Atas dasar desakan beberapa teman, saya memutuskan untuk….
…tidak mengumumkan siapa pasangan capres cawapres pilihan saya.
Saya nih orang-orang kuno yang masih menganut azas LUBER, jadi biarlah bilik suara menjadi saksi bisu, siapa yang saya coblos nanti. Sudah ada pilihan berdasarkan perkembangan yang terjadi, karena seperti postingan saya sebelumnya, saya ngga peduli masa lalu. Yang penting masa kini dan masa datang. Dan berhubung kedua calon sedang janji-janji, mari kita simak saja janji-janjinya, sambil berharap hal itu terealisasi. Kalau ada yang skeptis soal ‘halah, janji doang!’ bukankah kita semua begitu? Belum dapat kesempatan untuk mewujudkannya, dan menunggu saat itu tiba? Sama saja dengan seorang cowok yang janji menikahi ceweknya, tapi besoknya belum juga dinikahi. Lah belum kerja, belum mapan, belum dapat restu, pantes aja kalau masih janji.
Akan halnya mereka yang sudah terang-terangan menyebutkan siapa idolanya, silakan saja. Tentu harus disadari juga segala konsekwensinya. Kalau dulu pas jaman Pak Harto sebutkan partai idaman Anda, langsung dikucilkan, kecuali kalau Anda menyebut partai tertentu. Kalau sekarang beda, orang seperti didorong untuk membuka isi otak dan hati, sampai ke dasar-dasarnya, istilahnya menguliti diri sendiri.
Ngga apa, sekali lagi, asal paham konsekwensinya.
Namanya saja hidup bersama orang lain, yang pasti ada bedanya, sehingga bersinggungan itu pasti. Sekarang tinggal bagaimana kita menghadapi persinggungan itu. Ada yang menerima dengan lapang dada, sepakat untuk tidak sepakat, dan memilih untuk tidak membahasnya lagi daripada berantem. Ada pula yang di mulut baik-baik saja, di hati ngrasani lain kali jangan gaul sama dia lagi, karena berbeda. Ada yang terang-terangan ngajak diskusi, berantem, sampai perang urat syaraf. Maksudnya putus hubungan pertemanan, lalu satu sama lain lempar granat.
Berbeda dengan postingan saya sebelumnya yang menyarankan agar tidak melakukannya, kali ini saya biarkan saja. Ketika saya menyarankan, berarti itu tanda peduli, biar ngga buang waktu, usaha, apalagi memutus jaringan pertemanan hanya gara-gara capres. Siapapun yang menang, yang berada di sekeliling kita adalah teman-teman, bukan capres yang kenal kita aja ngga. Yang bisa menghidupi kita adalah diri sendiri, bukan capres yang mungkin nanti dipusingkan dengan dana kampanye. Nah, kalau saya sampai bilang sakarepmu (terserah kamu, Jawa, kasar) maka berikut yang sebaiknya dilakukan oleh para partisipan. Oh tidak, saya ngga akan menyarankan jangan black atau grey campaign, atau posting yang positif-positif saja. Karena Anda toh sudah besar, sudah mengerti apa yang Anda baca, dan mungkin filternya kurang baik bekerja, menimbulkan tulisan yang bernada sama.
Saran saya : jangan cengeng.
Sudah tahu kalau kita menyatakan sesuatu ada dua akibat, suka atau tidak suka, maka tidak usah koar-koar karena bilang ini itu maka si A marah, si B putus hubungan pertemanan, si C menjauh. Itu resiko. Seharusnya sebelum lakukan itu, sudah sadari bahwa semua akan berubah. Seperti batu yang dilempar pada air tenang, memang begitulah riaknya. Nanti lama-lama ya menghilang seluruh friksi yang ada, kecuali kalau Anda bikin masalah dengan lempar batu lagi.
Jangan mengeluh orang lain tidak berimbang melihat suatu pemberitaan atau tulisan, lah Anda sendiri gimana? Dari kebiasaan hanya share berita baik soal idola Anda, dan berita jelek soal idola orang lain, itu sudah indikasi kok kalau tidak berimbang. Atau bersuka ria di tulisan orang lain tentang pemujaan idola, sebaliknya ikut menghujat di berita buruk lawan kandidat, itu juga indikasi. Tersulut atas topik yang bisa menjatuhkan pihak lawan, itu juga indikasi. Kalau style Anda memang begitu, stop tuduh orang lain melakukan hal yang sama. Seperti pepatah sesama bis dilarang saling mendahului, sesama miring kanan kiri juga tidak perlu saling menuduh berat sebelah. ANDA ITU SAMA.
Jangan cengeng juga kalau suatu saat semua tulisan Anda akan jadi bumerang. Mau tulisan panjang pendek, opini reportase status atau komen, bisa dicari lagi meski sudah dihapus. Apalagi kalau (harapannya) suatu saat posisi Anda tinggi ya, orang bakal belain untuk cari apa sih yang Anda tuliskan di masa lalu. Kecuali kalau sudah declare jadi loser ya ngga apa, tenang aja kalau gitu. Persis seperti yang Anda lakukan sekarang, mengorek-ngorek masa lalu calon. Kemudian kalau itu benar jadi masalah, jangan cengeng untuk minta dukungan teman-teman. Ingat, teman Anda makin sedikit, dan karena sebelumnya Anda sudah menguliti diri sendiri, apalagi yang mau dijaimkan? Orang sudah bisa baca Anda gimana, termasuk mungkin kekurangan yang mereka ngga suka.
Apa sih yang mungkin terjadi dengan tulisan?
Tuntutan atas pencemaran nama baik dan tertutupnya kesempatan untuk lebih maju. Oh ya, kita boleh berkilah itu inisial, itu bukan mereka, itu fakta. Tapi namanya saja penguasa, yang sialnya mungkin lawan kandidat idola Anda yang jadi pemimpin kita, maka kalau mau dibikin rame bisa loh. Meski nyata atau ada fakta, ah apa sih yang tidak bisa direkayasa? Meski anonim, meski hanya dipublish di tempat tertentu, begitu bersentuhan dengan penayangan, semuanya akan ada terus dan dapat menjadi bukti yang menjerat Anda. Itu resikonya, dan please kalau itu terjadi tidak usah koar-koar minta dukungan atau seolah hanya melaporkan saja, padahl aslinya minta dukungan. Dukungan di dunia maya hanya ada di ujung jari, ada ngga yang mau nemenin di pengadilan, mengunjungi di penjara, atau menafkahi keluarga Anda?
Wah, apa berarti sebaiknya kita jadi penakut saja, biar aman selalu?
Yah ini sih balik lagi ke postingan lama saya. Bahwa kalau jadi partisipan, bagikan berita baik soal calon Anda. Biar mengkhayalpun karena belum terjadi, berita positif jarang yang menjadi tuntutan. Berita positif juga jarang yang menjadi sumber perdebatan. Sama seperti prinsip jurnalisme, bad news is a good news, copras caprespun sama. Jadi partisipan yang beretika, atau go ahead dengan style Anda, tapi janji lo ya…
Jangan cengeng.
***
IndriHapsari
Gambar : dr FBnya mbak Dina Sulistyaningtias