lagi sial aja ketemu pembeli macam saya *nyengir serigala*.
Hal lain yang membedakan ritel modern dan tradisional, saya kira ritel modern emang ngeribetin dirinya sendiri. Ngasih harga kelipatan 25 perak, padahal ngasih kembalian seratusan aja ngga bisa. Belum kalau ada diskon sekian persen, atau beli dua gratis satu (yang artinya total harga dibagi 3, susah banget kan mau buletin). Sedangkan di warung, karena ngga mau ribet ya dibulatin aja ke ratusan terdekat.
Lalu gimana dong, apa ritel modern mesti tiru yang dilakukan warung?
Ya ngga juga, tapi mbok ya jangan (seperti) merugikan pembeli. Ada ritel yang membulatkan perhitungannya ke bawah, dan bisa mengembalikan sesuai ratusan yang terdekat. Ada yang membiarkan perhitungannya berujung angka aneh, tapi merelakan kembalian yang lebih besar bagi pelanggan. Misal harusnya kembaliannya 166, tapi dia kasihnya 200. Itu lebih menyenangkan bagi pelanggan.
Akan halnya kegiatan donasi, saya kira ini juga ide yang bagus, mengumpulkan sumbangan di setiap toko. Alangkah sopannya jika caranya kembalian diserahkan dulu, lalu sediakan kotak berkunci tempat pembeli bisa mencemplungkan kembaliannya ke kotak. Siapa tahu bukan 166 rupiah saja, tapi 2.166 rupiah. Kelak kotak tersebut dikumpulkan, disatukan, dan dibuka. Cara ini lebih manis, karena tidak menodong pembeli untuk menyumbang, di bawah tatapan mata pembeli lain. Lagian, kegiatan filantropi pribadi itu bukan untuk diumumkan kok.
Tentu saja penggalangan dana dari uang masyarakat itu harus bisa dipertanggungjawabkan. Harus ada pelaporan, audit, evaluasi, dan penilaian keefektifannya. Ribet, ya emang. Tapi setara kan dengan mau menggampangkan pemberian kembalian?
Kisah saya di atas, nyata terjadi. Dan saat saya menolak menyumbang, tahu ngga apa yang kasirnya berikan? 100 rupiah! Eaaa…tetap aja 66 rupiahnya ditahan 😦
***
IndriHapsari
hahaaahahaha….emang bener2 njelehi ogh…tapi knapa rata rata skrg pd kaya gini,sumbangan separo maksa dg konsekuensi turun gengsi
jualan koq ndak punya kembalian..ora niat 😛
Kalah sm mbok2 di pasar ya mbak, mrk pny kaleng khusus receh, trus matanya masih awas bedain yg 100 sm 200 🙂
Hahaha..bener, mbaakk..saya juga suka kesel kalo soal kembalian yg tiba2 jd uang donasi gitu..hihih..kadang2 saya kasih juga, kadang2 nggak..ga konsisten emang.. 😀
yang paling kesel itu waktu belanja di salah satu minimarket franchise, dan saya ngerasa ditipuin mentah2 karna ga balikin uang yg seharusnya atau salah satu barang yg saya beli harganya didobel seolah2 saya beli 2, padahal cuma 1. kalo ketauan paling kasirnya bilang maaf..tp kalo ga ketauan? 😀 karena udah beberapa kali nemu yg begituan malah jd buruk sangka kalo ketemu kejadian serupa. “sengaja kali ya!” gitu. jd sekarang jeli bgt kalo soal struk belanjaan..hehehe..
kadang2 kita yg berhak akan uang kembaliannya malah dicibir kalo ga mau nyumbangin..hahaha..aneh emang..
Nah, klo soal kecurangan, sy antisipasinya selalu ngeliatin layarnya. Kadang protes krn layarnya mati. Trus minta cetak struk, dan ngecek di depan kasirnya. Pernah juga sih saat sebelum dan sesudah minta struk, nominalnya beda 😛